Pages

Thursday, July 26, 2012

Garis Besar Pemikiran Bung Karno

GARIS BESAR PEMIKIRAN BUNG KARNO

Oleh : Tim Anggota Presidium LKSM dari Yogyakarta

Pengantar

Akhir-akhiri ini muncul keingintahuan untuk memahami pemikiran Bung Karno. Ada yang sekedar ingin tahu karena selama rezim Orde Baru takut untuk mempelajarinya. Ada yang benar-benar ingin memahami karena dorongan untuk mencari jawaban terhadap kekosongan ideologi atau pegangan dalam menyikapi persoalan kehidupan masyarakat yang selama ini dirasakan mulai kehilangan arah (visi). Keterbatasan bahan bacaan dan tulisan-tulisan bung Karno yang dipublikasi secara luas, menyebabkan tidak semua orang dapat memahami secara baik dan tepat pemikiran Bung Karno. Tidak tertutup kemungkinan ada yang memahami hanya sepotong-sepotong sehingga dapat menimbulkan salah pengertian, yang pada gilirannya dapat menyesatkan.

Disamping itu, tidak semua orang yang sempat membaca tulisan Bung Karno dapat memahami secara mendalam pemikirannya. Meskipun ditulis dalam bahasa yang mudah dimengerti, tetapi ada kemungkinan bisa salah dalam interpretasi. Tulisan-tulisan Bung Karno sarat dengan dinamika perkembangan masyarakat saat tulisan itu ditulis. Jadi unsur ruang dan waktu amat diperlukan dalam memahami pemikiran Bung Karno. Tidak semua orang mempunyai daya abstraksi ruang dan waktu sehingga kemampuan memahami makna yang tersirat dalam setiap tulisan Bung Karno amat terbatas, mungkin hanya sekedar menghafal. Menyadari tuntutan pemahaman itu maka diusahakan untuk merekonstruksi pemikiran-pemikiran Bung Karno.

Tulisan ini berusaha untuk merekonstruksi garis besar pemikiran Bung Karno. Tidak mudah untuk mewujudkan upaya itu, karena pemikiran Bung Karno cukup banyak dan tersebar diberbagai buku, tulisan, pamflet dan rekaman radio. Upaya rekonstruksi ini dilakukan melalui penelusuran bahan tertulis yang tersedia dan melakukan diskusi dengan berbagai pihak yang mempelajari dan membaca berbagai tulisan Bung Karno. Dalam merekonstruksi diupayakan dengan memperhatikan urutan-urutan pemikiran dengan mempertimbangkan waktu (kapan tulisan itu ditulis dan dipublikasikan) dan sesuai dengan konteks persoalan yang dihadapi. Untuk memahami lebih jauh substansi pemikiran dilakukan dengan interpretasi dengan mempertimbangkan ruang, waktu dan peristiwa (setting). Artinya dalam interpretasi mempertimbangkan situasi politik, ekonomi, sosial, budaya, baik pada tataran nasional maupun internasional. Pendekatan ini jelas mengandung kelemahan karena hal-hal detail berkaitan dengan makna dari pemikiran tidak dapat diungkapkan secara tuntas karena tidak dapat dilakukan check ulang dengan penulis.

Atas dasar itu kemudian disusun sistematika pemikiran sesuai dengan tuntutan kerangka pikir ilmu ilmiah (scientific). Mempertimbangkan itu maka pada bagian pertama diupayakan memahami azas pemikiran Bung Karno. Pemahaman ini diharapkan dapat menuntun untuk memahami ontologi pemikiran Bung Karno, yang menggambarkan hakekat kehadiran dan sejarah terjadinya pemikiran Bung Karno. Kedua, dibahas asal, hakekat, metode dan batas pemikiran Bung Karno yang mengacu pada epistemologi pikiran atau ilmu. Ketiga memahami axiologi pemikiran Bung Karno yang memuat landasan filsafat nilai dan penilaian pemikiran Bung Karno dalam berbagai praksis kehidupan politik, budaya, perjuangan dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Sekurang-kurangnya dengan membahas ketiga pokok bahasan itu dapat dicermati kebenaran korespondensi, koherensi (benang merah) dan pragmatisme pemikiran Bung Karno, sebagai ideologi dan pemikiran ilmiah. Oleh karenanya akan sangat terbuka untuk dikaji dan diuji kembali dalam konteks kekinian dengan berbagai setting politik, ekonomi, budaya dan kemasyarakatan yang dapat berubah secara cepat baik nasional maupun internasional.

Ontologi pemikiran Bung Karno tampaknya paling konsisten karena didasarkan atas hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia yaitu the social conscience of man, budi nurani manusia, yang sifatnya sangat universal dan hakiki.

Bagian Pertama : Ontologi Pemikiran Bung Karno

Azas Pemikiran

Meskipun disampaikan dalam berbagai tulisan dapat ditelusuri bahwa dasar pemikiran Bung Karno sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki dan bersifat universal. Prinsip utama (azas) pemikiran bersumber pada tuntutan hati/budi nurani manusia (the social conscience of man).

