- Dilarang berpikiran jelek terhadap negara (pulau di mana mereka tinggal) maupun agama.
- Dilarang kepemilikan barang secara perorangan. Ini dimaksud dengan kepemilikan tanah di pulau itu.
- Perkumpulan persaudaraan dilarang turut campur dalam kebebasan masing-masing individu. Masalah-masalah pribadi dipecahkan secara pribadi. Tak seorangpun diwajibkan ikut serta pada suatu ekspedisi bajak laut. Seseorang boleh meninggalkan perkumpulan itu kapan saja.
- Tidak menerima wanita-wanita kulit putih bebas di dalam pulau itu. Larangan ini dimaksudkan hanya untuk wanita-wanita tersebut guna menghindari pertengkaran. Hanya wanita-wanita hitam dan wanita budak boleh berada di pulau itu.
Thursday, May 31, 2012
Sejarah Bajak Laut
Biografi Singkat Abu Nawas
Jack Sparrow : Seorang Bajak Laut Yang Ternyata Muslim
Wednesday, May 30, 2012
Nyaboeners
SAMPAH
SAMPAH
Ya, judul tulisan ini tentang sampah, bukan tentang menyampah di dunia maya tapi tentang sampah. 6 huruf ini bagi penulis sangat berarti. Sampah. Apa itu sampah?? Seringkali kita melihat tulisan ini terpampang dijalan-jalan. BUANGLAH SAMPAH PADA TEMPATNYA. Begitulah ejaan yang sering dibaca oleh anak TK sampai orang dewasa. Jika kita melihat di komputer, ada simbol tong sampah, biasa kita baca dengan nama RECYCLE BIN.
Semua orang pasti mengenal sampah, dan kadang-kadang kata sampah ini ditujukan kepada seseorang, yang jelas menunjuk kesesuatu yang tidak disenangi. Seperti kalimat ini : “SAMPAH LOE!!!”. Walaupun terdengar kasar, tapi kata-kata ini sering diucapkan disaat orang mulai terlihat emosi. Tapi tidak semua sampah dihasilkan oleh emosi. Ini yang patut kita renungi bersama.
Sampah, mungkin bagi sebagian orang tulisan ini adalah sampah. Tapi ya tidak masalah, saya akan melanjutkan tulisan sampah ini agar kita merasa bahwa tulisan ini ada manfaatnya.
Kalo ditanya kenapa saya mengangkat tulisan tentang sampah??? Karena sampah ini merupakan kerjaan saya tiap malamnya. Membuang Sampah Pada Tempatnya.
Saya tinggal di salah satu kampung di ibu kota provinsi, seharusnya kampung saya terbebas dari masalah sampah. Lagipula kota ini pernah meraih Penghargaan Adipura, mungkin beberapa ratus tahun yang lalu. Sehingga Kota yang bersih seakan menjadi kenangan dalam sebuah nostalgia kakek atau nenek di masa silam.
Dalam riwayat yang pernah diceritakan sebelum saya tidur dimasa lalu, ayah saya selalu membanggakan kota ini. Kota Seribu Parit atau Venessia van Borneo. Mungkin kota dengan seribu kanal, entah apalagi namanya. Yang saya ingat dongeng sebelum tidur itu selalu terngiang-ngiang di telinga saya hingga dewasa. Tapi saya heran, dongeng yang sama juga saya dengar di pojok-pojok warung kopi tempat biasa saya nongkrong, tentu dituturkan oleh orang tua yang berusia setengah abad. Dan yang saya rasakan bahwa kota dengan kanal-kanal itu memang ada. Tapi lagi-lagi saya harus membantahnya, karena apa yang saya lihat jauh panggang dari api.
Kembali ke judul tulisan ini, yah tentang sampah. Awal titah untuk membuang sampah di tempatnya sangatlah berat bagi saya. Bukan karena saya tidak peduli lingkungan, tapi lebih dikarenakan penyakit MALAS yang saya derita sejak dulu. Lagipula membuang seonggok sampah ke tempatnya butuh waktu 10-15 menit, itu berarti saya juga harus menahan nafas untuk tidak mencium bau yang menyengat dari kantong-kantong plastik tersebut. Akhirnya saya punya siasat jitu, saya akan membawa sampah tersebut sambil merokok.Untunglah merokok dijalan sambil berkenderaan belum dilarang oleh pemerintah kota. Tiap jam 7 malam saya turun untuk membawa sampah tersebut ketempatnya, berbeda kampung, hanya selisih beberapa ratus meter dari rumah orang tua saya.
