Pages

Friday, August 17, 2012

Lenyapkan Sterilitiet Dalam Gerakan Mahasiswa

.:: Lenyapkan Sterilitiet Dalam Gerakan Mahasiswa ::.

PIDATO TERTULIS PYM PRESIDEN SUKARNO PADA KONFERENSI BESAR GMNI DI KALIURANG JOGJAKARTA, 17 FEBRUARI 1959.

Terlebih dahulu saya mengucapkan selamat dengan Konferensi Besar GMNI ini.
Dengan gembira saya membaca, bahwa asas tujuan GMNI adalah Marhaenisme.
Apa sebab saya gembira?

Tidak lain dan tidak bukan, karena lebih dari 30 tahun yang lalu saya juga pernah memimpin suatu gerakan rakyat---- suatu partai politik---- yang asasnya pun adalah Marhaenisme. Bagi saya asas Marhaenisme adalah suatu asas yang paling cocok untuk gerakan rakyat di Indonesia. Rumusannya adalah sebagai berikut:

Marhaenisme adalah asas, yang menghendaki susunan masyarakat dan Negara yang didalam segala halnya menyelamatkan kaum Marhaen.

Marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum Marhaen pada umumnya.

Marhaenisme adalah dus asas dan cara perjuangan “tegelijk”, menuju kepada hilangnya kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme.

Secara positif, maka Marhaenisme saya namakan juga sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi; karena nasionalismenya kaum Marhaen adalah nasionalisme yang sosial bewust dan karena demokrasinya kaum Marhaen adalah demokrasi yang social bewust pula.

Dan siapakah yang saya namakan kaum Marhaen itu? Yang saya namakan Marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat: yang telah dimelaratkan oleh setiap kapitalisme, imprealisme dan kolonialisme. Kaum Marhaen ini terdiri dari tiga unsur:

Pertama : Unsur kaum proletar Indonesia (buruh)

Kedua : Unsur kaum tani melarat Indonesia, dan

Ketiga : kaum melarat Indonesia yang lain-lain.

Dan siapakah yang saya maksud dengan kaum Marhaenis? Kaum Marhaenis adalah setiap pejuang dan setiap patriot Bangsa. Yang mengorganisir berjuta-juta kaum Marhaen itu, dan Yang bersama-sama dengan tenaga massa Marhaen itu hendak menumbangkan sistem kapitalisme, imprealisme, kolonialisme, dan Yang bersama-sama dengan massa Marhaen itu membanting tulang untuk membangun Negara dan masyarakat, yang kuat, bahagia sentosa, adil dan makmur.

Pokoknya ialah, bahwa Marhaenis adalah setiap orang yang menjalankan Marhaenisme seperti yang saya jelaskan di atas tadi.Camkan benar-benar!: setiap kaum Marhaenis berjuang untuk kepentingan kaum Marhaen dan bersama-sama kaum Marhaen!

Apa sebab pengertian tentang Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu saya kemukakan kepada Konferensi Besar GMNI dewasa ini? Karena saya tahu, bahwa dewasa ini ada banyak kesimpangsiuran tentang tafsir pengertian kata-kata Marhaenisme, Marhaen dan Marhaenis itu.

Saya harapkan mudah-mudahan kata sambutan saya ini saudara camkan dengan sungguh-sungguh, dan saudara praktikkan sebaik-baiknya, tidak hanya dalam lingkungan dunia kecil mahasiswa, tetapi juga di dunia besar daripada massa Marhaen. Sebab tanpa massa Marhaen, maka gerakanmu akan menjadi steril! Karena itu:

Lenyapkan sterilitiet dalam Gerakan Mahasiswa!

Nyalakan terus obor kesetiaan terhadap kaum Marhaen!

Agar semangat Marhaenisme bernyala-nyala murni!

Dan agar yang tidak murni terbakar mati!

Sekian dulu, dan sekali lagi saya ucapkan selamat kepada Konferensi Besar GMNI, dan mudah-mudahan berhasilLah Konferensi Besar ini.





Jakarta, 17 Februari 1959

PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI/

PEMIMPIN BESAR REVOLUSI





SUKARNO
BAPAK MARHAENISME

Apa dan Siapa Bung Karno

Apa dan Siapa Ir. Sukarno

Ir. Sukarno -atau yang lebih dikenal rakyat Indonesia dengan nama Bung Karno- dalam lembaran sejarah ketatanegaraan Indonesia tercatat sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama. Tetapi peranan beliau dalam perjuangan bangsa Indonesia sebenarnya jauh lebih luas. Beliaulah-bersama Drs. Moh. Hatta-membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, sehingga diberi predikat Bapak Proklamator. Selain itu beliau juga diakui sebagai Bapak Bangsa (founding fathers) yang banyak berperan dalam membangkitkan, memberikan jati diri bangsa dan kemudian meletakkan dasar Negara Republik Indonesia, Pancasila, yang pertama kali dilontarkan pada 1 Juni 1945.

Bung Karno dilahirkan di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901. Ayahnya adalah seorang guru bernama R. Soekemi Sosrodihardjo, sedang ibunya, Nyoman Rai, adalah kerabat seorang bangsawan di Singaraja (Bali).

Sejak usia muda, bahkan ketika masih bersekolah di HBS (Hogere Burger School, sekolah lanjutan setingkat SMA) Surabaya, beliau telah terjun untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, dengan memasuki organisasi Tri Koro Darmo, organisasi pemuda yang kemudian berubah nama menjadi Jong Java. Bahkan semasih di HBS pula Bung Karno mulai menulis artikel politik melawan kolonialisme Belanda di surat kabar pimpinan tokoh Sarekat Islam, HOS. Tjokroaminoto, Oetoesan Hindia.

Setamatnya dari Technische Hoge School Bandung (kini Institut Teknologi Bandung) beliau menolak menjadi pegawai pemerintah kolonial. Sebaliknya pada tanggal 4 Juli 1927 bersama Mr. Sartono, Ir. Anwari, Mr. Sunario dan lain-lain beliau mendirikan PNI, sebuah partai politik yang memiliki program untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Tahun 1927 itu pula Bung Karno mempelopori berdirinya PPPKI (Permufakatan Partai-partai Politik Kebangsaan Indonesia), sebagai gabungan dari organisasi-organisasi dan partai politik yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, di antaranya PNI, PSII, Budi Utomo, Pasundan, Sumatranen Bond, dan Kaum Betawi.

Karena kegiatan politiknya pada tahun 1930 Bung Karno ditahan pemerintah kolonial dan kemudian dijatuhi hukuman selama 4 tahun. Pidato pembelaannya di Landraad Bandung yang diberi judul Indonesia Menggugat menggegerkan dunia internasional, sehingga pemerintah kolonial pada tanggal 31 Desember 1931 terpaksa membebaskan Bung Karno sebelum masa hukumannya selesai.

Sekeluarnya dari penjara Sukamiskin ternyata kegiatan Bung Karno tidak berkurang. Bahkan beliau memutuskan masuk ke Partindo (Partai Indonesia), dan memimpin majalah partai yang radikal, Fikiran Ra'jat. Tahun 1934 Bung Karno diasingkan ke Ende (Flores), dan kemudian pada tahun 1938 dipindahkan ke Bengkulu.

Sebagai orang interniran, Bung Karno tetap menyebarluaskan cita-cita kemerdekaan. Sejak di Ende Bung Karno mendirikan perkumpulan sandiwara yang diberi nama Kelimutu, dan sempat mementaskan cerita-cerita karangannya, seperti "Dr. Syetan" dan "1945". Kegiatan itu diteruskan di Bengkulu. Bahkan di tempat pengasingan yang baru itu Bung Karno aktif dalam kegiatan pendidikan lewat Muhammadiyah.

Ketika Jepang menyerang Indonesia, oleh Belanda Bung Karno akan dibawa ke Australia. Tetapi ternyata rencana itu gagal, sehingga Bung Karno jatuh dalam kekuasaan tentara Jepang. Menyadari besarnya pengaruh Bung Karno di kalangan rakyat Indonesia, Jepang akhirnya membawa Bung Karno ke Jakarta.

Sesuai kesepakatan di antara para pemimpin pergerakan, Bung Karno dan Bung Hatta berjuang di tengah tentara pendudukan, sementara Sutan Sjahrir bergerak di bawah tanah. Pada tanggal 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, Bung Karno menyampaikan gagasannya tentang Pancasila, sebagai dasar falsafah negara Indonesia Merdeka. Dalam akhir persidangan BPUPKI, sila-sila dalam Pancasila itu disahkan untuk dimasukkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Setelah mengetahui bahwa Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu, pada tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia di halaman rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Sehari kemudian, dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia Bung Karno secara aklamasi dipilih menjadi presiden pertama Republik Indonesia.

Menghadapi upaya kolonialisme Belanda untuk kembali menjajah Indonesia, Bung Karno memutuskan hijrah ke Yogyakarta dan memimpin perjuangan dari kota itu. Baru setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag mengakui kedaulatan Republik Indonesia, Bung Karno dan seluruh jajaran pemerintahan kembali ke Jakarta.

Berkat kepemimpinan Bung Karno akhirnya negara Republik Indonesia Serikat yang semula direncanakan Belanda gagal dan pada 1 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan. Bung Karno akhirnya berhasil menyempurnakan Negara Kesatuan itu setelah Belanda bersedia menyerahkan Irian Barat ke Indonesia pada tahun 1962.

Selama menjabat Presiden RI Bung Karno juga terus memperjuangkan kemerdekaan negara-negara terjajah. Berkat gagasannya menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika pada bulan April 1955 di Bandung, sejumlah negara di Asia-Afrika berhasil memperoleh kemerdekaannya. Bung Karno tidak henti-hentinya berjuang untuk perdamaian dunia, seperti menggalang Konferensi Non-Blok bersama sejumlah tokoh dunia ketiga seperti Nehru, Nasser, Tito dan Nkrumah. Berkat perjuangannya itu Bung Karno juga mendapat gelar Pahlawan Islam Asia-Afrika. Dan Mingguan Time yang berpengaruh di dunia internasional memasukkan Bung Karno dalam tokoh Asia yang berpengaruh di abad ke-XX, sejajar dengan Nehru, Mao Zedong serta Nasser.

Pribadi Bung Karno sendiri sangat luar biasa. Tidak heran para pengamat mengatakan, selama 100 tahun belum tentu di Indonesia lahir seorang tokoh seperti Bung Karno. Ia tidak hanya dikenal sebagai orator hebat, tetapi juga diplomat ulung.