Sejak tahun 1926, dalam konteks situasi terjajah dan tidak adanya kekuatan untuk melawan penjajah, Bung Karno mencoba menggali kekuatan politik yang tersedia, serta karakter dasar kekuatan politik tersebut dan dicari landasan pemersatuannya, yaitu mencari kesamaan dari berbagai kenyataan perbedaan. Obsesi persatuan digali dari budi nurani manusia yang paling mendasar yaitu keinginan untuk bebas dari segala penindasan dan ketidak adilan. Tulisan dan pemikiran Bung Karno tentang Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, adalah pemikiran yang sangat berani pada zamannya, karena mampu mengupas peluang bersatunya kekuatan yang tumbuh dari faham yang disadari berbeda.[1]

“… nasionalis yang bukan chauvinis, nasionalis sejati, nasionalismenya bukan tiruan dari nasionalisme barat, timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan-”

“… pergerakan nasionalisme dan islamisme di Indonesia ini, -ya di seluruh Asia– ada sama asalnya, dua-duanya berasal dari nafsu melawan ‘barat’ atau lebih tegasnya melawan kapitalisme dan imperialisme ‘barat’ ”…

“... kaum Islam tidak boleh lupa bahwa pemandangan Marxisme tentang riwayat azas kebendaan (materislistisce historie opvatting) ... dan sebagai penunjuk jalan untuk menerangkan kejadian-kejadian yang telah terjadi dimuka bumi ini, dan menunjukkan kejadian-kejadian yang akan datang, adalah amat berguna bagi mereka”

“... Meerwarde yang dimusuhi Marxisme, dalam hakekatnya tidak lainlah dari pada riba sepanjang paham Islam”

“… kaum Marxis harus ingat, bahwa pergerakannya itu, tak boleh tidak, pastilah menumbuhkan rasa nasionalisme di hati sanubari kaum buruh Indonesia, oleh karena modal di Indonesia kebanyakan adalah modal asing … dan menumbuhkan suatu keinginan pada nationalemacht politiek dari rakyat sendiri”

“… tidaklah kurang jalan kearah persatuan. Kemauan, percaya akan ketulusan hati satu sama lain, … cukup kuatnya untuk melangkahi segala perbedaan keseganan di antara segala pihak dalam pergerakan kita ini”

Azas persatuan yang tercermin sebagai inti tulisan tersebut menggambarkan perlunya dicari dasar yang kokoh untuk mempersatukan semua kekuatan yang nyata ada dalam melawan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme. Persatuan dari semua kekuatan yang revolusioner, yang didasari oleh kesadaran perlunya digalang kekuatan melawan kekuasaan yang terlawankan oleh masing-masing kekuatan obyektif saat itu.

Nasionalisme yang digali Bung Karno adalah Nasionalisme yang berkemanusiaan dan berkeadilan, dan dengan demikian melawan segala stelsel yang menyengsarakan rakyat. Dengan demikian maka nasionalisme yang dimaksud oleh Bung Karno adalah Nasionalisme yang juga memberi hormat dan penghargaan terhadap perbedaan paham diantara bangsa Indonesia yang masih menyadari akan apa yang sebenarnya dihadapi bersama. Nasionalisme demikian adalah Sosio-Nasionalisme. Azas ini bertentangan dengan kapitalisme termasuk kapitalisme bangsa sendiri.[2]

“… Seorang nasionalis, justru karena ia orang nasionalis, haruslah berani membukakan mata di muka keadaan yang nyata tentang isme yang menyengsarakan Marhaen … dan mengabdi kepada kemanusiaan”

“… mengutamakan perjuangan kebangsaan, tidak berarti bahwa kita tidak melawan ketamakan atau kapitalisme bangsa sendiri … titik beratnya, aksennya kita punya perjuangan tetap di dalam perjuangan nasional”

Dalam penggalian lebih lanjut tentang Sosio-Nasionalisme, Bung Karno menemukan dan menekankan kekuatan pendukung pokok dalam perjuangan kemerdekaan yaitu kekuatan buruh, yang langsung berhadapan dengan modal asing, dengan kapitalisme, kolonialisme, dan imperialisme. Tidak berarti bahwa kekuatan lain bangsa Indonesia tidak penting, namun secara dialektis kekuatan yang dapat dianggap paling sadar dan menjadi korban kekuasaan modal asing adalah kekuatan buruh.[3]

“… Sosio-Nasionalisme adalah “nasionalisme kemasyarakatan”, nasionalisme yang mencari selamatnya seluruh masyarakat dan yang bertindak menurut wet-wetnya masyarakat, … perburuhan itu adalah cocok dengan sifat-hakekatnya masyarakat sekarang ini, yaitu cocok dengan hakekatnya masyarakat yang kapitalistis. Perburuhan adalah memang dasarnya dunia yang kapitalistis”.

“… Sosio-Nasionalisme, oleh karenanya harus memandang perburuhan ini sebagai suatu keharusan. Ya, sosio-nasionalisme harus menerima adanya perburuhan itu sebagai salah satu alat, sebagai suatu gegeven, di dalam perjuangannya”.

Sosio-Demokrasi, dikatakan oleh Bung Karno, timbul karena sosio-nasionalisme, oleh karena sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi adalah dua azas yang bersumber dari satu nafas yaitu hati nurani manusia.[4]

“… Sosio-Nasionalisme adalah nasionalisme politik DAN nasionalisme ekonomi, --suatu nasionalisme yang mencari keberesan politik DAN keberesan ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki”

“… Sosio-Demokrasi adalah demokrasi sejati yang mencari keberesan politik DAN ekonomi, keberesan negeri dan keberesan rezeki. Sosio-Demokrasi adalah demokrasi politik DAN demokrasi ekonomi”

Azas Marhaenisme bila ditelusuri dari berbagai tulisan Bung Karno mengandung makna sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi.[5] Sosio nasionalisme adalah paham yang mengandung paham kebangsaan yang sehat dan berdasarkan perikemanusiaan, persamaan nasib, gotong-royong, hidup kemasyarakatan yang sehat, kerjasama untuk mencapai sama bahagia, tidak untuk menggencet dan menghisap. Jadi di dalam paham kebangsaan itu harus ada semangat kerjasama dan gotong-royong antara bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain. Lebih tegas lagi yang dimaksud Soekarno adalah paham kebangsaan berperikemanusiaan. Sosio demokrasi adalah paham yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Rakyat yang mengatur negaranya, perekonomiannya, dan kemajuannya supaya sesuatu bisa bersifat adil, tidak membeda-bedakan orang yang dengan yang lainnya. Rakyat yang ingin berlakunya demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial.

