Pages

Friday, October 17, 2008

Menuju Cartzen Pyramide

IRIAN JAYA

Irian Jaya, sebelah barat pulau Guinea Baru, hanya diperoleh oleh negara Indonesia sesudah negara Belanda melapaskan pengaturan pada tahun keenampuluhan. Tiga kali lebih besar daripada Jawa dan Bali yang bergabung, Irian Jaya adalah kebanyakan hutan yang tidak dapat dilalui di mana suku bangsa tradisionil masih tinggal di kondisi yang kasar dan sesudah penggangguan modern.


Ketika orang-orang Portugis melihat Guinea Baru pada tahun lima belas sebelas mereka memberi nama‘Ilhas dos Papuas’ (Pulau Orang dengan Rambut Halus), dari kata yang Melayu, papuwah. Kemudian, orang-orang Belanda memberi nama Guinea Baru karena penduduk berkulit hitam mengingatkan mereka orang-orang yang tinggal di Guinea, di Afrika. Irian adalah kata dari bahasa Biak yang artinya ‘tanah panas yang terbit dari laut’. Di bawah kekuasaan Belanda, Irian Jaya menyerahkan kepada Guinea Baru Belanda dan ketika kedaulatan memindahkan ke Indonesia, nama menjadi Irian Barat, kemudian Irian Jaya. Artinya Jaya dalam bahasa Inggeris adalah victorious. Nama lain memaki di dunia adalah Irian Barat dan Papua Barat.


Pada tahun enam belas enam puluh, pemerintah Belanda diakui bahwa kedaulatan Guinea Baru dimiliki oleh Sultan dari Tidore dan karena Tidore dimiliki oleh negeri Belanda, Guinea Baru daerah Belanda. Permerintah Inggeris berminat kepada daerah itu juga dan mencoba mendirikan perkampungan di barat laut dekat Manokwari pada tahun tujuh belas sembilan puluh tiga. Pada tahun delapan belas dua puluh empat, negara-negara Inggeris dan Belanda bersekapat bahwa Irian Jaya akan menjadi daerah Hindia Belanda. Pada tahun delapan belas dua puluh delapan pemerintah Belanda membuka perkampungan tanda di Lobo (dekat Kaimana) tetapi perkampungan ini tidak berhasil memperoleh sukses. Propinsi Irian Jaya belum dibangun oleh pemerintah Belanda sampai tahun delapan belas sembilan puluh enam, dan perkampungan mengadakan di Manokwati dan Fak Fak hanya karena mereka pikir bahwa negara Australia, yang penguasa kolonial dari sebelah timur di Guinea Baru, adalah ancaman. Pada tahun delapan belas lima puluh lima, utusan injil pertma, dari negara Jerman, mendirikan perkampungan di sepulau dekat Manokwari. Kecuali perusahaan pertambangan dari negara Amerika Serikat dan Jepang, propinsi ini menuruskan diabai oleh negara Belanda. Perusahaan pertambangan ini mengadakan penyelidikan cadangan minyak selama tahun ketigapuluhan, namun, semua pertambangan berhenti selama Perang Dunia Pertama dan sesudah karena ada perjuangan untuk kekuasaan propinsi Irian Jaya.

Sebagai kerajaan Belanda selama Perang Dunia Kedua, Irian Jaya diduduk oleh orang-orang Jepang sebelum membebaskan pada tahun sembilan belas empat puluh lima. Sesudah Perang Dunia Kedua, pemerintah Belanda memakai daerah Irian Jaya sebagai tempat perasingan dan mengadakan Boven Digul (di tempat sekarang bernama Tanahmerah) sebagai penjara orang-orang nasionalis di Indonesia.

Karena tekanan internasional, pemerintah Belanda terpaksa menarik kembali pasukan-pasukan dari Indonesia sesudah Perang Dunia Pertama, tetapi masih berpegang teguh Guinea Baru Belanda. Pemerintah Belanda mengajurkan nasionalisme Irian Jaya dan memulai membangun banyak sekolah-sekolah dan perguruan tinggi untuk mendidik orang-orang Papua dalam kepandaian ahli, dengan tujuan mempersiapkan mereka untuk pemerintahan sendiri pada tahun sembilan belas tujuh puluh.