Bung Karno mendapat gelar Doctor Honoris Causa dari 26 universitas di dalam maupun di luar negeri. Selain dari universitas terkemuka di Indonesia seperti Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin dan Institut Agama Islam Negeri Jakarta, juga dari perguruan tinggi di mancanegara. Di antaranya, Columbia University (Amerika Serikat), Berlin University (Jerman), Lomonosov University (Moscow), Al-Azhar University (Cairo). Berbagai bidang keilmuan menunjukkan luas wawasan Bung Karno. Tidak hanya dalam Ilmu Teknik, tapi juga dalam Ilmu Sosial dan Politik, Ilmu Hukum, Ilmu Sejarah, Filsafat dan Ilmu Ushuluddin.

Thursday, August 16, 2012

BELAJAR DARI PANDANGAN BUNG KARNO TENTANG MARXISME

BELAJAR DARI PANDANGAN BUNG KARNO
TENTANG MARXISME

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO

(Oleh :A. Umar Said )

Mohon diperkenankanlah hendaknya, bahwa tulisan kali ini, di samping disajikan kepada para pembaca, dimaksudkan juga sebagai surat terbuka yang bersisi curahan-hati dan imbauan kepada para pimpinan dan kader-kader Nahdatul Ulama, Muhammadiayah, Majlis Ulama Indonesia, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Golkar, Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan, Partai Nahdatul Umat, Partai Masyumi, Partai Syarikat Islam Indonesia, dan juga partai-partai lainnya yang tidak disebutkan (karena terlalu panjang!). Juga mohon diperbolehkan kiranya, sebagai seruan atau ajakan kepada para pimpinan pondok pesantren dan berbagai organisasi Islam, untuk merenungkan hal serius yang berikut :

Menurut berita yang sudah tersiar di luarnegeri, sejak beberapa hari ini toko-toko buku Gramedia, baik yang di Jakarta maupun yang di kota-kota lain, terpaksa menarik dari peredaran buku-buku yang mengandung ajaran Marxisme, komunisme atau ajaran-ajaran kiri lainnya. Sekitar 30 judul buku sudah dihilangkan dari rak-rak penjualan, termasuk buku karya pengarang ternama Pramoedya Ananta Toer, filosuf Frans Magnis Suseno dan pengamat politik Hermawan Sulistyo. Langkah ini telah diambil oleh pimpinan Gramedia, karena ada ancaman dari Aliansi Anti Komunis dan Gerakan Pemuda Islam bahwa mereka akan menyerbu toko-toko buku Gramedia dan membakari buku-buku yang berbau kiri.

Menurut pimpinan Gerakan Pemuda Islam (GPI), sekitar 36 000 anggota GPI Jakarta Raya akan melancarkan aksi-aksi terhadap toko-toko terkemuka di Jakarta pada tanggal 20 Mei yad, bertepatan dengan Hari Kebangkitan Nasional. Aksi ini untuk menunjukkan komitmen mereka dalam menentang komunisme. Gramedia mempunyai 42 cabang di seluruh negeri, dan 16 di antaranya terdapat di Jakarta. (kutipan dari Jakarta Post 3 Mei 2001).

(Catatan : tulisan ini bebas untuk diteruskan kepada siapa saja.)

Apa yang terkandung dalam berita tersebut di atas patutlah kiranya mendapat perhatian yang serius dari para tokoh-tokoh dari berbagai kalangan Islam. Sebab, kalau rencana aksi tersebut jadi dilaksanakan juga, maka akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan siapa saja. Sebaliknya, aksi-aksi semacam itu akan merugikan kita semua sebagai bangsa, dan juga akan bisa merugikan citra Islam sebagai keseluruhan, walaupun hanya dilakukan oleh sebagian kecil dari kalangan Islam. Marilah persoalan ini sama-sama kita telaah dari berbagai segi, demi kepentingan kita semua.

Selama ini, citra Indonesia sudah sangat buruk di arena internasional, sebagai akibat begitu banyaknya pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan secara besar-besaran oleh rezim militer Orde Baru/GOLKAR selama puluhan tahun (harap ingat, antara lain : pembunuhan massal jutaan orang tidak bersalah dalam tahun 65/66, penahanan terhadap orang-orang tidak bersalah selama puluhan tahun, perlakuan terhadap para eks-tapol beserta keluarga mereka, dimatikannya demokrasi, kasus Timor-Timur dll). Citra yang sejak lama sudah buruk ini, akhir-akhir ini masih, dan makin, diperburuk lagi dengan adanya permusuhan berdarah antar-agama atau antar-suku. Di samping itu, masalah korupsi besar-besaran yang begitu banyak dilakukan oleh para tokoh Orde Baru/GOLKAR (yang kebanyakan juga mengaku beragama Islam!) menambah juga buruknya citra bangsa kita sebagai keseluruhan. Bagi banyak orang Indonesia yang tinggal di luarnegeri, masalah ini terasa sekali.

Oleh karena itu, adalah kewajiban kita bersama (terutama bagi tokoh-tokoh Islam) untuk melakukan pekerjaan pendidikan, penjelasan, atau “peringatan” terhadap golongan-golongan yang sehaluan (atau sealiran fikiran) dengan Aliansi Anti Komunis dan GPI supaya rencana aksi mereka itu jangan sampai dilaksanakan. Sebab, pada hakekatnya, dengan ditariknya buku-buku kiri dari peredaran bukanlah berarti “kemenangan” bagi mereka (dan golongan-golongan yang sefikiran dengan mereka). Bahkan sebaliknya. Tindakan-tindakan ini, atau tindakan dalam bentuk lainnya yang senafas, menunjukkan kwalitas rendah jati diri pelaku-pelakunya (dan organisatornya atau para sponsornya!!!). Ancaman, teror, tekanan, apalagi aksi kekerasan yang serupa, bukanlah sesuatu yang bisa membikin citra Islam menjadi lebih baik. Bahkan sebaliknya. Padahal, perbuatan semacam itu hanyalah ulah segolongan kecil orang-orang yang menamakan diri mereka Islam.

Mengingat itu semuanya, alangkah menyedihkannya, kalau para tokoh Islam (atau tokoh dari golongan atau kalangan yang manapun!) membiarkan saja adanya gejala-gejala yang semacam itu. Lebih-lebih lagi, kalau mereka senang atau menyetujuinya. Sebab, kalau memang demikian halnya, maka akan lebih kelihatanlah betapa parahnya “kekerdilan” jiwa para tokoh-tokoh itu. Kekerdilan atau kepicikan cara berfikir para “elite” demikian itu adalah kerugian bagi bangsa dan negara kita. Juga kerugian bagi citra Islam.

PENGHINAAN TERHADAP HARI KEBANGKITAN NASIONAL

Ancaman oleh Aliansi Anti Komunis dan Gerakan Pemuda Islam untuk menyerbu, atau membakar, atau melarang peredaran buku-buku “kiri” itu saja sudah patut menjadi bahan renungan serius kita bersama. Apalagi, ditambah pula bahwa aksi itu akan dilakukan pada Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, hari bersejarah KITA SEMUA. Padahal, sesuai dengan jiwa dan namanya, Hari Kebangkitan Nasional adalah, selama ini, merupakan hari mulia bagi semua komponen bangsa, semua suku, semua agama dan kepercayaan, semua ras, dan semua aliran politik, yang terdapat di Indonesia.

Kalau kita tengok ke belakang, nyatalah bahwa sejarah kebangkitan nasional kita adalah suatu rentetan panjang perjuangan. (Ma’af, bahwa dalam tulisan ini diulangi lagi hal-hal yang sudah dikemukakan dalam tulisan terdahulu, supaya lebih jelas lagi). Rentetan ini yang dimulai oleh lahirnya Boedi Oetomo dalam tahun 1908, telah diteruskan, telah dipupuk dan dikembangkan oleh banyak orang dari berbagai golongan dan aliran. Kita ingat kepada Sarekat Dagang Islam (1911) yang dipimpin oleh Haji Samanhudi. Kepada Sarekat Islam (1912) yang dipimpin oleh Haji O.S.Tjokroaminoto. Kepada Sarekat Islam merah (Semarang) yang dipimpin oleh Semaun, Alimin dan Darsono. Kepada Sarekat Islam putih (Yogyakarta) yang dipimpin oleh H. Agus Salim, Abdul Muis dan Suryopranoto. Kepada Indische Partij (1912) yang dipimpin oleh Dr Douwes Dekker (Dr Setiabudhi), Suwardi Suryaningrat dan Dr Tjiptomangunkusumo. Kepada Muhammadiyah (lahir di Yogyakarta, tahun 1912) yang dipimpin oleh Haji Ahmad Dahlan.

Proses kebangkitan nasional ini kemudian diteruskan oleh lahirnya PKI (1920), yang juga dipimpin oleh Semaun, dan disambung oleh pembrontakan PKI melawan pemerintahan kolonial Belanda dalam tahun 1926 dan 1927. Lahirnya Perhimpunan Indonesia (PI) di Belanda dalam tahun 1922, yang tokoh-tokohnya adalah Moh.Hatta, Nazir Datuk Pamuncak, Abdulmadjid Djoyodiningrat, Ali Sastroamidjoyo juga merupakan mata-rantai kebangkitan nasional bangsa. Lahirnya PNI tahun 1927 di bawah pimpinan Bung Karno adalah peristiwa besar dalam proses kebangkitan nasional bangsa kita, yang diiringi oleh peristiwa besar lainnya, yaitu Sumpah Pemuda (1928).

Mengingat sejarah Kebangkitan Nasional yang demikian itu, maka terasa sekalilah betapa besar penghinaan aksi yang direncanakan oleh Aliansi Anti Komunis dan Gerakan Pemuda Islam dengan “menggerebeg” toko-toko buku yang mengedarkan penerbitan-penerbitan yang berhaluan kiri atau bercorak komunis dan Marxis, pada hari yang kita muliakan bersama itu. Dari segi inilah kita bisa melihat betapa parahnya akibat buruk yang ditimbulkan oleh ketetapan MPRS 25 tahun 1966, yang telah dipaksakan oleh rezim Orde Baru/GOLKAR.

Dalam kaitan ini, adalah amat penting bagi kita semua (termasuk mereka yang sehaluan dengan Aliansi Anti Komunis dan GPI) berusaha menelaah dengan jernih dan nalar sehat, mengapa para pendiri rezim Orde Baru (khususnya pimpinan TNI-AD, waktu itu) memaksakan dikeluarkannya TAP MPRS 25/1966 itu, dan apa pula akibat-akibatnya bagi bangsa kita. Tanpa merentang-panjangkan lagi persoalannya (dalam tulisan ini) maka jelaslah bahwa TAP MPRS itu telah digunakan untuk menghancurkan PKI beserta seluruh kekuatannya yang terhimpun dalam berbagai organisasi massa. Walaupun jutaan simpatisan, anggota, atau yang dituduh anggota PKI sudah dibunuhi dan ratusan ribu lainnya dipenjara dalam jangka panjang sekali, mereka (para pendiri Orde Baru/GOLKAR) masih menginginkan supaya dengan ketetapan MPRS 25/1966 itu semua orang tidak berani mencoba-coba lagi untuk “menghidupkan” kembali PKI.