Pikiran-pikiran dasar tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme dinamakan sebagai suatu isme atau ideologi yang menggunakan nama Marhaen sebagai simbol kekuatan rakyat yang berjuang, yang dimelaratkan oleh segala sistem yang menindas, isme yang kemudian di Marhaenisme. Marhaenisme adalah ajaran atau pemikiran Bung Karno secara keseluruhan, yang dapat dikatakan sebagai ideologi masa depan dan universal, yang didukung oleh kecenderungan fenomenal yang terjadi pada tingkat nasional dan internasional.[6]

“… bagi saya azas Marhaenisme adalah suatu azas yang paling cocok untuk gerakan rakyat di Indonesia:

1. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat yang dalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen.

2. Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dnegan watak kaum Marhaen pada umumnya.

3. Marhaenisme adalah dus azas dan cara perjuangan “tegelijk” menuju hilangnya kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme”.

Marhaenisme adalah teori politik dan teori perjuangannya rakyat Marhaen, teori untuk mempersatukan semua kekuatan revolusioner untuk membangun kekuasaan, dan teori untuk mengunakan kekuasaan melawan dan menghancurkan sistem yang menyesengsarakan rakyat Marhaen. Marhaenisme menjadi teori revolusi yang mempertemukan kekuatan subyektif dan obyektif revolusi untuik memerdekakan dan mensejahterakan rakyat Marhaen. Kekuatan subyektif adalah kehendak rakyat, kehendaknya kaum marhaen untuk mengadakan perubahan, sedang kekuatan obyektif adalah di luar kehendak kita sendiri, di luar kehendak rakyat, di luar kehendak kaum marhaen. Mengapa Bung Karno sampai pada pemikiran tersebut, akan lebih banyak dijelaskan pada epistemologi yang digunakan oleh Bung Karno yntuk membahas mengapa suatu pikiran atau kejadian dapat muncul, yaitu pemikiran dialektika sebagai bagian dari historische materialisme.

Tidak mengherankan bila Bung Karno muda dari awal berjuang senantiasa menegaskan tuntutan revolusi rakyat Indonesia tidak hanya sekedar merdeka, akan tetapi lebih dari itu, yaitu memperjuangkan keadilan dan kebebasan sesuai dengan kodrat manusia (hak-hak azasi manusia). Pemikiran ini tercermin antara lain dalam pidato Bung Karno[7],

“… bahwa revolusi kita ini adalah sebagian saja daripada revolusi kemanusiaan. Cita-cita revolusi kita adalah, kataku, konggruen dengan the social conscience of man

“… bahwa semboyan kita adalah freedom to be free, bebas untuk merdeka. Buat apa ada freedom of speech, freedom of creed, freedom from want, freedom from fear, jikalau tidak ada kebebasan untuk merdeka”

“… “Revolusi Indonesia dicetuskan untuk menuntut pemuasan daripada rasa bangsa Indonesia, -rasa keadilan di segala lapangan-, rasa keikhlaskan, rasa dignity of man – dan revolusi umat manusia pun mengarahkan diri kepada rasa-rasa itu”[8]

Setidaknya kutipan di atas dapat dimaknai bahwa perjuangan rakyat Indonesia yang dikobarkan Bung Karno tidak hanya sebatas merebut kemerdekaan dari kolonial tetapi juga sebuah perjuangan aspirasi kemanusiaan yang di dalamnya terkandung perjuangan untuk menegakkan harkat dan martabat manusia. Azas ini mengandung suatu tujuan yang mendasar (hakiki) sesuai dengan tuntutan hati/budi manusia pada umumnya (universal) antara lain keadilan dan kesamaan (kesederajatan).

Marhaenisme yang merupakan teori politik dan teori perjuangan bagi rakyat Indonesia memperoleh bentuk formalnya sebagai filsafat dan dasar Negara Republik Indonesia sejak 1945, yaitu sebagai Pancasila. Pancasila diyakini oleh Bung Karno sebagai pengangkatan yang lebih tinggi atau hogere optrekking dari declaration of Independence dan Communist Manifesto.[9]

“… Declaration of Independence menurut “life, liberty, and the pursuit of happiness”, yaitu hak untuk hidup, hak kebebasan, dan hak mengejar kebahagiaan bagi semua manusia, padahal persuit of happiness (pengejaran kebahagiaan) belum berarti reality of happiness (kenyataan kebahagiaan), -dan Manifesto Komunis menulis, bahwa “jikalau kaum proletar di seluruh dunia bersatu padu dan menghancurkan kapitalisme, mereka tak akan kehilangan barang lain daripada rantai belenggunya sendiri” dan “sebaliknya akan memperoleh satu dunia yang baru”

“… Kita bangsa Indonesia melihat bahwa Declaration of Independence tidak mengandung keadilan social atau sosialisme, dan kita melihat bahwa Manifesto Komunis itu masih harus disublimer (dipertinggi jiwanya) dengan Ke Tuhanan Yang Maha Esa”

“… maka kita bangsa Indonesia merasa bangga mempunyai Pancasila, dan menganjurkan Pancasila itu pada semua bangsa. Pancasila adalah satu dasar yang universiil, satu dasar yang dapat dipakai oleh semua bangsa, satu dasar yang dapat menjamin kesejahteraan dunia, perdamaian dunia, persaudaraan dunia.”

“… Dan Manifesto Politik Republik Indonesia USDEK adalah refleksi daripada Pancasila itu, sehingga benarlah konklusi Dewan Pertimbangan Agung, bahwa Revolusi Indonesia “bukanlah revolusi borjuis model tahun 1789 di Perancis, dan bukan pula revolusi proletar model tahun 1017 di Rusia”.