Sesudah Perang Dunia Kedua banyak golongan di Indonesia, ataukah communis atau pengikuti-pengikuti Sukarno atau Suharto, menyatakan haknya atas tanah sebelah barat Guinea Baru, karena mereka percaya bahwa Irian Jaya adalah propinsi Indonesia. Uraiannya mereka adalah bahwa semua bekas Hindia Belanda Timur akan termasuk dalam republik Indonesia baru. Seluruhnya tahun sembilan belas enam puluh dua, angkatan Indonesia merembes Irian Jaya, tetapi dengan sukses terbatas. Penduduk Papua tidak selamat datang mereka sebagai ‘pemerdeka’ dan menyerang merdeka. Namun, tekanan dari Amerika Serikat akhirnya terpaksa pemerintah Belanda untuk menyerah dengan tiba-tiba di bulan Agustus tahun sembilan belas enal puluh lima.


Pada tahun itu, persetujuan dengan susunan kata yang samar menandatangani di bawah bantuan Perserikatan Bangsa-Bangsa diharuskan Indonesia membolehkan penduduk Papua dari Irian Barat untuk memutuskan, sebelum akhir tahun sembilan belas enam puluh sembilan, ataukah mereka mau kemerdekaan atau tetap propinsi Indonesia. ‘Tindakan Pemilihan Bebas’ (‘Act of Free Choice’) ini ‘diawas’ oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun sembilan belas enam puluh sembilan. Pemerintah Indonesia, namun, mengumumkan bahwa mereka memakai tatacara musyawarah, yaitu, konsensus dari mamak.

Pada bulan Juli pada tahun sembilan belas enam puluh sembilan, pemerintah Indonesia mengumumkan bahwa pertemuan di daerah-daerah Merauke, Jawawijawa dan Paniai, di mana mayoritas penduduk tinggal, mengambil dengan suara bulat untuk menjadi propinsi Indonesia. Irian Jaya menjadi kedualpuluhenam propinsi Indonesia, diperbuat dari sembilan distrik, dengan ibu kota di Sorong, Manokwari, Biak, Serui, Nabire, Jayapura, Merauke, Wamena dan Fak Fak.

Bahkan sebelum ‘Tindakan Pemilihan Bebas’, Indonesia menghadapi perlawanan keras dari orang-orang Papua. Pada tahun sembilan belas enam puluh sembilan pemberontakan berkobar di Pulau Biak dan di Enarotali di tanah tinggi. Di antara tahun sembilan belas tujuh puluh tujuh dan pertengahan kedelapanpuluhan ada percekcokan sekali-sekali di tanah tinggi sekeliling Lembah Baliem, Tembagapura dan di daerah terpencil dari distrik Paniai.


Sesudah ketenangan beberapa tahun, aktivitas anti-Indonesia mulai lagi pada pertangahan-1990s. Pada tahun sembilan belas sembilan puluh lima anggota dan simpatisan dari golongan kemerdekaan mayor, Organisasi Papua Merdeka (OPM), mengamuk konsulat Indonesia di Vanimo, di Papua New Guinea, dan melakukan huru-hara di Tembagapura dan Timika. Pada tahun sembilan belas sembilan puluh enam kira-kira lima ribu orang Irian melakukan huru-hara selama beberapa hari dan membakar Pasar Abepura di Jayapura, mengakibatkan beberapa kematian. Pada tahun yang sama, beberapa pekerja riset dari Europa dan Indonesia menculik daerah terpencil di Lembah Baliem. Walaupun pekerja riset Europa pembebasan tanpa luka-luka sesudah empat bulan, dua sandera Indonesia dibunuh oleh OPM.

Pada tahun sembilan belas sembilan puluh delapan aktivitas seperatis misalnya menaikkan bendera kemerdekaan dan mengatur rapat umum, terjadi di Jayapura, Biak dan Wamena. Peserta dalam rapat umum ini sering disiksa dengan keras oleh polisi Indonesia, tetapi sesudah beberapa bulan pemerintah post-Soeharto menunjukkan kesudian (willingness) untuk mendengarkan pada separatis, dan demikian mengurangi kehadiran tentara di propinsi.

Penduduk Irian Jaya adalah kira-kira dua ribu orang. Daerah pedalaman adalah diduduk cara kuasa oleh orang-orang Papua, sementara di daerah pantai ada perkawinan antar orang-orang Melanesia dan Melayu.