Selama lebih dari 32 tahun (sampai sekarang!!!) TAP MPRS 25/1966 ini telah dijadikan alat terror yang luar biasa ganasnya. Sebagai akibatnya, bukan hanya keluarga atau simpatisan PKI saja yang merasa dipersekusi, tetapi juga orang-orang lain (yang non-PKI) dalam masyarakat. Ditambah dengan kampanye dan peraturan “bahaya laten PKI”, “bersih lingkungan”, “surat bebas G30S”, maka seluruh negeri telah diterror secara mental. Indoktrinasi “PKI jahat” itu yang dilancarkan oleh Orde Baru secara intensif sekali, - lewat berbagai cara dan dalam jangka lama - telah meracuni fikiran banyak orang di berbagai golongan, baik di kalangan pejabat, kalangan agama, maupun kalangan pelajar dan pemuda.

Kalau kita telaah pengalaman bangsa kita selama Orde Baru, nyata sekalilah bahwa penyebaran racun “PKI jahat” ini adalah tindakan yang tidak berperi-kemanusiaan, yang telah membikin kesengsaraan bagi banyak sekali orang. Banyak sekali anggota keluarga para korban 65 dan keluarga eks-tapol yang mengalami berbagai penderitaan yang berkepanjangan. Padahal, banyak di antara mereka itu yang juga beragama Islam. Adalah suatu hal yang patut menjadi pemikiran bagi para tokoh-tokoh Islam mengapa keadaan yang menyedihkan ini dibiarkan saja. Apalagi, kalau diingat bahwa perlakuan yang begitu kejam itu dilakukan (atau didukung) oleh kalangan “elite” kita (termasuk, bahkan terutama, “elite” yang menamakan diri Islam).

BELAJAR DARI SEJARAH BUNG KARNO

Oleh karena aksi Aliansi Anti Komunis dan GPI itu direncanakan akan dilaksanakan dalam rangka Hari Kebangkitan Nasional dan juga menjelang akan dirayakannya HUT ke-100 Bung Karno, maka ada baiknya kita melihat persoalan ini dari sudut pengalaman sejarah Bung Karno. Sebab, agaknya, bangsa kita perlu terus-menerus ingat bahwa Bung Karno, sebagai tokoh nasionalis yang berorientasi politik kiri, telah memimpin perjuangan bangsa sejak muda (sampai menjelang akhir hayatnya) dengan gagasan besar mempersatukan seluruh bangsa atas dasar persatuan golongan nasionalis, agama dan komunis (Marxis). Tulisannya dalam Suluh Indonesia Muda (1926) ketika ia masih berumur 25 tahun (!) - dan sebelum mendirikan PNI (1927) - sudah menggambarkan dengan jelas konsepnya ini. Konsep besarnya inilah yang kemudian telah membimbingnya dalam memimpin perjuangan bangsa, sampai ia menjadi kepala negara. Konsep besarnya inilah yang juga dituangkannya dalam memperkenalkan Marhaenisme (sekitar tahun 1930), yang merupakan ekspressi : Ketuhanan Yang Maha Esa, Socio-nasionalisme dan Socio-demokrasi.

Dalam berbagai kesempatan, Bung Karno telah mengungkapkan bahwa Marhaenisme adalah Marxisme yang ditrapkan atau disesuaikan dengan keadaan di Indonesia. Dinyatakannya juga berkali-kali bahwa ia adalah seorang sosialis, seorang kiri, seorang Muslim yang menggunakan materialisme-histori dalam memandang persoalan-persoalan sejarah dan masyarakat. Agaknya, dasar-dasar pemikirannya ini pulalah yang bisa menunjukkan mengapa Bung Karno sejak muda sudah menghubungkan soal perjuangan bangsa Indonesia dengan perjuangan bangsa-bangsa lain.

Dalam tulisannya “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” dalam Suluh Indonesia Muda itu (1926) ia sudah menegaskan bahwa “nyawa pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat, yaitu NASIONALISTIS, ISLAMISTIS DAN MARXISTIS” (ungkapan dalam bahasa Belanda. Pen). Dinyatakannya di situ bahwa “Partai Boedi Oetomo, Nationaal Indische Partij, Partai Sarekat Islam, Perserikatan Minahasa, Partai Komunis Indonesia dan masih banyak partai-partai lain … itu masing-masing mempunyai roh Nasionalisme, roh Islamisme, atau roh Marxisme”. Juga dinyatakannya :” Bukannya kita mengharap, yang Nasionalis itu supaya berobah faham jadi Islamis atau Marxis, bukannya maksud kita menyuruh Marxis dan Islamis itu berbalik menjadi Nasionalis, akan tetapi impian kita yalah kerukunan, persatuan antara tiga golongan itu”.

Bagi mereka yang belum pernah membaca tulisannya itu (terutama bagi berbagai tokoh partai atau berbagai organisasi, baik yang Islam maupun yang lainnya) adalah sangat berguna untuk bisa membacanya dengan cermat, dan, sedapat mungkin, juga menghayatinya. Tulisannya itu, merupakan karya pemikirannya yang cemerlang. Di dalamnya, ia dengan cukup jelas membahas masalah nasionalisme, masalah Islam, masalah Marxisme.

TAP MPRS 25/1966 JUGA UNTUK MENGHANCURKAN BUNG KARNO

Aspek yang jarang terfikir oleh banyak orang adalah bahwa TAP MPRS 25/1966 adalah juga salah satu cara untuk menghancurkan sejarah dan ketokohan Bung Karno. Hal-hal yang dikemukakan berikut mungkin bisa merupakan bahan bagi pemikiran kita bersama :

- Pimpinan TNI-AD mengetahui (waktu itu) bahwa PKI adalah pendukung yang besar (dan aktif) terhadap politik Bung Karno sejak tahun-tahun 50-an, baik yang berkaitan dengan masalah-masalah dalamnegeri maupun luarnegeri. Dan sesuai dengan perkembangan situasi nasional dan internasional waktu itu, dukungan PKI kepada Bung Karno juga makin lama makin membesar. Para pakar sejarah, atau pengamat politik yang cermat, tentunya ingat bahwa Bung Karno, sebagai nasionalis kiri dan revolusioner memang sejak muda sudah menjadi musuh kolonialisme Belanda dan kemudian (sejak tahun 1950) juga sudah “diincar” oleh imperialisme Barat, terutama AS dan Inggris.

- Berbagai data, bukti, analisa, yang dibikin oleh ahli-ahli Barat telah membongkar bahwa dalam rangka “perang dingin”, Bung Karno memang sudah sejak lama harus dilawan, dikalahkan, bahkan “dihancurkan” baik oleh musuh-musuhnya di dalamnegeri maupun luarnegeri. Antara lain, buku “Plot TNI AD-Barat di balik tragedi ‘65”, yang diterbitkan bersama-sama oleh LSM Tapol, MIK, dan Solidamor (Juli 2000), sudah menyajikan sebagian dari bahan-bahan tentang latar-belakang digulingkannya Bung Karno. Buku ini merupakan kumpulan penting tulisan ahli dan peneliti terkenal, umpamanya : Coen Holtzappel, W.F. Wertheim, David Johnson, Kathy Kadane, Ralp McGehee, Mark Curtis, Mike Head (mengenai peran kekuatan asing dalam penggulingan Bung Karno ini ada catatan tersendiri. Pen).

- Bung Karno sudah terang-terangan menyatakan diri sebagai seorang Muslim yang menggunakan cara berfikir marxis, dan Marhaenisme dinyatakannya sebagai pentrapan Marxisme dalam kondisi kongkrit Indonesia. Di samping itu Bung Karno telah mencetuskan gagasan NASAKOM, dan kemudian juga memimpin untuk dilaksanakannya konsepsinya ini di berbagai bidang. Oleh karenanya, dalam rangka inilah TAP MPRS 25/1966 juga berfungsi untuk menghancurkan ketokohan Bung Karno dalam sejarah bangsa kita. Dengan melarang Marxisme, secara langsung atau tidak langsung ajaran-ajaran Bung Karno juga menjadi “terlarang”, selama lebih dari 32 tahun. Karenanya, dalam jangka yang lama sekali semasa Orde Baru, banyak orang tidak berani bicara atau menulis tentang Marhaenisme atau tentang Bung Karno.

* * *

Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka makin jelaslah kiranya, mengapa para pendiri Orde Baru/GOLKAR telah menggulingkan Bung Karno, dan mengapa pula para pendukung setia Orde Baru terus-menerus selama puluhan tahun berusaha merusak citranya sebagai pemimpin bangsa. Juga, makin jelas mengapa kekuatan-kekuatan asing (terutama AS dan Inggris) berkepentingan sekali untuk ikut aktif menggulingkannya, sebagai bagian dari pergolakan "perang dingin" waktu itu. Dan, untuk tujuan itu, maka PKI sebagai pendukungnya yang besar, haruslah dihancurkan terlebih dulu. Penghancuran PKI telah melapangkan jalan bagi penghancuran Bung Karno, baik secara fisik maupun secara politik.

Sebagai akibat dihancurkannya kekuatan PKI dengan cara-cara yang luar biasa ganasnya, Orde Baru/GOLKAR juga telah dengan mudah melumpuhkan seluruh kekuatan pendukung Bung Karno lainnya, terutama para pendukung Marhaenisme. Gagasan besar Bung Karno yang diidam-idamkannya sejak umur 25 tahun, yaitu NASAKOM, dihabisi oleh Orde Baru. Dengan dilumpuhkannya kekuatan pendukung Bung Karno dalam jangka yang begitu lama, maka bangsa kita telah mengalami kemunduran dan kerusakan yang besar di berbagai bidang. Persatuan dan kerukunan nasional menjadi tercabik-cabik, Pancasila telah dirusak, KKN merajalela, agama telah diperalat untuk tujuan-tujuan yang tidak luhur, moral di kalangan .atasan. sudah makin membusuk, hukum diperjual-belikan, kepentingan "rakyat kecil" diabaikan.

Sekarang, banyak di kalangan rakyat melihat sendiri, bahwa sebagian besar di antara para pendiri Orde Baru/GOLKAR ( yang memusuhi ajaran-ajaran Bung Karno dan menggulingkannya), ternyata bukanlah tokoh-tokoh yang terhormat atau patut dihormati oleh rakyat. Sebaliknya, sekarang banyak orang mulai melihat (lagi!) sosok Bung Karno sebagai pemimpin rakyat yang sebenarnya. Perjalanan waktu di kemudian-hari pasti akan lebih menunjukkan lebih jelas lagi bahwa ia memang seorang tokoh yang patut menjadi kebanggaan kita bersama.