“… Revolusi Indonesia adalah salah satu revolusi yang dasar dan tujuannya “kongruen dengan Social Conscience of Man”, kongruen dengan Budi Nurani Manusia, sebagai yang kukatakan setahun yang lalu”

“… Revolusimu itu lebih besar dan lebih luas dan lebih benar dari pada revolusi-revolusi bangsa lain, -- Revolusi Manusia, Revolusi Sejati, yang hendak mendatangkan satu dunia baru yang benar-benar berisikan kebahagiaan Jasmaniah dan Rohaniah dan Tuhaniah bagi umat Indonesia, bahkan juga umat manusia di seluruh muka bumi”

Untuk memperdalam obyek material (gagasan atau gegenstand) Bung Karno berusaha menelusuri akar permasalahan yang menjadi tuntutan hati/budi nurani manusia, menganalisis mengapa tuntutan itu tidak/belum tercapai, dan berusaha memahami dengan mendekatkan diri dengan realitas social serta mengamati secara empiris persoalan kemanusiaan melalui pemahaman terhadap penderitaan rakyat.[10]

Atas dasar itu kemudian Bung Karno mengkonstruksi suatu system pengetahuan yang digunakan sebagai metode (cara) perjuangan dan arah (strategi) perjuangan untuk mencapai Indonesia merdeka dan mewujudkan cita-cita masyarakat adil dan makmur.

Azas Perjuangan

Untuk mengembangkan obyek formal gagasan di atas, Bung Karno muda berupaya membekali diri dengan pengetahuan tentang sosialis liberal, seluk beluk sistem imperialisme[11], memahami kerangka analisis (epistemologis) Marxian, memperkaya pengalaman empiris serta berusaha memahami realistas sosial[12] dinamika kehidupan masyarakat, internasional dan nasional, pada awal dan pertengahan abad 20. Berdasarkan pengetahuan itu, Bung Karno berusaha mengkonstruksi system pengetahuan dan memformulasikan metode atau azas perjuangan untuk mencapai Indonesia Merdeka.

Azas perjuangan disusun berdasarkan realitas social bahwa tanpa melakukan perlawanan secara revolusioner terhadap feodalisme, kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme sangat tidak mungkin membebaskan anak manusia serta penindasan bangsa atas bangsa (exploitation de nation par nation). Pemikiran ini dijadikan konsep dasar dalam menentukan strategi dan arah perjuangan.

Azas perjuangan menjawab pertanyaan… perjuangan yang bagaimana ? Perjuangan dengan cara minta-minta ? Dengan cara dewan-dewanan ? Dengan cara kecil-kecilan, cara salon-salonan, cara warung-warungan ? Pertanyaan ini dijawab oleh azas perjuangan, atau dalam hahasa Belanda: strijdbeginsel[13].

“… Kini apakah azas perjuangan Marhaen ? Azas perjuangan adalah misalnya: non-kooperatif, machtvorming, massa actie, dan lain-lain”

“… Non-kooperatif, karena Indonesia-Merdeka tak kan tercapai dengan pekerjaan bersama dengan kaum sana, machtvorming karena kaum sana tak akan memberikan ini dan itu kepada kita kalau terpaksa oleh macht kita, massa aksi oleh karena machtvorming hanya bisa kita kerjakan dengan massa-aksi”

“… Azas Perjuangan ini hanyalah perlu selama kita berjuang, selama perjuangan berjalan. Kalau perjuangan sudah berhasil kalau Indonesia sudah tercapai, kalau Republik Politik Sosial sudah berdiri, maka azas perjuangan itu lantas tiada guna lagi adanya”.

“… Kalau Indonesia-Merdeka dan lain sebagainya sudah tercapai, maka tiada musuh lagi yang harus kita “non-i”, tiada musuh lagi yang harus kita “machtvorming-i”, tiada musuh lagi yang harus kita “massa-actie”… ”

Kita perlu sadar bahwa kalau azas kita harus tetap pertahankan sampai akhir hayat kita semua, sampai “lebur kiamat”, akan tetapi azas perjuangan hanya kita gunakan selama kita masih punya musuh. Namun kita juga perlu sadar apakah musuh-musuh kita itu akan lenyap begitu kita mencapai Indonesia Merdeka. Kenyataan sejarah dan bahkan kesadaran sejarah kita menunjukkan bahwa musuh-musuh itu tetap dan akan tetap ada selama urusan rezeki masih menjadi persoalan hidup dan kehidupan semua bangsa. Kapitalisme dalam berbagai bentuknya masih tetap berjaya, dan bahkan boleh dikatakan masih mendominasi kehidupan bangsa dan kehidupan antar bangsa, maka sadarlah kita semua bahwa azas perjuangan masih kita butuhkan, bahkan masih perlu dikaji lagi bentuk-bentuk yang lebih efektif. Mempertemukan kekuatan subyektif dan obyektif yang terjadi saat ini masih akan selalu perlu dikaji dan diimplementasikan dalam perjuangan kita.

Dapat dicermati bahwa marhaenisme sarat dengan nuansa untuk memperjuangkan keadilan, persamaan hak, dan memperjuangkan kepentingan kaum tertindas dengan upaya menghapuskan pemerasan dan mempersatukan semua golongan yang tertindas (marhaen). Mempersatukan kekuatan semua golongan tertindas yang anti kapitalis dan imperialis nampaknya diletakkan sebagai pilar utama untuk mencapai masyarakat demokrasi ke arah pergaulan hidup sama rata sama bahagia yang disesuaikan dengan semangat dan jiwa rakyat Indonesia.