Saya yakin sebagian pembaca juga merasakan hal yang sama, malas untuk mengangkut sampah plastik dan akhirnya membayar uang iuran kebersihan, dan setiap pagi sampah-sampah yang telah kita simpan di tempatnya, raib dibawa oleh petugas kebersihan.
Sampah menurut hikayat yang pernah saya dengar terbagi menjadi dua, sampah organik dan sampah non organik. Bedanya hanya pada proses penguraian. Ahli sampah tentu mengetahui hal ini. Silakan dilanjutkan saja.....
Kembali ke cerita saya tadi, gumaman atas sampah tidak berhenti sampai disitu, saran dan pendapat untuk mengelola sampah pun banyak saya dengar. Lagi-lagi kalo hanya dengar teori, besok atau lusa sampah tersebut telah menggunung. Seringkali kita dengar tentang bencana banjir dikota-kota besar, sebagian kalangan menuding bahwa masyarakat bersalah dengan membuang sampah sembarangan ke kali maupun sungai, dan disisi masyarakat mengatakan bahwa banjir datang karena hujan yang tak berhenti sehingga sungai pun meluap. Namun terlepas dari perdebatan tersebut, saya melihat ada benang merah antara pemerintah dan masyarakat dalam persoalan sampah ini.
Ini bukan janji calon kepala daerah, tapi sekali ini tentang pikiran saya yang enggan untuk membuang sampah pada tempatnya. Jika saya menjadi walikota atau bupati, yang pertama saya lakukan adalah membuat program tentang penanggulangan sampah. Tiap RT atau Dusun akan saya beri kewajiban untuk mencatat jumlah sampah yang telah di produksi di wilayah tersebut. Penanganan Sampah akan saya optimalkan dengan membentuk pasukan Garda Kota, yang berfungsi untuk memanajemen sampah. Perang terhadap sampah akan saya galakkan di setiap penjuru Kota. Tahun Pertama akan diadakan penyuluhan besar-besaran tentang sampah. Perang ini akan saya kobarkan mulai dari rumah dinas sampai rumah ketua RT. Di setiap kecamatan akan saya siapkan satu buah truk besar yang akan mengangkut sampah ke Tempat Pembuangan Akhir. Sementara sambil berjalan saya akan membuka program pemberdayaan penanggulangan sampah. Mulai dari Industri Kreatif sampai Home Industri untuk memanfaatkan limbah dari sampah tersebut. Sampah-sampah padat yang tak dapat terurai akan saya buang ke laut. Kenapa saya buang ke laut?? Karena didarat sudah tidak ada tempat lagi, jadi tempat yang paling murah untuk membuang sampah adalah di laut. Sementara jika program ini berhasil maka sungai, kali dan kanal di kota ini semakin bersih dan terawat.
Lagi-lagi ini pikiran saya yang enggan untuk membuang sampah di tempat sampah.
31 Mei 2012
Tubuh Perempuan, Kartini and "The Second Sex"
Tubuh Perempuan adalah sebuah panggung drama. Demikian diungkapkan oleh Simone de Beauvoir (1908-1986), seorang feminis yang terkenal dengan bukunya, The Second Sex. Perempuan, menurut Simone, adalah makhluk yang tubuhnya masuk dalam penyelidikan fenomenologis. Semenjak ia mengalami menstruasi hingga menopause, hormon yang diproduksi menyebabkan tubuhnya bagai panggung drama. Hormon itu kerap meledak-ledak hingga ia kadang tak mampu mengontrol dirinya sendiri. Saat kehamilan, melahirkan, menyusui, membesarkan anak, dan menstruasi yang datang berulang, hingga menopause, perempuan kerap terombang-ambing dalam perasaan yang sulit dijelaskan. Ia bisa sedih, ia bisa mellow, tanpa sebab.
Dengan pandangan demikian, perempuan adalah sesuatu “yang lain”. Inilah konsep yang memandu seluruh analisis dalam buku The Second Sex. Dengan cara mengeksploitasi perbedaan seksual, struktur patriarkal menciptakan ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan, dengan mendefinisikan apa yang mampu dan tidak mampu dilakukan oleh “tubuh” perempuan. Perempuan, menjadi kelas dua dalam kehidupan.