Paris, 6 Mei 2001

Wednesday, August 15, 2012

Mengapa Kita Harus Mengenang Bung Karno

MENGAPA BUNG KARNO PERLU KITA KENANG

KEMBALI DEWASA INI

Oleh :A. Umar Said

Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO

P.S. Penulis adalah salah seorang yang ikut mengumpulkan tanda-tangan di Budapest tahun 1962, dan menjadi anggota Panitia Pusat KWAA di Jakarta.

Peringatan Seabad HUT Bung Karno makin mendekat juga! Sekarang ini, kita semua masih belum bisa meramalkan bagaimana situasi negara dan bangsa kita, ketika hari yang bersejarah itu diperingati nantinya. Sebab, ketika tulisan ini dibuat, suasana di negeri kita sedang diliputi oleh pertentangan sengit antara berbagai golongan politik dan permusuhan tajam antara beraneka-ragam kelompok suku dan agama. Para anggota DPR dari berbagai fraksi atau partai politik mengeluarkan ucapan-ucapan yang mencerminkan betapa rusaknya moral politik di kalangan “elite”, sedangkan di kalangan eksekutif juga banyak hal yang dipersoalkan oleh opini publik. Di kalangan judikatif, sisa-sisa kerusakan berat yang dibuat oleh Orde Baru masih terus merupakan halangan besar ditrapkannya hukum. Hiruk-pikuk sekitar perlu dijatuhkannya Presiden Abdurahman Wahid atau tidak, telah membuka tabir bahwa masih banyak sekali tokoh-tokoh berbagai golongan yang dihinggapi penyakit-peyakit parah yang diwariskan oleh Orde Baru.

Begitu hebatnya kekacauan yang yang disebabkan oleh pertarungan di antara beraneka-ragam golongan dan kalangan “elite” itu, sehingga banyak orang bertanya-tanya mengapa keadaan yang begitu parah ini bisa terjadi. Sebagian orang membandingkan dengan situasi di bawah kepemimpinan Bung Karno, baik selama sebelum kemerdekaan, selama revolusi 1945-1949, maupun setelah Bung Karno menjadi kepala negara sampai 1965. Pada waktu itu, tidak pernah terjadi permusuhan antar-golongan dan antar-agama yang begitu hebat seperti sekarang ini. Bagi mereka yang pernah mengalami zaman kepemimpinan Bung Karno (yang jumlahnya masih banyak, walaupun kebanyakan sudah menginjak usia lanjut) masih terkenang betapa bersatunya rakyat dan bangsa menghadapi berbagai kesulitan, termasuk dalam menghadapi musuh-musuh dalamnegeri maupun luarnegeri waktu itu.

Semangat perjuangan dan persatuan rakyat yang dibangun oleh Bung Karno dkk sejak zaman kolonialisme Belanda, dapat terus berkobar selama puluhan tahun. Semangat berbakti kepada kepentingan rakyat, dan semangat bersedia berkorban demi kepentingan tanahair tetap terus menyala di bawah kepemimpinannya. Seluruh bangsa yang terdiri dari banyak suku merasa satu dalam perjuangan, dan semangat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan bersama bukanlah omongkosong saja. Semangat gotong-royong dalam menghadapi berbagai kesukaran bangsa menjadi ciri utama pada periode itu. Kemewahan kebendaaan bukanlah menjadi kebanggaan yang utama di kalangan masyarakat. Korupsi adalah dianggap noda besar bagi opini publik. Jarang ada pejabat yang jadi penjahat.

Banyak orang yang masih ingat, bahwa walaupun kehidupan waktu itu sulit (yang disebabkan oleh berbagai faktor dalamnegeri dan intervensi subversif kekuatan asing), tetapi rakyat merasa satu dengan kepemimpinan nasional Bung Karno. Karena, baik Bung Karno sendiri maupun banyak pendukung-pendukung politiknya mengutamakan kepentingan rakyat, tidak elitis, tidak korup, tidak mengejar kemewahan bagi pribadi mereka masing-masing.

BEDANYA DENGAN ZAMAN ORDE BARUNYA SUHARTO DKK

Ketika kita sekarang ini dihadapkan kepada begitu banyak persoalan rumit, yang merupakan reruntuhan atau puing-puing kebobrokan yang ditinggalkan Orde Baru, maka nampak sekalilah perbedaan besar antara zaman kepemimpinan Bung Karno dan sesudahnya. Yang amat menyolok adalah perbedaan besar di bidang sikap mental atau kehidupan moral para “tokoh” di berbagai kalangan (yang kemudian juga berdampak besar kepada kehidupan masyarakat). Kerusakan moral besar-besaran dan parah inilah merupakan salah satu di antara sejumlah sumber utama bagi timbulnya berbagai persoalan besar yang dihadapi negara dan bangsa kita dewasa ini. Sekarang, makin banyak orang yang yakin bahwa Orde Baru telah membuat berbagai kesalahan parah di banyak bidang, tetapi, masih banyak orang yang tidak melihat bahwa kerusakan yang paling besar yang dibuat oleh Orde Baru adalah justru adalah di bidang moral ini.

Mohon, marilah, dengan hati jernih, bersama-sama kita renungkan tentang besarnya kerusakan moral di negeri kita, yang sekedar contohnya adalah antara lain sebagai berikut:

- Sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa keluarga Presiden Suharto telah menjadi pusat KKN yang besar-besaran, berjangka-lama, dan bercabang-cabang seperti gurita. KKN keluarga Suharto telah menyeret sederetan panjang sekali nama-nama penting tokoh-tokoh Orde Baru/GOLKAR, baik di bidang eksekutif, legislaif dan judikatif maupun konglomerat hitam. Bahwa kepala negara telah terjerumus – selama tempo begitu lama pula! - dalam lembah yang begitu hina dan kotor, adalah merupakan noda besar dan bangsa. Alangkah besar beda sejarah hidup Bung Karno dengan sejarah hidup Suharto dkk.

- Kerusakan moral keluarga Suharto, telah mengakibatkan kerusakan moral besar-besaran juga di seluruh jajaran kekuasaannya. Tidak salahlah kalau opini dunia memandang Orde Baru adalah sistem politik (atau sistem pemerintahan) yang luar biasa korupnya, dan bahkan menduduki tempat yang paling buruk dalam daftar korupsi di dunia. Betapa tidak! Kalau Mahkamah Agung, pengadilan negeri, kejaksaan, kepolisian dipenuhi oleh pejabat-pejabat yang menjadi penjahat atau maling, maka pastilah hukum tidak bisa ditrapkan dengan baik. Kalau para pegawai negeri yang penting-penting sudah menjadi pemeras atau penipu rakyat (dalam segala bentuk dan cara), maka pantaslah kalau banyak kalangan masyarakat pun ikut-ikutan merusak kepentingan negara. Alangkah besarnya perbedaan dengan sikap aparat negara di zaman kepemimpinan Bung Karno, ketika rasa pengabdian kepada kepentingan rakyat terasa menonjol sekali waktu itu.

- Di zaman kepemimpinan Bung Karno, jarang sekali terdengar adanya pertikaian antar-suku, atau permusuhan antar-agama, atau perbenturan politik yang mengambil proporsi, bentuk atau skala seperti yang terjadi dewasa ini. Pertikaian dan permusuhan saling bunuh yang memakan korban puluhan ribu jiwa di berbagai daerah dewasa ini, dan terjadinya pengungsian penduduk sampai satu juta orang di seluruh Indonesia, adalah suatu fenomena tentang kemunduran besar dalam peradaban bangsa. Artinya, kerusakan moral yang parah sekali. Sebabnya, adalah karena Orde Baru tidak memberikan pendidikan moral toleransi dan kerukunan kepada bangsa, bahkan sebaliknya, merusaknya!

- Alangkah menyedihkannya, bahwa semangat perjuangan dan pengabdian kepada rakyat yang telah dibangun oleh perintis-perintis kemerdekaan sejak Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Sumpah Pemuda dstnya, telah “dimatikan” selama Orde Baru. Alangkah besarnya kerugian bagi bangsa bahwa apa yang telah dirajut oleh Bung Karno sejak tahun 1926 sudah dirusak oleh Suharto dkk. Dan, alangkah besarnya pula dosa para pendiri Orde Baru/GOLKAR, karena apa yang sudah dikerjakan oleh Bung Karno sebagai Kepala Negara dan pemimpin bangsa selama 20 tahun (antara 1945 sampai 1965) telah diporak-perandakan oleh Orde Baru/GOLKAR selama 32 tahun. Sebagai akibatnya, adalah situasi yang seperti kita saksikan bersama dewasa ini.

KEAGUNGAN KEPEMIMPINAN BUNG KARNO MAKIN TERASA

Sekarang, setelah bangsa kita mengalami masa Orde Baru dan sedang mewarisi segala akibat buruk sistemnya, terasa sekali betapa besarnya keagungan kepemimpinan Bung Karno dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya selama ini. Ia besar bukan karena diagung-agungkan oleh para pengagumnya secara artisifial (buatan). Ia betul-betul besar, berkat kepribadiannya yang memang besar, berkat ajaran-ajarannya yang cemerlang baik mengenai masalah-masalah dalamnegeri, maupun yang berkaitan dengan masalah-masalah internasional pada zamannya. Ia dicintai rakyat dan dihormati di luarnegeri, karena gagasan-gagasannya, karena perjuangannya, karena pengabdiannya kepada bangsa.

Sekarang, setelah bangsa kita dihadapkan kepada begitu banyaknya kerusakan-kerusakan parah yang disebabkan oleh peninggalan masa gelap Orde Baru, nyata sekalilah kebenaran berbagai ajaran Bung Karno tentang beraneka-ragam persoalan negara dan bangsa. Dengan membalik-balik lagi buku-buku yang berisi karya-karyanya (yang asli), maka kelihatan memancar kembali keagungan pemikiran-pemikirannya. Bukan hanya yang terungkap dalam Indonesia Menggugat”, atau dalam “Lahirnya Pancasila” saja, melainkan juga yang dituangkannya dalam teks pidato-pidatonya setiap tanggal 17 Agustus. Manifesto politik (Manipol) Bung Karno dalam tahun 1959 adalah satu rentetan berbagai gagasan-gagasannya yang besar untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa dan negara waktu itu, baik secara nasional maupun internasional (mohon baca kembali : Dibawah Bendera Revolusi, jilid dua).

