Pages

Tuesday, December 28, 2010

BELAJAR DARI ISTAMBUL

Tiga puluh jam menjelang pertandingan leg kedua final Piala AFF 2010 antara Timnas Indonesia melawan Malaysia, ingatan saya tiba-tiba melayang pada peristiwa di Atatürk Olympic Stadium kota ISTANBUL, Turki, 25 Mei 2005. Saat itu dua tim besar di Eropa, AC Milan berhadapan dengan Liverpool dalam final Piala Champions.

Milan datang dengan kekuatan penuh. Di sana ada Kaka, Andriy Sevcenko, Hernan Crespo, dan Paolo Maldini, satu di antara sedikit palang pintu terbaik di dunia pada saat itu. Dida berdiri tegak di bawah mistar.

The Gank Anfield juga datang dengan kekuatan yang tak bisa dianggap remeh. Steven Gerrard lagi segar-segarnya. Ditopang pemain berpengalaman sekelas Dietmar Hamman, Sami Hyypia, dan bek yang seperti tak pernah mengenal lelah, Jhon Arne Rise. Penjaga gawang masih dipercayakan kepada Jerzy Dudek, asal Polandia, yang memiliki tinggi 1,85 sentimeter dan belakangan merumput di Real Madrid.

Sebelum kick off, banyak orang memperkirakan pertandingan akan berlangsung alot sejak menit pertama. Maklumlah, ini bukan pertemuan dua kesebelasan kemarin sore. Mereka mempunyai sejarah panjang di liga negaranya masing-masing, juga strategi, teknik, dan tentu saja gengsi.

Ternyata perkiraan itu meleset. Belum dua menit wasit Manuel Mejuto Gonzales asal spanyol meniup peluit, gawang Dudek sudah kebobolan. Maldini yang membuat Liverpudlian terdiam. Pemain yang baru saja meraih Ballon d'Or versi majalah France Football (1994) berhasil memanfaatkan umpan Andrea Pirlo melalui tendangan first time.

Bukan hanya Liverpudlian yang terdiam, pemain Liverpool pun seakan tak percaya. Konsentrasi mereka sempat terganggu. Komunikasi antarpemain menjadi tak jalan, passing tak lagi akurat, dan banyak bola yang mudah direbut pemain Milan.

Mirip ketika Safee Sali memasukkan bola pertama kali ke gawang Markus Maulana di Stadion Bukit Jalil Kuala Lumpur. Banyak orang yang tak percaya bek sekelas Maman Abdurahman memilih tak segera menguasai bola hingga akhirnya dengan mudah direbut Norsahrul Idlan.

Pemain dan pendukung Liverpool makin terhenyak ketika Hernan Crespo berturut-turut memaksa Dudek memungut bola dari dalam gawangnya. Kedudukan pun berubah menjadi 3-0. Tak berubah hingga babak pertama berakhir. Separuh pertandingan menjadi milik Milan.

Saat itu, banyak orang yakin, Milan pasti akan keluar sebagai juara. Di kamar ganti, kabarnya, pemain Milan juga sudah tertawa-tawa. Ada yang bernyanyi. Suasananya ceria. Gembira. Begitu juga dengan Milanisti. Mereka yakin Piala Champions yang menjadi kebanggaan klub di Eropa bakal diboyong ke Milan untuk kali keenam.

Dukungan Suporter

Namun ada yang terlupakan di Atatürk Olympic Stadium, yakni pemain ke-12. Pendukung Liverpool yang memerahkan stadion, ternyata tak putus memberi dukungan kepada Luis Garcia dan kawan-kawan. Mereka terus menyanyikan you'll never walk alone, lagu wajib pendukung Liverpool. Sepanjang pertandingan, tanpa henti.

Siapa pun yang hadir di sana, pasti akan merinding mendengarnya. Koor raksasa itu bergemuruh, menenggelamkan suara tertawanya para pemain Milan di kamar ganti.

Seperti tak mengenal putus asa, mereka terus menyanyi. Tak ada cemooh, nada sumbang menyalahkan pemain, atau coba-coba mencari kambing hitam. Semua berdiri dan bernyanyi bersama-sama.

Hasilnya, seperti kita ketahui bersama. Liverpool berhasil menyamakan kedudukan pada babak kedua menjadi 3-3 dalam waktu 45 menit. Ingat hanya 45 menit, sedangkan kita masih punya 90 menit lagi. Gerrard, Vladimer Smicer, dan Alonso membuat Jaap Stam dan Clarence Seedorf tak habis pikir. Bagaimana kesempatan juara yang sudah di depan mata jadi menjauh?


Adu penalti pun terpaksa dilakukan. Di sini mental pemain terlihat. Siap atau tidak menendang dari titik pas di bawah sorot mata puluhan ribu penonton stadion. Serginho, Pirlo, dan Shevcenko gagal menaklukkan Dudek. Sedangkan Liverpool hanya Rise yang tak berhasil mengecoh Dida. Liverpool akhirnya keluar sebagai juara melalui pertandingan yang mendebarkan para pendukungnya.

Timnas Indonesia yang ketinggalan 0-3 pada leg pertama, bukan tak mungkin bisa membalikkan keadaan dan merebut Piala AFF 2010 untuk kali pertama. Kualitas pemain kita tak kalah bila dibanding Malaysia. Mereka pernah dihajar Timnas tanpa ampun 1-5 di Stadion Gelora Bung Karno di babak penyisihan.

Timnas memang bukan Liverpool. Malaysia juga bukan AC Milan. Tapi tidak ada yang tak mungkin di lapangan hijau. Apalagi, sepakbola bukan matematik, statistik, terlebih politik. Semuanya masih bisa terjadi pada 30 jam mendatang.

Suporter Indonesia juga bisa mencontoh Liverpudlian. Besok, teruslah bernyanyi Garuda di Dadaku secara bersama-sama di Stadion GBK. Buat pemain Malaysia merinding tanpa harus membawa laser, petasan, atau benda apa pun untuk dilempar ke dalam lapangan. Jadilah ksatria.

Jangan juga meluapkan ketidakpuasan dengan mengeroyok wasit atau mengejar pemain lawan. Mari kita tunjukkan pada dunia--dan khususnya penonton Malaysia, meski (seandainya) Timnas Indonesia gagal meraih juara Piala AFF pada tahun ini, tapi kita masih bisa pulang dengan kepala tegak.

Sebab, Indonesia mempunyai suporter yang luar biasa kompak, membanggakan, dan menjunjung tinggi nilai sportivitas. Berjanjilah untuk tak membuat keributan, apalagi merusak--seperti saat mengantre beli tiket, jika kita kalah.

Menang kalah adalah biasa dalam sebuah pertandingan. Namun, menjadi suporter yang dewasa akan menjadi pengalaman yang teramat luar biasa bagi kita.

Selamat bertanding Timnas Indonesia. Jangan pernah ragu dengan kami. Kemarin, hari ini, dan esok hari, Garuda tetap ada di dada kita semua.

sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150101270999467
 
Blogger Templates