Strategi Perjuangan

Pada masa perjuangan mencapai kemerdekaan di tataran nasional semangat Marhaenisme dijadikan kekuatan ideologi dalam menggalang kekuatan massa aksi untuk melawan dan melepaskan diri dari penjajahan[14]. Kesadaran politik kolektif kaum marhaen yang tertindas dijadikan alat perekat dalam membangun semangat kerja sama dan gotong royong untuk mencapai tujuan perjuangan, yakni merebut kekuasaan dalam upaya melepaskan diri dari belenggu kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme. Dengan penuh kesadaran Bung Karno mendahulukan strategi dialog politik dengan massa rakyat sebagai wahana untuk mendidik dan membangun kesadaran politik mereka. Kemudian menggerakkan massa rakyat untuk melakukan perlawanan secara revolusioner dan radikal tanpa kekerasan terhadap sistem kolonialisme, kapitalisme dan imperialisme.

Diambang pintu kemerdekaan pemikiran Bung Karno, Marhaenisme menjadi sumber inspirasi dalam merumuskan dasar Negara Pancasila. Dalam merumuskan Pancasila, Bung Karno berusaha menyatukan semua pemikiran dari berbagai orang dan golongan serta membuang jauh-jauh kepentingan perorangan dan kelompok. Disadari sepenuhnya oleh Bung Karno bahwa kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan untuk semua golongan. Karenanya Pancasila adalah dasar negara (philosophische grondslag) untuk semua golongan yang didalamnya terkandung semangat “semua buat semua”[15]. Pemikiran ini jelas sebagai upaya untuk menyatukan semua golongan dan menyatukan semua kepentingan ke dalam satu kepentingan bangsa dengan semboyan berbeda-beda tetapi satu (Bhinneka Tunggal Ika). Pancasila tidak hanya digunakan sebagai ideologi pemersatu dan sebagai perekat kehidupan dan kepentingan bangsa tetapi juga sebagai dasar dan filsafat dan pandangan hidup bangsa. Maka sesuai dengan tuntutan hati budi nurani manusia, Pancasila mengandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan (humanistic), kebangsaan (persatuan), demokrasi dan keadilan. Ini merupakan dasar untuk membangun masyarakat baru Indonesia, yakni masyarakat sosialis Indonesia.[16]

Setelah kemerdekaan dicapai dan dapat dipertahankan, cita-cita luhur untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal mulai diperjuangkan. Usaha-usaha perbaikan social menuju kehidupan lebih manusiawi terus ditegakkan. Salah satu upaya untuk mencapai gagasan itu diwujudkan dengan melawan kekuatan kolonialis, kapitalis, imperialis, melalui penggalangan kekuatan bangsa-bangsa tertindas melalui Gerakan Non-Blok yang diawali dengan Konferensi Asia-Afrika di Bandung. Gerakan ini melahirkan kesepakatan-kesepakatan penting menyangkut nasib bangsa-bangsa terjajah[17] yang dirumuskan dalam Dasa Sila Bandung. Dengan semangat Dasa Sila Bandung diupayakan penggalangan kekuatan negara-negara tertindas di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Melalui penggalangan kekuatan politik ini menyebabkan kolonialisme penjajah berangsur-angsur runtuh, ditandai dengan lenyapnya penjajahan dan satu per satu bangsa-bangsa Asia-Afrika merdeka dan terbebas dari belenggu penjajahan yang menyengsarakan.

Setelah itu konstelasi masyarakat internasional mengalami perubahan. Meskipun kemerdekaan telah terwujud, di beberapa negara Asia dan Afrika belenggu penjajah telah hilang tetapi kolonialisme dan imperialisme tetap eksis. Melalui metamorfosa institusi, kapitalisme dan imperialisme menjelma menjadi apa yang diyakini Bung Karno sebagai kapitalisme modern dan imperialisme modern. Memanfaatkan lembaga-lembaga internasional (PBB[18], Bank Dunia dan IMF[19], dll), perusahaan multi dan trans-nasional praktek imperialisme tetap eksis dan dengan berbagai upaya berusaha mendominasi serta mensubordinasi bangsa-bangsa baru merdeka di dunia ketiga. Dominasi tidak secara fisik lagi tetapi lebih bersifat ideologis dibungkus teori mission sacree (misi suci) melalui kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi. Kebijakan itu semata-mata dalam rangka mencari keuntungan dan mengeruk rezeki dari dunia ketiga. Secara tegas Bung Karno menulis bahwa[20]

“Bagaimana imperialisme-tua itu berganti bulu sama sekali menjadi imperialisme-modern ja’ni bukan sahadja berganti besarnja, tetapi juga berganti wujudnja, berganti sifatnja, berganti caranja, berganti sepak terdjangnja, berganti wataknja, berganti stelselnja, berganti sistemnja, berganti segala-galanja – dan hanja satu jang tidak berganti padanja, ja’ni kehausan mencari rezeki”

Tesis Bung Karno tentang ancaman berubahnya imperialis dari tua ke modern yang dipikirkan pada tahun 1930-an menunjukkan kebenarannya saat ini[21]. Menurut keyakinan Bung Karno Indonesia tidak akan bisa keluar dari berbagai bencana meskipun imperialisme overheersen (memerintah) telah hilang, karena imperialisme beheersen (menguasai) akan dan telah siap menggantikannya[22].

Dalam konteks kekinian, realitas ini mengandung makna bahwa imperialisme overheersen (memerintah) atau dominasi secara perlahan digantikan oleh imperialisme beheersen (menguasai). Imperialisme beheersen mempunyai kemiripan dengan terminologi Gramsci[23], hegemoni. Melaui hegemoni, sistem kapitalisme dan imperialisme menyusup secara perlahan melalui media institusi ekonomi, sosial, politik, budaya, dan teknologi. Secara perlahan tetapi pasti hegemoni dapat meredusir dan mengikis habis daya kritis dan mendorong masyarakat terpuruk ke dalam situasi tidak berdaya (powerless) dan menerima saja (pasrah) mengikuti kehendak imperialis. Bahkan sampai pada satu situasi bahwa mereka yang ditindas tidak merasa tertindas.