Sekarang, setelah jutaan orang yang tidak bersalah telah dibunuh secara sewenang-wenang dalam tahun 1965/1966 oleh tindakan-tindakan para pendiri Orde Baru/GOLKAR dan juga pemenjaraan ratusan ribu orang tidak bersalah lainnya (harap catat : tanpa pengadilan!), maka terasa menjulang tinggi pulalah keagungan kenegarawanan Bung Karno. Patut sekali kita catat bersama, bahwa di bawah kepemimpinannya, para pendukung atau simpatisan pembrontakan RMS, Kahar Muzakkar, Andi Azis, DI-TII, PRRI-Permesta tidak mengalami perlakuan sekejam yang dialami oleh orang-orang (yang tidak bersalah apapun!) yang dituduh atau dicap sembarangan sebagai “terindikasi” tersangkut G-30S. Hanya sejumlah kecil pentolan-pentolan atau gembong-gembong gerakan-gerakan pembrontakan itulah yang dijatuhi hukuman setimpal atau menurut hukum. Dan ketika Masyumi dan PSI dinyatakan dilarang pun, maka anggota-anggotanya juga tidak dipersekusi seperti yang dialami para anggota atau simpatisan PKI. Padahal, sejarah sudah membuktikan bahwa pembrontakan PRRI-Permesta (yang mendirikan pemerintahan tandingan, dengan bantuan CIA) telah melakukan pengkhianatan terhadap Republik Indonesia secara besar-besaran.

100 TAHUN UNTUK BAYAR UTANG LUAR NEGERI

Sekarang, ketika banyak tokoh-tokoh Orde Baru/GOLKAR satu per satu mulai antri dalam deretan orang-orang yang harus diperiksa kejahatan mereka karena menjadi maling kekayaan negara dan rakyat, maka juga nyata sekalilah betapa besar kerusakan moral di kalangan “elite” yang telah menyeret negara dan rakyat dalam jurang krisis ekonomi yang berkepanjangan dan parah sekali dewasa ini.

Banyak pakar ekonomi Indonesia (dan asing) meramalkan bahwa kesulitan ekonomi Indonesia tidak akan mudah dipecahkan dengan segera. Bahkan ada pakar-pakar yang mengatakan bahwa bangsa Indonesia membutuhkan waktu sekitar 100 tahun guna mengembalikan utang luarnegeri yang dewasa ini mencapai sekitar 145 milyar dolar AS (bulan April 2001), atau setiap penduduk mendapat beban utang Rp 10,5 juta. Luar biasa! Utang luarnegeri tidak mendatangkan keuntungan bagi rakyat banyak. Utang luarnegeri yang sebesar itu hanya menguntungkan sejumlah konglomerat hitam dan pejabat-pejabat korup yang tidak bermoral. Adalah ketidak-adilan yang keterlaluan, kalau rakyat (dan generasi yang akan datang) harus menanggung beban begitu berat, sedangkan utang yang begitu besar itu hanyalah menguntungkan sejumlah kecil orang-orang yang mempersetankan kepentingan negara dan bangsa.

Karena itu, baik juga kita renungkan hal yang berikut : Ketika Bung Karno digulingkan, utang luarnegeri pemerintah RI adalah sekitar 2 milyar dolar AS. Itu pun sebagian terbesar adalah untuk membiayai perlengkapan angkatan perang, dan pengeluaran-pengeluaran yang ada sangkut-pautnya dengan konfrontasi Malaysia dan pembebasan Irian Barat. Jadi, utang itu tidak disebabkan oleh perbuatan-perbuatan kriminal atau tidak bermoral seperti halnya yang dilakukan para “tokoh-tokoh” Orde Baru (baik sipil maupun militer, termasuk para konglomerat hitam).

Selama puluhan tahun banyak tokoh Orde Baru/GOLKAR telah menikmati (melalui berbagai cara yang tidak sah) utang luarnegeri Republik Indonesia itu. Cerita tentang adanya “kebocoran” dana untuk anggaran pembangunan sebesar 30% setiap tahun sudah berkali-kali kita dengar selama ini. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela selama Orde Baru adalah sudah sedemikian parahnya sehingga sampai sekarang pun masih sulit untuk diberantas dengan cepat dan secara tuntas. Kasus BLBI, kasus Bank Bali, kasus “larinya” Tommy, hiruk-pikuk tentang Ginanjar dan Prayogo Pangestu, di “Nusakambangkan”-nya Bob Hasan hanyalah secuwil saja dari segunung masalah KKN yang perlu dibongkar terus.

Masalah korupsi berhubungan erat dengan masalah moral, sedangkan moral punya pengaruh juga terhadap kehidupan politik. Korupsi dan kerusakan moral politik inilah yang dewasa ini terasa sekali sedang melanda kalangan “elite” negeri kita, yang termanifestasi, antara lain, dalam hiruk-pikuk tentang perlunya Presiden Abdurahman Wahid turun dari kedudukannya sebagai kepala negara. Sejarah telah mulai membuktikan, bahwa para pendukung setia Orde Baru adalah pada hakekatnya, atau pada intinya, golongan yang tidak mungkin akan mendatangkan kebaikan apa pun bagi bangsa dan negara. Bahkan, sebaliknya. Tentang hal ini, perkembangan situasi di kemudian hari pastilah akan membuktikannya lebih jelas lagi.

HIDUPKAN KEMBALI AJARAN-AJARAN BUNG KARNO!

Kita semua selama ini telah menyaksikan bahwa sesudah Bung Karno digulingkan, ternyata para pendiri Orde Baru/GOLKAR (dan juga pendukung-pendukung setianya), tidak mampu menyajikan kepada bangsa kita konsep-konsep besar di bidang pembangunan bangsa (nation building) dan juga pendidikan watak bangsa (character building). Bahkan, gagasan-gagasan besar Bung Karno dalam bidang ini telah diusahakan untuk dimatikan. Padahal justru bidang inilah yang sejak puluhan tahun telah diusahakannya dengan susah payah, termasuk dengan darah dan air-mata oleh para perintis kemerdekaan lainnya.

Ini wajar, sebab Orde Baru/GOLKAR yang dibangun dengan dasar-dasar moral yang tidak luhur, tentu saja tidak mungkin melahirkan konsep-konsep besar mengenai bangsa. Kalaupun sejumlah konsep di di bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan telah diciptakan selama Orde Baru, maka ternyata dalam praktek bahwa konsep-konsep itu hanya bertujuan untuk memperkokoh sistem kekuasaan otoriter, dan bukan demi kepentingan rakyat banyak. (Untuk sekedar menyegarkan ingatan kita bersama: Secara terus-menerus pernah dikumandangkan semboyan-semboyan bagus seperti : Trilogi Pembangunan, Delapan Jalur Pemerataan, membudayakan ideologi Pancasila, Eka Prasetya Pancakarsa, mentrapkan “Demokrasi Pancasila secara konsekwen” dan segala macam semboyan atau berbagai “gerakan” lainnya).

Tetapi, pengalaman selama puluhan telah membuktikan bahwa Orde Baru bukan saja telah mengebiri Pancasila, melainkan juga telah menyalahgunakannya untuk melakukan praktek-praktek yang justru bertentangan sama sekali dengan jiwa atau tujuan Pancasila. Apa yang dilakukan oleh Orde Baru selama lebih dari 32 tahun adalah bertolak-belakang dengan konsep-konsep besar Bung Karno. Kalau kita baca kembali pidato-pidato Bung Karno, antara lain : “Jalannya revolusi kita” (Jarek), “Revolusi-Sosialisme Indonesia –Pimpinan Nasional” (Resopim), “Tahun Kemenangan” (Takem), “Genta Suara Republik Indonesia” (Gesuri), “Tahun Vivere Pericoloso” (Tavip), maka jelaslah bahwa Orde Baru telah menentang ajaran-ajaran Bung Karno.

Kalau diperas, atau dirumuskan secara tajam, maka bisalah kiranya dikatakan bahwa dengan menentang ajaran-ajaran Bung Karno ini, pada hakekatnya Orde Baru telah mengkhianati kepentingan rakyat dan bangsa. Apa yang sedang disaksikan oleh bangsa kita dewasa ini adalah bukti-bukti nyata dari akibat parah pengkhianatan ini.

Oleh karena itulah, ketika sekarang ini bangsa dan negara kita sedang kehilangan pedoman, dan sedang menghadapi kekosongan kepemimpinan moral, maka perlu sekali ajaran-ajaran besar Bung Karno diangkat atau dikenang kembali. Ketika banyak orang di negeri kita sedang bingung atau putus asa menghadapi situasi yang penuh pertentangan (agama, suku, ras, golongan politik dll) maka “jiwa” atau “saripati” ajaran Bung Karno masih tetap berguna untuk dipakai sebagai pegangan bersama.

Ajaran-ajaran Bung Karno berguna untuk direnungkan bersama dimana-mana, baik di Poso, Sampit, Bengkulu, Payakumbuh, Meulaboh, Medan, Banyuwangi, Purwokerto, Garut, maupun di Menado atau di tempat-tempat lainnya. Mengenang kembali dan menghayati sejarah perjuangan Bung Karno adalah salah satu cara bagi bangsa kita untuk menemukan kembali jalan yang benar.

Paris, 30 April 2001

Tuesday, August 14, 2012

BHINNEKA TUNGGAL IKA" KITA MENGHADAPI BAHAYA !

BHINNEKA TUNGGAL IKA" KITA MENGHADAPI BAHAYA !

(Oleh : A. Umar Said)

Tulisan ini adalah sekedar _urun rembug_ dan sekaligus juga merupakan ajakan, untuk bersama-sama, mencoba merenungkan gejala-gejala berbahaya yang akhir-akhir ini muncul di tanah-air kita. Bangsa kita sedang melalui masa transisi, dengan berusaha meninggalkan masa panjang yang kelam selama lebih dari tiga puluh tahun, menuju ke arah yang menjadi idaman kita bersama, yaitu kehidupan demokratik bagi rakyat, kemajuan ekonomi yang bisa dinikmati oleh sebagian terbesar bangsa kita, kestabilan keamanan yang bisa mengayomi seluruh warganegara republik kita.

Tetapi, dengan amat sedih _ dan perasaan was-was _ banyak di antara kita dewasa ini menyaksikan bahwa harapan akan datangnya perbaikan di berbagai bidang itu masih jauh, di ufuk sana! Ternyata, (dan ini kelihatan jelas sekali di banyak bidang), bahwa kekuatan Orde Baru masih cukup kuat. Dan, mereka tidak diam. Karena itu, tidak boleh diremehkan atau dianggap enteng saja. Seperti yang bisa kita baca dalam media pers setiap hari, banyak orang mendapat kesan bahwa reformasi, yang menjadi tuntutan angkatan muda sebelum dan sesudah jatuhnya Suharto dalam tahun 1998, berjalan lambat, pincang, bahkan sudah macet.

Kekuatan Orde Baru ini bukan hanya terdapat di kalangan militer (terutama TNI-AD), tetapi juga di kalangan birokrasi (pemerintahan), dan bukan hanya di Jakarta saja, tetapi juga (dan bahkan, terutama !) di tingkat propinsi, kabupaten, bahkan kecamatan. Dan gejalanya bukan hanya tercermin pada masih megahnya kantor-kantor Golkar, dan bukan pula pada masih banyaknya papan-papan nama Korpri, Darmawanita dll, yang sampai sekarang masih_ bersemarak_ di seluruh Indonesia. Gejala yang paling menyolok adalah yang berikut ini : _kultur_ Orde Baru_ yang masih berakar kuat dalam fikiran banyak orang, terutama di kalangan _elite_. Ini bisa kita saksikan dalam ucapan dan tingkah laku politik sebagian besar anggota DPR, MPR, tokoh-tokoh berbagai partai politik dan kalangan agama, dalam menghadapi berbagai masalah gawat dan pelik yang dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini..