Kebertubuhan yang membedakan inilah yang coba didobrak oleh R.A Kartini lebih dari seratus tahun lampau. Melalui surat-surat dan ungkapan hati kepada Stella sahabatnya, Kartini menuliskan pandangannya tentang feminisme dan nasionalisme. Meski banyak yang kecewa dengan Kartini, karena ia akhirnya menyerah saat diperistri oleh Bupati Rembang yang sudah beristri tiga, Kartini tetap sebuah perjuangan. Dalam diam, ia memberontak. Sebagaimana diungkap pula oleh Leo Tolstoy dalam bukunya Anna Karenina. Saat Anna tak mampu menghadapi tekanan pada perkawinannya yang tak bahagia, ia menabrakkan diri ke kereta api. Bukan sekedar menabrakkan diri, tapi ia melakukan sebuah pemberontakan di jamannya.
Dengan berbagai cerita itu, nasib wanita hingga kini masih tak jauh beda. Jaman boleh berganti, tekhnologi boleh bertambah maju, tapi perempuan masih berada dalam peranannya yang marginal, termasuk di Indonesia. Kalau dilihat dari struktur demografi ekonomi, kaum perempuan masih terpinggirkan. Dari jumlah penduduk miskin absolut di Indonesia, apabila dibedakan menurut jenis kelaminnya, maka penduduk perempuan miskin (16,72%) lebih banyak jumlahnya dibanding laki-laki (16,61%).
Adalah Mohammad Yunus dengan Grameen Bank-nya di Bangladesh yang mencoba untuk mengangkat harkat perempuan dalam perekonomian. Skema kredit mikro yang dirancangnya khusus diperuntukkan untuk perempuan. Ia setiap hari menawarkan kredit murah kepada para perempuan miskin, guna menolong suami mereka yang terlilit lintah darah. Pemberdayaan perempuan, melalui kredit murah ini, ternyata berjalan dengan baik. Martabat mereka terangkat dan Grameen Bank menjadi besar. Skema ini kemudian ditiru di banyak negara. Tujuannya sama, untuk mengangkat harkat kaum perempuan.
Di Indonesia, kita punya kementerian pemberdayaan perempuan. Dengan adanya kementerian itu, sebenarnya kaum perempuan Indonesia punya harapan. Di bidang ekonomi, banyak sudah perbankan yang menyediakan kredit mikro khusus untuk ibu-ibu. Jumlah kreditnya mulai dari yang kecil, dari Rp50.000 sampai Rp 1 juta untuk ibu-ibu pedagang kecil. Selain itu, Perum Pegadaian sejak tahun lalu juga telah menyediakan pinjaman khusus bagi wanita. Apabila langkah ini dilakukan terus secara serius, kita berharap kaum perempuan bisa diangkat derajatnya.
Meski begitu, saat ini tantangan ke depan masih berat. Masalah ketimpangan gender, angka kematian ibu, masalah buruh perempuan, Tenaga Kerja Wanita yang kerap disiksa, Pekerja Rumah Tangga Wanita, dan berbagai permasalahan lainnya masih menggelayuti negeri ini.
Bangsa ini tak bisa jalan tanpa perempuan. Andai para ibu rumah tangga mogok saja dalam sehari, maka mandeklah perekonomian Indonesia. Bisa repot kita kaum bapak-bapak. Oleh karenanya, pembangunan ekonomi Indonesia tak mungkin mencapai puncaknya, bila kaum perempuan masih termarjinalkan.
Di hari Kartini ini, kiranya kita perlu merenungkan kembali, sudahkah perempuan diangkat harkat dan martabatnya dalam ekonomi. Selamat Hari Kartini. Salam.
Junanto Herdiawan
Tuesday, May 29, 2012
18 Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi di Daerah
DATA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, dari tahun 2004 hingga 2008 ada 211 kasus korupsi yang diselidiki, 107 perkara penyidikan, 75 perkara penuntutan, 59 perkara telah berkekuatan hukum tetap, dan 53 perkara telah dieksekusi.