Dengan bahasa yang berbeda Bung Karno menggambarkan bahwa imperialisme modern menjadikan Indonesia sebagai daerah penanaman modal (daerah pengusahaan dari kapital lebih) dalam kegiatan perdagangan dan industri membuat rakyat menjadi bodoh dan kehilangan energinya, secara tegas dikatakan[24],

… imperialis butuh akan kaum buruh murah, akan penjewaan tanah murah, akan kebutuhan-kebutuhan rakjat jang murah. Untuk keperluan hal-hal ini, maka rakjat kami jang “hidup kecil” dan “nerimo”, rendah pengetahuannja, lembek kemauannja, sedikit nafsu-nafsunja, padam kegagahannja, - rakjat “kambing jang bodoh dan mati enerdjinja”.

Ketika konstelasi politik dunia masih diwarnai oleh dua kekuatan ideologis yaitu ideologi kapitalisme dan komunisme, masyarakat dunia mengalami perang dingin. Kedua kekuatan itu secara nyata berusaha dengan berbagai cara untuk mendominasi dunia. Akibat benturan kepentingan dua kutub kekuatan itu kehidupan masyarakat dunia senantiasa diliputi suasana konflik dan ancaman perang. Dalam menyikapi situasi perang dingin itu dan tetap berpegang teguh pada tuntutan hati/budi nurani manusia, yakni pembebasan dari penindasan, eksploitasi kapitalis dan imperialis serta untuk menciptakan perdamaian dunia, Bung Karno berusaha mengembangkan beberapa strategi perjuangan.

Pertama, pada tataran internasional Bung Karno berusaha membangun kekuatan politik dengan menggalang kekuatan negara-negara Dunia Ketiga ke dalam kekuatan politik Non-Blok. Kemudian kekuatan Dunia Ketiga ini oleh Bung Karno disebut New Emerging Forces (Nefo)[25]. Dengan penuh keyakinan Bung Karno mengharapkan bahwa kekuatan Dunia Baru yang terdiri dari kekuatan negara-negara Islam, Sosialis dan Nasional ini dapat mengurangi dan menghalangi serta membebaskan negara-negara Asia dan Afrika dari belenggu dominasi dua kekuatan dunia. Pada tahun 1960, dengan lantang Bung Karno dihadapan siding PBB membela kepentingan negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Negara-negara itu diajak secara bersama-sama membangun dunia baru yang bebas dari penindasan dan pengaruh kapitalis-imperialis[26] serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi.

Untuk mendapat dukungan dan menjaga persatuan bangsa dan dengan realitas social serta kehidupan politik saat itu di dalam negeri Bung Karno membentuk kekuatan politik dengan mengembangkan strategi NASAKOM (Nasional, Agama, dan Komunis)[27]. Strategi ini banyak mendapat sorotan dan kritikan tajam dari berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun luar negeri, karena dianggap memberikan peluang pada komunis untuk berkembang dan berpengaruh di Indonesia[28]. Bahkan strategi ini oleh lawan politik Bung Karno, terutama yang memihak kepentingan kaum kapitalis dan imperialis, dipakai sebagai alat untuk menyerang dan melemahkan posisi Bung Karno.

Menghadapi serangan itu, sikap non-kompromi Bung Karno terhadap imperialisme modern semakin radikal. Sebagai upaya menegakkan kedaulatan di bidang politik, salah satu strategi yang diterapkan Bung Karno adalah menarik diri dari PBB[29] yang saat itu dipandang sebagai instrumen imperialisme modern dalam rangka memenuhi hasrat menguasai dunia ketiga.

Kedua, untuk tidak tergantung dengan kapitalis dan imperialis Bung Karno berusaha menegakkan kedaulatan ekonomi dengan prinsip self help dan self reliance. Pada tataran nasional diterapkan sistem ekonomi Berdikari[30] bersifat self containing[31]. Kekuatan ekonomi rakyat diupayakan lepas dari bayang-bayang dan pengaruh imperialisme modern. Sistem ekonomi Berdikari bukan tertutup untuk investasi asing tetapi memperluas kerjasama internasional yang sejajar dan saling menguntungkan serta tidak menciptakan ketergantungan. Dalam kaitannya dengan kebijakan ekonomi Soekarno[32] menegaskan bahwa,

“… dunia sekarang memang dunia yang tidak bisa hidup tanpa bantu-membantu. Tetapi kita tidak mau dan tidak akan mengemis bantuan dari siapapun. Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan meminta-minta, apalagi jika bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini dan syarat itu ! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, daripada makan bestik tetapi budak”.

Salah satu strategi untuk mengurangi pengaruh imperialisme dalam bidang ekonomi, perusahaan asing terutama yang dikuasai pengusaha Belanda, Inggris dan Amerika diambil alih (nasionalisasi). Menurut Bung Karno, nasionalisasi ini hanya sekedar batu loncatan ke arah sosialisme[33].

Dengan segala konsekuensi, aktivitas ekonomi sepenuhnya digerakkan oleh dan bertumpu pada kekuatan rakyat serta sepenuhnya untuk kepentingan kemakmuran rakyat (publik). Dituntun dengan Deklarasi Ekonomi (DEKON) yang intinya membatasi dan mengurangi penyelewengan ekonomi, seluruh kegiatan ekonomi ditujukan untuk kepentingan rakyat dan bukan untuk kepentingan golongan atau pribadi. Dilandasi semangat persatuan bangsa, diyakini bahwa untuk mengelola sumberdaya yang dimiliki sendiri, bangsa Indonesia dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada kapitalis dan imperialisme modern.