Ketika berseliweran berbagai perbenturan kepentingan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, atas nama agama atau Tuhan, atas nama bangsa, atas nama tegaknya hukum atau keadilan, maka penting sekali bagi kita semua untuk tidak kesasar dalam membaca situasi yang semrawut seperti sekarang ini. Pada intinya, sekarang ini, sedang berkecamuk _ baik secara terbuka maupun tertutup, dan, dalam berbagai bentuk pula - perjuangan yang sengit antara kekuatan pro-rakyat atau pro-reformasi berhadapan dengan sisa-sisa kekuasaan politik Orde Baru. Artinya, antara berbagai golongan dalam masyarakat (mohon catat : jadi, bukan hanya mereka yang pro-PKI atau pro-Bung Karno saja, yang anggota keluarga mereka dibunuhi, atau dikucilkan, dipersekusi, selama puluhan tahun) menghadapi kekuatan laten pendukung-pendukung Suharto dkk. Kita menyaksikan bahwa mereka yang tadinya pernah tertipu oleh indoktrinasi rezim militer, sekarang juga ikut dalam perjuangan, karena menyadari betapa jahatnya sistem politik yang lama. Dan, jumlah mereka yang begitu itu cukup banyak.

PERJUANGAN INI AKAN PANJANG

Mengingat itu semua, seyogyanyalah kita menanamkan persiapan mental : perjuangan ini akan makan waktu panjang! Sebab, dari pengamatan perkembangan situasi akhir-akhir ini, jelaslah bahwa kita harus mencampakkan ilusi bahwa sesudah Suharto dkk tumbang, maka tugas kita bersama untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan besar yang telah dibuat rezim Orde Baru akan bisa berjalan mulus dan cepat. Nalarnya begini: Suharto dkk (sekali lagi baca : pimpinan TNI-AD, Golkar, dan sebagian kalangan Islam) telah mengangkangi sambil sekaligus mengobrak-abrik tatanan negara kita selama lebih dari 32 tahun, artinya, lebih dari separoh umur republik kita!

Hiruk-pikuk akrobasi politik yang sedang digelar oleh para reformis gadungan dan pendukung-pendukung gelap Orde Baru di DPR, MPR dan oleh berbagai tokoh masyarakat dewasa ini, kiranya dapat dilihat dengan kaca-mata yang demikian itu. Artinya, bahwa sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih kuat, dan juga mampu membikin onar politik, dan makin menambah banyaknya kekisruhan yang sudah bertumpuk-tumpuk sebagai warisan zaman gelap itu. Itu semua dengan tujuan untuk menggulingkan Gus Dur, dan merebut kembali kekuasaan politik. Jadi, bahaya restorasi Orde Baru (dalam kemasan baru tetapi dengan isi yang itu-itu juga) adalah nyata.

Karena itu, adalah kewajiban kita bersama untuk waspada dan siap-siap untuk menghadapi adanya _arus balik _. Demi kelanjutan reformasi, seluruh kekuatan pro-rakyat dan pro-demokrasi perlu memobilisasi diri untuk mencegah kelahiran Orde Baru edisi kedua. Tantangannya berat, dan risikonya juga besar. Sedikit kemajuan kehidupan demokrasi (kemerdekaan pers dan kebebasan berpolitik), yang sudah direbut oleh rakyat akhir-akhir ini, akan bisa lepas, kalau bahaya restorasi Orde Baru ini tidak kita cegah bersama-sama.

Edisi kedua Orde Baru, dalam bentuknya yang bagaimanapun, berarti kemunduran ke belakang yang panjang bagi rakyat yang mendambakan perobahan-perobahan mendasar. Penderitaan yang berkepanjangan akan bisa terulang lagi. Cukuplah sudah kiranya bangsa kita mengalami malapetaka yang bernama Orde Baru!. Terulangnya, sekali lagi, walaupun dengan bentuk baru, akan makin membikin negara lebih porak-poranda lagi. Pedoman besar bangsa kita Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika akan, seperti yang sudah-sudah selama kekuasaan rezim militer Suharto dkk, akan dikentuti saja oleh para penguasa baru.

Pengalaman di masa-gelap yang lalu membuktikan bahwa pembodohan politik (dan perusakan moral!) yang dijalankan secara besar-besaran oleh kekuasaan yang lama itu telah membikin banyak orang lupa - atau bahkan tidak mengerti - tentang kebesaran arti kedua pedoman besar kita itu. Memang, seperti kita saksikan di mana-mana, lambang Bhineka Tunggal Ika banyak dipasang di kantor-kantor atau gedung-gedung, baik yang pemerintah atau pun swasta. Tetapi, kita juga bisa mengamati bahwa lambang negara dan bangsa yang agung itu hanyalah dijadikan pajangan saja, yang tidak mempunyai arti apa-apa.

Kenyataan ini bukan saja memprihatinkan, tetapi juga menyakitkan hati. Sebab, justru begitu banyak politik atau _kebijakan_ Orde Baru telah terang-terangan di bikin dalam ruangan-ruangan yang dihiasi oleh Bhineka Tunggal Ika. Seolah-olah, segala kejahatan Orde Baru telah di buat dengan _kesaksian_, atau _pengayoman_ atau _restu_ sang Bhineka Tunggal Ika. Dan ini merupakan kejahatan ganda. Sebab, begitu banyak politik Orba yang ternyata terang-terangan bertentangan dengan jiwa atau isi yang dikandung dalam Bhineka Tunggal Ika. Dalam bahasa yang polos, Orde Baru telah mengkhianati, atau melecehkan, atau merusak jiwa besar yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika.

PERSATUAN DALAM KERAGAMAN

Seperti yang kita fahami atau hayati, Bhineka Tunggal Ika mengandung pesan : berbeda-beda tetapi satu, bersatu dalam perbedaan, kesatuan dalam keragaman. Wawasan agung inilah yang telah ditegakkan oleh para pejuang kemerdekaan dan para pembangun bangsa Indonesia dalam tahun 20-an. Dengan menyimak lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengan lambang negara kita itu, maka makin jelas pulalah keagungannya. Penjelasannya adalah, antara lain, yang berikut :

Penduduk Republik Indonesia berjumlah sekitar 210 juta orang, yang terdiri dari sekitar 300 suku, dan yang menggunakan sekitar 580 bahasa dan dialek. Mereka menghuni 6000 pulau dari seluruh jumlah kepulauan sebesar 17 508 pulau. Di antara penduduk yang begitu besar itu (ke-4 di dunia) kira-kira 87% memeluk agama Islam, 6% agama Protestan, 3% agama Katolik, 2% agama Hindu, 1% agama Budha, dan selebihnya memeluk berbagai kepercayaan.. Luas wilayahnya (darat dan laut) dari Sabang ke Merauke bisa menutupi seluruh Eropa, dari London sampai pegunungan Ural.

Kalau melihat angka-angka tersebut di atas maka nyatalah bahwa bangsa Indonesia memang terdiri dari beraneka ragam suku, agama (atau kepercayaan), adat-istiadat, kebiasaan hidup sehari-hari, dan berbagai aspek lainnya.

Dari sejarah kita mengetahui bahwa gerakan politik rakyat untuk melawan kolonialisme Belanda, telah mempersatukan atau menyatukan berbagai golongan, suku dan agama, dan aliran politik dalam semangat Sumpah Pemuda dalam tahun 1928, yang mengikrarkan : _satu bangsa, satu tanah-air dan satu bahasa_.

Dari sudut pandang inilah kiranya kita bisa menilai betapa besarnya arti lambang Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan produk perjuangan yang begitu panjang oleh para perintis kemerdekaan dan pejuang pembebasan nasional. Dan dari sudut pandang itu pulalah kita bisa mengukur betapa besar kerusakan yang telah disebabkan oleh rezim militer Orde Baru. Akibat kesalahan-kesalahan politik itulah yang sekarang sedang kita warisi dewasa ini, umpamanya : berbagai gejolak di daerah-daerah yang menginginkan kemerdekaan, tuntutan otonomi yang lebih luas (catatan : tuntutan ini adil!), ketidak-percayaan kepada Pemerintah Pusat, pertentangan antar-suku dan antar-agama.

Ketika membaca bagian di atas, mungkiin ada orang yang menyeletuk bahwa Orde Baru telah bisa berhasil mempersatukan bangsa atau menjaga kesatuan negara kita selama 32 tahun. Terhadap ungkapan orang yang semacam ini patutlah kiranya dijawab bahwa persatuan bangsa atau kesatuan negara selama itu adalah sebenarnya semu, dan di dasarkan pada ancaman ujung bayonet. Persatuan yang sungguh-sungguh (artinya, bukan semu) tidak mungkin dibangun oleh suatu diktatur militer. Jadi, singkatnya, dan pada intinya, kekuasaan militerlah (dalam hal ini, sekali lagi, TNI-AD) yang merusak Bhineka Tunggal Ika.

Dan sekarang ini, kekuatan-kekuatan gelap Orde Baru beserta reformis gadungan sedang berusaha untuk tampil lagi di panggung kekuasaan politik. Mereka sedang melakukan berbagai kegiatan (baik terbuka maupun tertutup) untuk menimbulkan berbagai keruwetan politik dan keonaran, untuk menggulingkan Gus Dur. Menghadapi bahaya ini, seluruh kekuatan pro-reformasi dan pro-demokrasi perlu mengatur barisan dan mempersatuan kekuatan untuk melawannya. Sebab, betapapun merdunya nyanyian yang mereka dendangkan, adalah omong kosong besar kalau para reformis gadungan akan bisa, atau akan mau, melaksanakan reformasi secara tuntas dan sungguh-sungguh.

Reformasi berarti talak-tiga dengan fikiran, praktek, mental atau _kultur_ Orde Baru. Reformasi yang sungguh-sungguh tidak mungkin dilakukan oleh para reformis gadungan yang bersekongkol dengan kekuatan-keuatan gelap Orde Baru. Karenanya, reformis gadungan ini harus tetap terus dijadikan sasaran serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh kekuatan demokrasi dan pro-reformasi. Sebab, mereka ini sama berbahayanya dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang masih bersembunyi di mana-mana. Bahkan mungkin lebih berbahaya, sebab mereka bisa menipu dengan topeng yang molek.