Dari ratusan kasus korupsi itu, ada 8 kelompok perkara menurut jenis Tindak Pidana Korupsi (TPK)-nya. Delapan kelompok itu adalah
(1) TPK dalam pengadaan barang/jasa yang dibiayai APBN/D
(2) TPK dalam penyalahgunaan anggaran,
(3) TPK dalam perizinan sumber daya alam yang tidak sesuai ketentuan,
(4) TPK penggelapan dalam jabatan,
(5) TPK pemerasan dalam jabatan, (6) TPK penerimaan suap,
(7) TPK gratifikasi, dan
(8) TPK penerimaan uang dan barang yang berhubungan dengan jabatan.
Selain memaparkan jenis-jenis TPK, dalam dialog dengan para kepala daerah di Gedung DPD, Jumat (22/8), Ketua KPK Antasari Azhar juga menyampaikan sejumlah modus operandi korupsi di daerah.
Berikut adalah 18 modus operandi yang dirangkum KPK:
(1) Pengusaha menggunakan pengaruh pejabat pusat untuk "membujuk" Kepala Daerah/Pejabat Daeerah mengintervensi proses pengadaan dalam rangka memenangkan pengusaha, meninggikan harga atau nilai kontrak, dan pengusaha tersebut memberikan sejumlah uang kepada pejabat pusat maupun daerah
(2) Pengusaha mempengaruhi Kepala Daerah/Pejabat Daerah untuk mengintervensi proses pengadaan agar rekanan tertentu dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung, dan harga barang/jasa dinaikkan (mark up), kemudian selisihnya dibagi-bagikan
(3) Panitia pengadaan membuat spesifikasi barang yang mengarah ke merk atau produk tertentu dalam rangka memenangkan rekanan tertentu dan melakukan mark up harga barang atau nilai kontrak
(4) Kepala Daerah/Pejabat Daerah memerintahkan bawahannya untuk mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan peruntukannya kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif
(5) Kepala Daerah/Pejabat Daerah memerintahkan bawahannya menggunakan dana/uang daerah untuk kepentingan pribadi koleganya, atau untuk kepentingan pribadi kepala/pejabat daerah ybs, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar, bahkan dengan menggunakan bukti-bukti yang kegiatannya fiktif
(6) Kepala Daerah menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang tidak berlaku lagi
(7) Pengusaha, pejabat eksekutif, dan pejabat legislatif daerah bersepakat melakukan ruislag atas aset Pemda dan melakukan mark down atas aset Pemda serta mark up atas aset pengganti dari pengusaha/rekanan
(8) Para Kepala Daerah meminta uang jasa (dibayar dimuka) kepada pemenang tender sebelum melaksanakan proyek
(9) Kepala Daerah menerima sejumlah uang dari rekanan dengan menjanjikan akan diberikan proyek pengadaan
(10) Kepala Daerah membuka rekening atas nama kas daerah dengan specimen pribadi (bukan pejabat dan bendahara yang ditunjuk), dimaksudkan untuk mepermudah pencairan dana tanpa melalui prosedur
(11) Kepala Daerah meminta atau menerima jasa giro/tabungan dana pemerintah yang ditempatkan pada bank
(12) Kepala Daerah memberikan izin pengelolaan sumber daya alam kepada perusahaan yang tidak memiiki kemampuan teknis dan finansial untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya
(13) Kepala Daerah menerima uang/barang yang berhubungan dengan proses perijinan yang dikeluarkannya
(14) Kepala Daerah/keluarga/kelompoknya membeli lebih dulu barang dengan harga yang murah kemudian dijual kembali kepada instansinya dengan harga yang sudah di-mark up
(15) Kepala Daerah meminta bawahannya untuk mencicilkan barang pribadinya menggunakan anggaran daerahnya
(16) Kepala Daerah memberikan dana kepada pejabat tertentu dengan beban kepada anggaran dengan alasan pengurusan DAU/DAK
(17) Kepala Daerah memberikan dana kepada DPRD dalam proses penyusunan APBD
(18) Kepala Daerah mengeluarkan dana untuk perkara pribadi dengan beban anggaran daerah.
Saturday, May 26, 2012
ISLAM, PENDIDIKAN DAN PEREMPUAN
Proses pendidikan umat Islam dimulai dari Nabi SAW, yang mengajarkan sendiri prinsip-prinsip Islam kepada sahabat-sahabatnya. Dia mengajar secara sembunyi dan terang-terangan. Secara sembunyi dilakukannya di rumah Al-Arqom. Di sana tidak ada pemisahan laki-laki dan perempuan. Semua diajarkannya bersama-sama dan dengan kapasitas yang sama. Karena memang semuanya harus mendapatkan kebutuhan mereka akan pengetahuan terhadap ajaran Islam.