Ketiga, dalam bidang budaya diupayakan Berkeperibudayaan dalam Kebudayaan. Secara konsisten Bung Karno menekankan bahwa perlu mengikis eksistensi budaya feodalis. Serta berusaha membatasi rembesan budaya imperialis dengan melarang beredarnya berbagai macam bentuk produk film, musik, dansa gila-gilaan yang dapat meracuni keperibadian budaya bangsa[34]. “Kebudayaan baru Indonesia harus berkeperibadian Indonesia yang kuat dan harus tegas-tegas mengabdi kepada rakyat”. Ketiga pemikiran (Trisakti) di atas dijadikan konsep dasar menuju masyarakat adil dan makmur (sosialisme).

Pada tahun 1959 menghadapi disintegrasi bangsa yang ditandai dengan munculnya gerakan pemberontakan di daerah-daerah, seperti DI-TII, gerakan Permesta serta anarkisme politik di Konstituante yang kemudian tidak berhasil merumuskan konstitusi (UUD) sebagai pengganti UUD sementara 1950, maka Bung Karno terpaksa mengeluarkan Dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Dekrit ini dipakai sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan persatuan bangsa dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun upaya ini dapat mempertahankan keutuhan bangsa, tetapi oleh lawan politik Bung Karno dipakai sebagai alat untuk menyerang Bung Karno dengan tuduhan bahwa Bung Karno adalah otoriter.

Atas dasar itu kemudian Bung Karno mengembangkan Manifesto Politik (Manipol) dan USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Keperibadian Indonesia) sebagai kerangka dasar membangun Sosialisme Indonesia. Dalam pidato RESOPIM, Bung Karno menekankan bahwa “Manipol-USDEK adalah konsep Sosialisme Indonesia[35] untuk mencapai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Atas dasar itu Bung Karno berusaha membangun etos nasionalisme dalam kalangan masyarakat. Tiada henti-hentinya dalam setiap pidato, Bung Karno membangkitkan semangat juang masyarakat Indonesia dengan menekankan bahwa revolusi belum selesai. Persoalan yang dihadapi Bangsa Indonesia masih cukup banyak. Oleh karena itu Bung Karno selalu mengajak jangan pernah mundur dan terus maju.

Salah satu hal yang menjadi pusat perhatian beliau dalam perjuangan membangun bangsa adalah memupuk semangat persatuan bangsa. Bung Karno menyadari sepenuh hati bahwa ancaman yang dapat menggagalkan tujuan revolusi adalah bila masyarakat Indonesia tidak bersatu padu dalam melangkah ke arah tujuan menuju masyarakat adil dan makmur. Untuk menjaga persatuan itu Bung Karno berusaha membangun masyarakat dengan mengembangkan strategi Nation and Character Building. Membangun karakter bangsa diupayakan dengan menjaga persatuan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika, mengembangkan etos nasionalisme (semangat Trisakti), dan semangat revolusioner, Simak apa yang dikatakan Bung Karno[36] berikut ini:

“… Selalu Saya impi-impikan adalah kerukunan Pancasilais-manipolis dari segala suku bangsa, segala agama, segala aliran politik, segala kepercayaan”.

“… Untuk mencapai itu saya anjurkan integrasi maupun asimilasi dan kedua-duanya”.

“… Pendeknya, semua suku harus mengintegrasikan diri menjadi satu keluarga besar Bangsa Indonesia. Tunggal Ika harus kita pahami sebagai satu kesatuan dialektis”.

Yogyakarta, 4 Juli 2001

Diperbaharui kembali pada tanggal 23 Februari 2002

Diketik ulang pada tanggal 4 Februari 2003

Catatan: Tulisan ini belum selesai dan belum lengkap (karena belum ditinjau dari segi epistemologi dan aksiologi, praksis atau implementasi), oleh karena itu akan dilengkapi oleh Tim Ideologi LKSM.



[1] Soekarno, 1926: Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, yang ditulis di “Suluh Indonesia Muda”, merupakan cerminan akan obsesinya yang sangat kuat untuk menumbuhkan jiwa dan semangat persatuan pada zaman penjajahan Belanda. Obsesi persatuan tampaknya menjadi benang merah yang sangat jelas dan dibela sampai harus mengorbankan kekuasaan dan keselamatan pribadi (menjelang jatuhnya Bung Karno sebagai epilog gestok sampai dengan wafatnya). Tulisan tersebut dapat dibaca dalam buku Dibawah Bendera Revolusi, Jilid 1, 1963.

[2] Soekarno, 1932, Kapitalisme Bangsa Sendiri ? Tulisan dalam “Fikiran Ra’jat”, untuk menegaskan sikapnya terhadap kapitalisme bangsa sendiri. Akan tetapi dalam perjuangan untuk mencapai Indonesia Merdeka, yaitu untuk mengalahkan imperialisme bangsa asing, harus mengutamakan perjuangan kebangsaan. Bagian dari tulisan DBR, 1963.

[3] Soekarno, 1932, Sekali Lagi tentang Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Tulisan dalam “Fikiran Ra’jat”. Yang lebih memperjelas tentang azas atau dasar pemikiran Bung Karno tentang perjuangan nasional dan kekuatan yang harus digalang oleh nasionalis Indonesia. Bagian dari tulisan dalam DBR, 1963.

[4] Soekarno, 1932. Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi. Tulisan dalam “Fikiran Ra’jat” Bagian tulisan dalam DBR, 1963.