Dengan menggelar berbagai kegiatan - dan keonaran _ untuk menggulingkan Gus Dur, pada hakekatnya kaum reformis gadungan ini sedang menyatukan diri dengan kepentingan Suharto dkk. Sebab, kalau seandainya Gus Dur bisa digulingkan, maka kekuatan-kekuatan gelap Orde Baru akan mendapat peluang yang besar untuk melanjutkan kejahatan mereka terhadap rakyat dan negara. Dengan kalimat lain, kalau Gus Dur bisa digulingkan, maka bahaya restorasi Orde Baru mungkin akan bisa menjadi kenyataan.

DENGAN ATAU TANPA GUS DUR, BERJUANG TERUS

Tetapi, apakah Gus Dur akan bisa mereka gusur? Berbagai faktor, termasuk yang tidak bisa disangka-sangka terlebih dulu (unexpeted factors, yang sering terjadi dalam sejarah) akan menentukannya. Namun, berbagai hal sudah bisalah kiranya kita jadikan bahan pertimbangan. Faktor dalam negeri memang merupakan faktor penting, tetapi dalam situasi yang sedang dihadapi negeri kita dewasa ini, faktor luarnegeri juga tidak kalah pentingnya. Imbangan kekuatan dalamnegeri (termasuk opini umum) masih akan naik turun, dalam kaitan dengan gencarnya serangan-serangan dari kubu anti-Gus Dur (yang pada dasarnya anti-reformasi ), dengan menggunakan berbagai isyu (Buloggate, Brunaigate, kasus penggantian Kapolri dll dll).

Namun, yang jelas adalah bahwa Gus Dur mendapat simpati yang luas, dan dukungan yang solid, dari dunia internasional. Banyak negeri di dunia melihat pada sosok Gus Dur sebagai seoarang demokrat, yang menghargai hak asasi manusia, yang punya toleransi besar antar-agama dan antar-suku. Di dalamnegeri sendiri, tidak kecil jumlah orang yang menganggap Gus Dur sebagai pemersatu bangsa, yang mengayomi minoritas agama atau suku. Pada diri Gus Dur orang bisa melihat cemerlangnya lambang Bhineka Tunggal Ika yang sudah dicoreng-moreng oleh Orde Baru. Dalam hal-hal itu semua, Gus Dur berada di posisi yang jauh di depan Amien Rais dan sebangsanya, yang sekarang berusaha, dengan segala cara, untuk mendongkelnya.

Peta situasi politik di Indonesia masih dinaungi oleh kabut gelap, dan kita tidak bisa meramalkan kapan dan bagaimana prahara akan terjadi. Apapun yang akan terjadi, satu hal sudah jelas : kekuatan pro-reformasi harus menggunakan ruang demokrasi yang terbuka sekarang ini untuk terus mengembangkan kekuatannya. Segala fihak, tanpa pandang bulu tentang suku, agama, ras, aliran politik, perlu menyadari bahwa reformasi harus jalan terus, baik dengan atau tanpa Gus Dur. Untuk itu, berbagai bentuk kegiatan aksi aksi untuk membela kepentingan rakyat perlu digelar terus, sebagai persiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam masa datang.

Paris, musim gugur, 22 Oktober 2000

Monday, August 13, 2012

GERAKAN REVOLUSIONER UNTUK MENUNTASKAN REFORMASI

GERAKAN REVOLUSIONER UNTUK MENUNTASKAN REFORMASI

(Oleh : A. Umar Said)

(Sekedar pengantar : Mohon perhatian bahwa berhubung dengan adanya berbagai reaksi atau tanggapan - yang merangsang semangat - terhadap tulisan _ Cegah neo-Orde Baru dan blejeti terus GOLKAR _, maka tulisan yang kali ini berusaha untuk menyajikan sejumlah bahan renungan lainnya sekitar topik ini).

Kiranya, adalah wajar kalau di antara kita banyak yang limbung atau bingung dalam memikirkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh negara dan bangsa kita dewasa ini. Beraneka-ragam problem serius terdapat di berbagai bidang, dan bertumpuk-tumpuk serta tumpang-tindih tidak karuan lagi. Semua persoalan kelihatan urgen dan menuntut pemecahan segera. Dan, karenanya, tidak begitu jelas lagi, mana yang lebih dulu harus ditangani, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, mau pun kebudayaan. Semua ada kait-mengaitnya, sehingga sulit ditemukan mana yang ujung dan mana yang pangkal. Di samping itu, ada pertanyaan yang sulit dijawab dengan sederhana dan pasti : gerangan, apa sajakah yang menjadi sumber itu semuanya?

Mungkin, karena di antara kita banyak yang disibukkan oleh pekerjaan untuk mencari nafkah masing-masing, atau oleh kegiatan praktis yang macam-macam, maka sering sekali tidak sempat untuk merenungkan dalam-dalam berbagai persoalan-persoalan serius dan besar yang sedang dihadapi bangsa dan negara dewasa ini. Padahal, bangsa ini sedang sakit keras. Dan, keadaannya gawat. Sehingga banyak orang tidak bisa lagi meramalkan apa saja yang akan terjadi. Ada juga yang menghitung-hitung berbagai kemungkinan yang akan menimpa rakyat yang berjumlah 210 juta orang ini.

Betapa tidak ? Sekarang ini diperkirakan sekitar 40 juta orang menganggur. Utang luarnegeri sekarang sudah melebihi 142 milyar $US. Di seluruh Indonesia sekarang ditaksir ada 1 juta orang yang mengungsi dari tempat tinggal mereka. Urusan penyelesaian sejumlah besar bank-bank yang ambruk dan dirundung utang masih macet. Kasus Bank Bali yang bikin kacau elite politik dan ekonomi juga belum jelas juntrungnya. Persoalan Bob Hasan, Texmaco, Prayogo Pangestu, Group Salim masih diliputi berbagai tanda tanya. Peristiwa Semanggi, 27 Juli, Tanjung Priok perlu diusut dan dituntaskan terus. Jutaan ex-tapol beserta keluarga mereka masih harus direhabilitasi (harap catat: mereka tidak bersalah!). Sejarah palsu versi Orde Baru perlu direvisi atau dikoreksi. Rakyat Aceh makin gencar menuntut kemerdekaan. Demikian juga di Irian Jaya. Sedangkan di Maluku jiwa orang masih melayang terus, sementara puluhan ribu rumah menjadi sasaran pengrusakan dan pembakaran. Pers juga menyiarkan tentang ruginya Pertamina, tentang utang PLN dan Garuda. Juga dipersoalkan terus masalah pengadilan Suharto. Sedangkan (ketika tulisan ini sedang diketik) Tommy masih terus jadi buronan __.!!!

MESIN BIROKRASI YANG DIBANGUN PULUHAN TAHUN

Melihat begitu banyaknya persoalan besar dan gawat yang harus diselesaikan oleh bangsa kita, maka patut-patut sajalah kiranya kalau banyak di antara kita - mungkin sama halnya, seperti Anda sendiri juga _ yang jengkel, marah, kecewa, dan prihatin. Ada orang-orang yang menjadikan Gus Dur sebagai _kambing hitam_ dari masih terbengkalainya penyelesaian begitu banyak persoalan-persoalan serius itu semua. Tetapi, ada juga yang beranggapan bahwa problem besar dan gawat memang terlalu banyak, sebagai warisan sistem politik Orde Baru yang sudah berjalan lebih dari 32 tahun. Karena itu pulalah maka reformasi berjalan tersendat-sendat, bahkan mandeg atau macet di sana-sini.

Kiranya, bisa dibenarkan adanya kritik atau pendapat bahwa Gus Dur mempunyai kelemahan-kelemahan dalam melaksanakan tugasnya sebagai presiden, bahkan juga kesalahan-kesalahan. Tetapi, agaknya, bisa juga dibenarkan pendapat yang mengatakan bahwa problem-problem serius memang sudah begitu bertumpuk-tumpuk sejak lama, sehingga sulit bagi siapa pun untuk bisa menyelesaikannya sekaligus atau serentak, apalagi dalam waktu yang singkat. Ibarat penyakit parah yang sudah menjangkiti seseorang selama lebih dari 32 tahun, untuk menyembuhkannya secara tuntas diperlukan pula proses yang sepadan.

Apalagi, kalau diingat bahwa struktur kekuasaan pemerintahan Gus Dur sebenarnya masih bertumpu sepenuhnya pada birokrasi lama Orde Baru, baik di tingkat pemerintahan pusat, maupun sampai di daerah-daerah (propinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan sampai kelurahan). Sesudah jatuhnya Suharto dan Habibi dari pucak pimpinan pemerintahan, birokrasi yang dibangun oleh Orde Baru ini boleh dikatakan masih utuh dan tidak mengalami perobahan yang signifikan (kecuali dihapuskannya Departemen Penerangan dan Sosial dan dipisahkannya Polri dari ABRI). Bagi mereka yang hidup di daerah-daerah, kenyataan ini kelihatan menyolok sekali. Dan, patutlah sama-sama kita ingat bahwa birokrasi Orde Baru ini, yang jumlahnya jutaan pegawai, telah dibangun selama puluhan tahun, melalui cara-cara _spesial_ (contohnya : ketentuan memakai uniform, upacara pemasangan bendera dan appel, penataran _Pancasila_ dan indoktrinasi lainnya, keharusan masuk Korpri dll). Pengamatan teliti tentang soal ini menunjukkan bahwa dengan cara-cara semacam itu, maka terciptalah selama puluhan tahun semacam mono-loyalitas jajaran birokrasi kepada GOLKAR. Mono-loyalitas ini telah dirajut dengan indoktrinasi, intimidasi, paksaan, rayuan, kebohongan politik, dan juga penyalahgunaan agama.

KERUSAKAN MORAL YANG PARAH

Dalam rentang waktu yang puluhan tahun, rezim militer Suharto dkk selalu membanggakan pentingnya peran dan dukungan dari jalur ABG (singkatan yang mereka gunakan untuk ABRI, Birokrasi dan Golkar), yang juga merupakan pilar utama Orde Baru. Manunggal-nya ABG inilah yang merupakan mesin kekuasaan raksasa yang telah membunuh kehidupan demokrasi begitu lama di negeri kita, yang menyuburkan korupsi dan kolusi, yang melecehkan hukum, yang menginjak hak asasi manusia dalam skala luas, yang merusak moral bangsa. Ini semua nampak jelas tidak hanya di pusat pemerintahan (Jakarta) saja, melainkan juga sampai di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, bahkan kelurahan, di seluruh negeri.