Nabipun tidak segan-segan membuka ruang dialog untuk pemahaman yang lebih mendalam, dan dalam masa itu dia tidak pernah membatasi dialog diantara sahabat-sahabatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Lalu, ketika hijrah ke Madinah, proses pendidikan yang dilakukannya secara terbuka. Proses dimana beliau harus kembali mengajarkan prinsip-prinsip Islam kepada semua kaumnya. Berbeda dengan di Mekkah, proses pendidikan di Madinah dilaluinya dengan terang-terangan. Beliau juga segera memulai proses penghapusan buta huruf. Dan pada masa itu masjid adalah pusat pendidikan umat Islam. Dan untuk ini Nabi sangat memperhatikan persoalan pengentasan buta huruf. Salah satu bentuk perhatiannya tercermin dari kebijakan yang diambilnya setelah umat Islam memenangkan perang Badar.
Pada waktu itu Nabi tidak meminta tebusan harta, atau lainnya tetapi dia segera memerintahkan setiap tawanan Mekkah yang “melek” huruf tersebut untuk mengajari sepuluh orang muslim cara membaca dan menulis, sebagai tebusan bagi kebebasan mereka. Dari sinilah kemudian berangsur-angsur terbangun pola sekolah (madrasah). Walaupun pada masa itu pola sekolah (madrasah) yang dimaksud sangat sederhana, tidak terbatas hanya di masjid, dimana Nabi sering menjadikan masjid sebagi pusat pendidikan dan pengajaran ilmu pengetahuan, tetapi mulai berkembang menjadi bangunan sistem dari komunitas tertentu untuk melakukan interaksi belajar mengajar.
Sistem pendidikan telah didirikan Nabi di atas pondasi kualitas-kualitas moral dan spiritual. Sistem inipun tidak mengenal adanya pemisahan antara pendidikan agama dengan pendidikan sekuler, tidak mengenal pemisahan laki-laki dan perempuan. Karena semua forum yang digelar Nabi dapat menggali pengetahuan apa saja, dari masalah sosial, ekonomi, strategi perang, sampai urusan interpersonal suami istri dalam rumah tangga dan mengasuh anak. Semua dilakukan didepan khalayak majlis baik laki-laki maupun perempuan.
Meskipun sistem pendidikan Islam sesungguhnya meliputi sendi seluruh sendi kehidupan umat Islam terdahulu, namun dia juga mengenal adanya fase-fase atau tahap pendidikan. Tahap pendidikan yang pertama dimulai di rumah yang merupakan tempat kedua orang tua bertindak sebagai “guru” dalam beberapa “materi” pelajaran seperti agama, bahasa, konstruksi budaya, dan kebiasaan-kebiasaan sosial. Dari sini peran orang tua sangatlah besar, baik Bapak maupun Ibu, mereka adalah “pembentuk” awal dari pola pendidikan yang didapati seorang anak.
Pelajaran bahasa, baik itu bahasa tubuh berupa prilaku keseharian hingga bahasa verbal, jelas didapat anak dari kedua orang tuanya terlebih dahulu. Lalu tahap pendidikan selanjutnya yaitu pada lingkup di luar rumah. Pada sekarang ini kita lebih mengenal dengan nama sekolah atau madrasah. Jika melihat kembali sejarah perkembangan dunia ilmu pengetahuan Islam, madrasah sesungguhnya menempati posisi yang tinggi dalam masyarakat dan berkembang menjadi rintisan awal bagi institusi pendidikan yang memainkan peranan penting dalam dunia muslim. Contoh yang bisa diebutkan misalnya Qayrawan di Maroko, Al Azhar di Mesir, An Nizamiyah dan Al Mustansiriyah, dan An Nuriyah di Damaskus. Seiring dengan perkembangan itu, muncul juga observatorium dan rumah sakit yang berdiri independen sebagai akibat dari perkembangan madrasah dan lembaga ilmu pengetahuan tersebut, bagian dari eksperimen (penelitian), dan ada pula yang tergabung dengan perguruan tinggi tersebut. Observatorium Syamsiyyah milik khalifah al-Makmun misalnya.