[5] Bandingkan dengan konsep demokrasi social baru yang dibahas secara mendalam dalam tulisan Anthony Giddens, 1999, Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta, Gramedia

[6] Soekarno, 1959. Amanat pada Konferensi Besar GMNI di Kaliurang

[7] Soekarno, 1961, Re-So-Pim (Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional), yaitu amanat Presiden Republik Indonesia pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1961 di Jakarta, Jakarta, Inti Idayu Press, 1986, hal. 38-39

[8] Soekarno, 1963, Genta Suara Republik Indonesia, amanat Presiden Republik Indonesia pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1963, Jakarta, Inti Idayu Press, 1986, hal. 86

[9] Soekarno, 1960. Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1960, DBR II, 1965, hal. 433.

[10] Hal ini dapat ditelusuri dari kumpulan tulisan Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi dan Sarinah

[11] Dalam tulisan Indonesia Mengugat dapat ditelusuri bahwa Soekarno mengutip dan menyitir buah pikiran Bauer, Brailsford, Engels, Jaures, Kautsky, Marx dan Troelstra yang memuat teori Sosialisme liberal (lihat Soekarno, 1951, Indonesia Mengugat: Pidato Pembelaan Bung Karno Dimuka Hakim Kolonial, Djakarta, Penerbit S. K. Seno dan Roger K. Paget, Indonesia Accuses: Sukarno’s Defense Oration in the Political Trial of 1930, 1975)

[12] Pengalaman empiris Soekarno dapat ditelusuri dalam membedakan antara kaum proletariat dan kaum marhaen. Kaum proletariat tertindas lahir dari struktur masyarakat industri Eropah Barat. Struktur masyarakat Indonesia yang tidak industrialis melahirkan kaum marhaen yang tertindas dan melarat. Kaum Marhaen tidak terdiri dari satu golongan saja, tetapi terdiri dari petani kecil, pengusaha kecil, buruh kecil dan nelayan kecil atau rakyat kecil yang menanggung beban akibat penindasan atau dimelaratkan oleh Kapitalisme, Kolonialisme dan Imperialisme.

[13] Soekarno, 1933. Azas; Azas Perdjoangan; Taktik, Tulisan dalam Fikiran Ra’jat, 1933. Dalam DBR, 1963, hal. 249-251.

[14] Lihat Soekarno, 1963, “Mencapai Indonesia Merdeka”, dalam Di Bawah Bendera Revolusi I, Djakarta, hal. 200.

[15] Pemikiran ini diutarakan secara gambling dalam pidato Lahirnya Pancasila, disampaikan di depan Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai pada tanggal 1 Juni 1945

[16] Periksa dalam Soekarno, 1986, Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional, dalam amanat ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1961 di Jakarta, Jakarta, Ini Idayu Press, hal. 20-21

[17] Kesepakatan-kesepakatan dan pengaruh pemikiran Soekarno pada perjuangan Kemerdekaan di Afrika dapat ditelusuri pada Dipoyudo, 1977, Afrika Dalam Pergolakan, Jakarta, CSIS

[18] Bagaimana peranan PBB dalam percaturan pergaulan dunia internasional dapat dibaca pada James Barros, 1984, PBB: Dulu, Kini dan Esok, Jakarta, Bumi Aksara

[19] Bagaimana perilaku IMF dapat dicermati setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi. Tekanan-tekanan terhadap pemerintah sering diberitakan di mass media

[20] Soekarno, 1963, Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, hal. 262

[21] Soekarno, 1951, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di Muka Hakim Kolonial, Djakarta, Penerbit S.K. Seno, hal. 41-64

[22] Soekarno, 1951, Ibid, hal 76-77

[23] Periksa Antonio Gramsci, 1989, Suntingan Lawner, Letters From Prison, New York, The Nooday Press

[24] Periksa Soekarno, op cit, hal. 121-122

[25] New Emerging Forces (NEFO) diutarakan dalam Soekarno, 1964, Tahun “Vivere Pericoloso”, Pidato pada tanggal 17 Agustus 1964, Jakarta, Badan Penerbit Prapanca

[26] Periksa Soekarno, 1960, Membangun Dunia Kembali, Pidato Presiden RI dimuka Sidang Umum PBB ke XV tanggal 30 September 1960

[27] Ide menggabungkan ketiga kekuatan Nasional, Agama dan Komunis sudah dipikirkan Soekarno sejak tahun 1926, dapat diperiksa dalam artikel “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” dan dapat dibaca di kumpulan tulisan Di Bawah Bendera Revolusi Jilid I, hal. 1-22. Bagaimana sikap Soekarno terhadap Marxisme dan Komunisme juga dapat dicermati dalam tulisan ini

[28] Jawaban Soekarno terhadap salah pengertian tentang NASAKOM dapat ditelusuri dalam pidato RESOPIM

[29] Sikap ini ditegaskan dalam Soekarno, 1965, Capailah Bintang-Bintang di Langit: Tahun Berdikari, Pidato dalam ulang tahun Kemerdekaan RI ke 20, Jakarta, Departemen Penerangan RI

[30] Lihat dalam Soekarno, 1965, Capailah Bintang-Bintang di Langit: Tahun Berdikari, Pidato dalam ulang tahun Kemerdekaan RI ke 20, Jakarta, Departemen Penerangan RI, hal. 37

[31] Bandingkan dengan keberhasilan kebijakan Perdana Menteri Malaysia Mahatir Mohammad dalam pengembangan ekonomi Bumi Putera

[32] Soekarno, 1986, Genta Suara Republik Indonesia, amanat Presiden RI pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1963, Jakarta, Ini Idayu Press, hal. 103

[33] Periksa Soekarno, 1986, RE-SO-PIM (Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional), pidato pada ulang tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1961 di Jakarta, Ini Idayu Press, hal. 29

[34] Lihat Soekarno, ibid, hal. 43-44

[35] ibid, hal. 22

[36] Dalam Soekarno, 1986, Tahun “Vivere Pericoloso”, amanat Presiden RI pada ulang tahun Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1964 di Jakarta, Inti Idayu Press, hal. 147

 
Blogger Templates