Dari ketinggian sudut pandang yang ini jugalah kita bisa melihat betapa besarnya skala tugas bersama kita untuk memperbaiki moral bangsa. Apalagi, kalau kita renungkan dampak kerusakan-kerusakan itu di bidang pendidikan. Bukan saja sebagian besar generasi muda zaman Orde Baru telah terkontaminasi oleh segala macam racun pola berfikir Orde Baru, melainkan juga mereka menjadi kader-kader, atau tokoh-tokoh muda, yang terseret ke dalam sistem yang bobrok. Seperti yang sudah ditunjukkan dalam sejarah bangsa-bangsa lain di dunia, sistem politik yang bobrok juga akan menciptakan sistem pendidikan yang tidak baik. Masuk nalar jugalah kiranya bahwa gabungan sistem politik yang bobrok dan sistem pendidikan yang bobrok, dengan sendirinya, akan menghasilkan juga manusia-manusia yang tidak unggul kualitasnya. Dan inilah yang sedang kita saksikan dewasa ini di mana-mana di negeri kita, dengan keprihatinan yang pedih sekali.

Marilah sama-sama kita renungkan yang berikut ini : selama zaman Orde Baru, jiwa asli Pancasila telah dikebiri sehingga dianggap gombal busuk oleh banyak orang; penciptanya (Bung Karno) malah dicap pengkhianat bangsa dan rakyat; kata gotong-royong sudah dijadikan barang yang asing; patriotisme sudah hilang artinya; pengertian revolusi dan revolusioner dijadikan tabu; semboyan _mengabdi kepada rakyat_ dijadikan cemooh; kata reaksioner dicurigai dan buruh diganti dengan karyawan. Pendidikan budi-pekerti tentang nilai kejujuran dan kesederhaan telah dimatikan. Perlombaan pamer yang serba gebyar muncul di mana-mana tanpa mempedulikan kesengsaraan hidup rakyat. Itu semua adalah logis, sebab Orde Baru adalah pada dasarnya, atau secara hakekatnya, adalah anti-rakyat (tarohlah, supaya kedengaran lebih lunak: tidak peduli kepada rakyat).

REFORMASI ADALAH PEKERJAAN RAKSASA

Inti tujuan gerakan reformasi adalah memperbaiki kerusakan-kerusakan yang sudah diwariskan oleh Orde Baru atau merombak segala tatanan politik, ekonomi, sosial dan budaya yang berbau Orde Baru. Tetapi, ini hanya bisa dilaksanakan kalau pola berfikir, kebiasaan, atau praktek-praktek Orde Baru bisa kita bongkar sampai ke akar-akarnya. Reformasi tidak mungkin bisa dilaksanakan dengan sisa-sisa pola berfikir rezim militer Suharto dkk. Jelasnya lagi, reformasi tidak akan bisa dilaksanakan oleh, atau bersama-sama, dengan oknum-oknum yang masih tetap terus menggembol semangat atau jiwa Orde Baru. Adalah omong-kosong belaka, dan adalah nol besar, kalau ada pendukung setia Orde Baru yang berbicara soal pentingnya reformasi. Titik.

Dengan mengamati tingkah-laku berbagai kalangan di beraneka-ragam sektor masyarakat, baik di Pusat (antara lain, dan termasuk di DPR) maupun di daerah-daerah, maka jelaslah bahwa sisa-sisa pola berfikir Orde Baru masih bercokol dalam kepala banyak tokoh-tokoh, sampai sekarang!. Dari sinilah justru kelihatan betapa besarnya, dan juga sulitnya, usaha bersama untuk meng-goal-kan reformasi. Padahal, reformasi adalah syarat mutlak untuk bisa diselesaikannya problem-problem besar dan parah yang diwariskan oleh sistem politik Orde Baru. Tanpa reformasi, tidak mungkin problem-problem yang sudah menggunung itu bisa dipecahkan. Dan, berikut inilah yang mungkin patut kita renungkan bersama : reformasi yang terpenting adalah reformasi mental, atau reformasi cara berfikir, atau juga reformasi moral, atau reformasi budi-pekerti, yang sudah begitu rusak itu. Dan karena kerusakan budi-pekerti itu sudah sangat lama, mendalam dan meluas, maka tidak akan mudah untuk memperbaikinya, apalagi dalam waktu singkat. Reformasi budi-pekerti ini memerlukan waktu yang relatif panjang, dilakukan bersama-sama secara besar-besaran, dan terus-menerus.

SEPULUH GUS DUR ATAU SERATUS MEGA ?

Seandainya kita mau meng-inventarisasi problem-problem di berbagai bidang yang harus diselesaikan oleh bangsa kita, maka mungkin beberapa puluh halaman tidak akan cukup untuk memuatnya. Untuk pekerjaan raksasa ini, seyogyanyalah kalau kita tidak menggantungkan harapan kita akan terlaksananya reformasi hanya dan melulu kepada peran Gus Dur atau Megawati saja. Sebab, 10 Gus Gus Dur atau seratus Megawati, tidak mungkin menyelesaikannya sendirian, dalam waktu singkat, dan dengan aparat birokrasi yang masih diracuni oleh mental Orde Baru. Di samping itu, masih saja ada golongan-golongan dalam masyarakat yang terus mengidap penyakit yang pernah disebarkan selama puluhan tahun oleh Orde Baru,

Oleh karena itu pulalah, perlu kita buang ilusi bahwa dengan Amin Rais atau Akbar Tanjung (atau tokoh-tokoh lainnya), reformasi akan bisa jalan lebih baik. Bahkan, dengan 500 Amin Rais pun reformasi bisa malahan melenceng kesasar ke-arah yang salah, dan menuju jurang kegagalan. Apalagi, dengan Akbar Tanjung! Dengan 1000 Akbar Tanjung, reformasi bahkan bisa berbalik arah dengan kecepatan tinggi, artinya : kembali menuju masa gelap Orde Baru. Dan, kalau sudah begitu, maka celaka dua kalilah bangsa kita. Sebab, pengalaman sudah membuktikan, dan dengan pahit pula, bahwa GOLKAR tidak dapat diharapkan untuk menyelamatkan negara dan bangsa. Bahkan, kebalikannya!!! Titik.

Perjuangan untuk reformasi adalah urusan seluruh bangsa. Dan rakyatlah yang paling membutuhkannya, demi kehidupan yang lebih baik bagi generasi yang sekarang, mau pun bagi yang akan datang. Kalangan atas - dari jenis aliran politik yang mana pun - mungkin saja kurang membutuhkannya, dan karenanya kurang jugalah tekad dan keteguhan untuk memperjuangkannya. Sebab, umumnya mereka sudah mapan, dalam situasi yang bagaimanapun juga (kecuali ribut-ribut dan hiruk-pikuk antar-elite dalam memperebutkan kedudukan dan pembagian rezeki). Apa yang kita saksikan dalam DPR dewasa ini adalah hanya secuwil dari kenyataan keruh yang sesungguhnya. Reformasi yang sungguh-sungguh mengandung syarat-syarat untuk dilaksanakannya demokrasi sepenuhnya, ditegakkanya hukum dan keadilan, dijunjungtingginya hak asasi manusia. Itu semua tidak akan menguntungkan maling-maling besar berdasi, dan juga akan lebih menyempitkan lagi ruang gerak bagi para reformis gadungan serta parasit bangsa lainnya, dalam segala jenisnya.

GERAKAN REVOLUSIONER UNTUK MENUNTASKAN REFORMASI

Sekarang terdengar suara ribut-ribut yang menuntut mundurnya Gus Dur dari kedudukannya sebagai presiden. Tetapi, banyak orang meragukan, apakah kalau diganti dengan orang lain, ada jaminan bahwa banyak soal akan menjadi lebih baik. Atau, apakah reformasi kemudian bisa dituntaskan? Dan orang pun bertanya-tanya siapakah gerangan yang bisa menyelesaikan begitu banyak soal besar dan gawat, yang sebagian terbesar adalah peninggalan Orde Baru itu. Baiklah sama-sama kita ingat bahwa pengertian reformasi adalah : merobah, atau merombak, atau membangun kembali, atau menyusun kembali.

Kalau diteliti benar-benar, dan dengan menyimak latar-belakang sejarah sebelum dan sesudah lahirnya Orde Baru, maka nyatalah bahwa friksi, konflik atau kontradiksi, yang dewasa ini muncul dalam berbagai bentuk dan di beraneka-ragam bidang, adalah tetap merupakan pertentangan antara kekuatan pro-rakyat melawan kekuatan anti-rakyat. Dengan kalimat lain, antara kekuatan pro-reformasi dan pro-status quo (baca: kekuatan pro-Orde Baru, dalam segala bentuknya dan kadar kekentalannya).

Karena reformasi adalah urusan bersama rakyat dan bangsa, dan karena reformasi tidak bisa - dan tidak boleh - diserahkan semata-mata dan mentah-mentah di tangan kaum atasan saja, maka agaknya sudah benarlah sikap berbagai organisasi dalam masyarakat (gerakan pemuda, mahasiswa, LSM, yayasan dll) untuk menjadikan tuntutan reformasi sebagai salah satu kegiatan utama mereka. Ketika dari pemerintah, dari lembaga-lembaga resmi, dari DPR dan DPRD dll tidak bisa lagi diharapkan adanya kesungguhan mereka untuk memperjuangkan reformasi, maka bendera perjuangan ini harus direbut oleh gerakan massa yang luas.

Hasil gerakan reformasi, yang pernah dikobarkan beberapa tahun oleh perjuangan mahasiswa, (sehingga Suharto dan Habibi tumbang), sekarang mulai diserobot dan diperebutkan oleh tokoh-tokoh reformis gadungan. Di tangan politisi dan tokoh-tokoh masyarakat semacam mereka itulah gerakan reformasi sudah mulai dibelok-belokkan arahnya. Bukan ke arah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan parah yang sudah ditimbulkan Orde Baru, dan bukan pula untuk memperbaiki kehidupan rakyat banyak, tetapi untuk tujuan sempit yang hanya mementingkan diri sendiri atau kelompok mereka masing-masing.

Di tengah-tengah kekelaman kabut yang menyelimuti agenda gelap para reformis gadungan inilah reformasi menghadapi bahaya kemacetan atau kehancuran. Oleh karena itu, sudah waktunyalah kiranya bagi gerakan massa extra-parlementer, yang luas dan besar-besaran, yang lintas-aliran politik, yang lintas-agama dan lintas-suku, untuk lebih menggalakkan lagi aksi-aksinya. Gerakan reformasi extra-parlementer yang luas dan besar-besaran ini harus bertujuan untuk melindungi kepentingan rakyat banyak, dan menjaga persatuan bangsa. Gerakan revolusioner reformasi ini adalah gerakan politik yang sekaligus juga gerakan moral, untuk memperjuangkan hak asasi manusia. Artinya, suatu perjuangan bersama demi kepentingan kita semua, sebagai sesama warnegara, dan sebagai sesama Manusia.

Paris, musim dingin

Sunday, August 12, 2012

Tan Malaka : Gerilyawan Revolusioner Yang Legendaris

GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS

Tan Malaka –lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka—menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang –Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.

Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris.

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”

Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.

Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya. Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur.

Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. (Bek)

BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP !

(TAN MALAKA)
 
Blogger Templates