Para tokoh yang berada di balik observatorium atau rumah sakit itu tidak hanya berfungsi sebagai seorang guru dalam sense intelektual, tetapi juga berfungsi sebagai seorang teladan dalam tingkah laku moralnya.[S.H. Nasr, "Islamic Education and Science", dalam Dr. Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak perempuan perspektif Islam dan Kesetaraan jender, Fajar Pustaka, Oktober 2002] Dari tahapan perkembangan pendidikan Islam dan sistem yang terbangun di dalamnya, sesungguhnya tidak pernah mengenal pembedaan, pemisahan antara yang teologis dan sekuler, kekhususan pendidikan untuk jenis kelamin tertentu, ataupun mengukuhkan konstruksi yang bias gender. Sistem pendidikan Islam terbangun dan berkembang karena tantangan dan kebutuhan manusia itu sendiri. Tidak seharusnya ia menciptakan penindasan dan penderitaan, baik penindasan berdasarkan ras, agama maupun gender. Karena Islam datang sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Pada dasarnya Islam mendukung pendidikan perempuan dalam wilayah agama maupun sosial. Islam tidak mengenal prioritas bagi laki-laki di atas perempuan sehubungan dengan hak pendidikan. Laki-laki dan perempuan sama didukung untuk memperoleh pendidikan, bahkan dinyatakan Nabi dari semenjak di ayunan sampai masuk liang lahat. Semua ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan dan yang menganjurkan untuk menuntut Ilmu pengetahuanpun ditujukan secara setara baik kepada laki-laki maupun perempuan. Perhatian Nabi SAW terhadap pendidikan kaum perempuan merupakan manifestasi dari kenyataan bahwa beliau sendiri biasa mengajar perempuan bersama laki-laki. Beliau juga memerintahkan kepada sekalian umatnya agar tidak hanya mendidik keluarga perempuan mereka saja, namun juga budak-budak perempuan mereka, seperti tercantum dalam hadits “Seorang laki-laki yang mendidik budak perempuannya, memerdekakannya dan kemudian menikahinya, maka orang tersebut akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda”.
Sesuai dengan semangat al-Qur’an dan Hadits yang mendorong kaum perempuan untuk mengembangkan semua aspek kepribadian mereka, diyakini bahwa seorang perempuan muslim yang terdidik tidak hanya memancarkan kualitas-kualitas moralnya di lingkungan rumah, namun juga harus memiliki sebuah peran aktif di lapangan-lapangan sosial, ekonomi, dan perkembangan politik. Secara khusus dalam surat At-Taubah ayat 71-72, al-Qur’an memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk mendirikan sholat, membayar zakat, beramar ma’ruf dan nahi munkar dalam segala bentuk; sosial, ekonomi, dan politik. Ini berarti laki-laki dan perempuan setara dalam mengemban perintah tersebut dan untuk itu mereka harus sama memiliki akses yang setara terhadap kesempatan-kesempatan pendidikan. Lalu bagaimana perempuan bisa membenarkan kebijakan-kebijakan sosial dan ekonomi yang baik atau tidak menyepakatinya, kalau secara intelektual dia tidak dipersiapkan untuk tugas itu?
Bila kita kembali berkaca kepada sejarah Islam, sesungguhnya Islam tidak pernah sepakat dalam pembatasan terhadap perempuan. Islam telah memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para perempuan-perempuan untuk menimba ilmu apa saja. Dan ini terbukti dengan munculnya beberapa nama perempuan-perempuan yang menghiasi tinta sejarah Islam. Sebutlah misalnya Aisyah yang telah meriwayatkan ribuan hadits, Al Khansa yang dipuji Nabi karena keindahan puisinya, Zainab dari Bani Awd dan Ummu Al-Hasan binti Qadi Abi Ja’far al-Tanjali yang terkenal menguasai ilmu kedokteran, dan sering menunaikan tugasnya untuk mengobati para sahabat yang terluka ketika perang, lalu Nusaibah yang pandai dalam strategi perang, dan mungkin masih ada banyak lagi. Dan jika memang pendidikan adalah fondasi bagi transformasi sosial, maka pembatasan hak pendidikan kepada perempuan tidak relevan. Maka saatnya mengutamakan pendidikan yang berkeadilan, humanis, dan tidak diskriminatif untuk semua?