Agama Kristen (Christian) adalah agama yang mayor di Irian Jaya. Ada banyak gereja dari semua golongan agama di daerah pedalaman, tetapi orang-orang pribumi memppraktekkan kombinasi percayaan tradisional dan agam Kristen. Sebab agama Islam kuat di banyak desa pantai adalah perdagangan yang berumur banyak abad dengan orang Melayu dan transmigrasi dari Indonesia Barat juga (yang adalah sebab untuk ada kebanyankan masalah sampai hari ini).

http://intranet.usc.edu.au/wacana/usc_uns/esai_francis.html



Festival Lembah Baliem
Pesta Perang Primadona Wisata Papua

WAMENA – Lembah Baliem tempat tinggal orang Dani. Masyarakat adat yang diperkenalkan ke dunia luar sebagai petani pejuang. Mereka hidup bertani, namun gemar berperang. Buku foto Gardens of War, film dokumenter Dead Birds, hasil ekspedisi antropologi yang pertama ke sana tahun 1961 jadi penyebabnya.

Tidak salah memang pendapat itu jika menyaksikan Festival Lembah Baliem. Festival yang merayakan datangnya hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Berbagai desa memperagakan peragaan ulang berbagai kasus perang di antara kampung mereka. Lengkap dengan lempar-lemparan tombak dan saling tembak panah. Bedanya dengan dulu tidak ada yang luka.
Tahun ini diselenggarakan di Dugum Dani desa awal di mana penelitian itu berlangsung. Sebanyak seribu lebih warga dari tujuh kecamatan hadir. Bahkan dari masyarakat Yali dari Abenaho yang berada di luar Lembah Baliem hadir. Mereka pun memeragakan penyebab dan taktik perang.
Strategi perang sih sederhana saja. Awalnya membalas dendam yang asal-muasalnya kerap tidak jelas lagi. Hanya saja ada pemicu awal. Contohnya yang diperagakan berbagai desa adalah penculikan warga, pembunuh anak warga, penyerbuan ladang yang baru dibuka.
Setelah begini penyerbuan pun dilakukan. Sementara lawan, yang biasanya sudah tahu, akan bertahan. Jadilah pertempuran terjadi di tengah lapang luas. Lapangan seperti ini yang dipakai di luar kampung Dugum.
Warga kecamatan Kurulu yang tahun ini menjadi tuan rumah. Artinya mereka menyediakan tempat bagi tamu yang bermalam ke sana. Malam diisi dengan pesta dansa, dan konon juga saling gaul. Kebebasan yang mungkin jadi penyebab kasus HIV tertinggi di Indonesia ada di Papua.
Tahun lalu di Kurima. Juga peragaan perang dilakukan di tengah padang rumput. Ini terus berulang dari tahun ke tahun, sejak awalnya di tahun 70an.
Awalnya pesta ini digunakan untuk menyalurkan adat perang. Maksudnya agar penyelesaian konflik dengan perang berganti dengan masuknya pemerintahan daerah, yakni Kabupaten Jayawijaya. Artinya konflik diselesaikan lewat kekuasaan pemda atau lewat pengadilan. Perang hanya boleh perang-perangan dengan disaksikan pendatang, petugas, pejabat dan wisatawan.
Bahkan pada festival terakhir ini tarian perang, begitu acara itu sekarang disebut, sudah dilarang. Namun, menurut Zakeus Daby salah seorang guru dari Kurulu, masyarakat minta izin tetap dilakukan perang-perangan. Dan memang dari keseluruhan atraksi sesiangan Senin (11/8) lalu itu hanya tarian perang yang seru.
Bahkan pada pertunjukan-pertunjukan pertengahan ketika desa Kurulu berlagak suasana makin seru. Lempar-lempar semakin tipis melesetnya. Panah berterbangan tinggi melewati kepala penonton di tepi lapangan. Lari makin cepat, merunduk makin rendah. Wisatawan asing yang jumlahnya hampir seratus kelihatan makin bergairah.
Namun gairah Festival Lembah Baliem, menurut Andre Liem seorang pemandu kawakan di Papua, menurun. ”Saya bilang menurun karena bupati saja tidak datang,” komentarnya tentang pidato sambutan yang dibawakan Sekwilda Jayawijaya. Menurutnya masyarakat datang dari jauh, berdandan habis seperti masa lalu, ingin dihormati oleh ”kepala suku besar” mereka Bapak Bupati Hubi.
Mengenai dandan ini pun mendapat kritik dari seorang wisatawan. Hans berasal dari Berlin, Jerman. Ia berusia 60-an dan dalam setahun menghabiskan tiga minggu dalam hidupnya sebagai wisatawan. Kali ini ia berwisata ke Papua. Berjalan berminggu-minggu di pedalaman hingga kabar bom Marriot baru didengarnya seminggu setelah kejadian, ketika berjumpa dengan SH.
Hans yang menyaksikan rombongan peragaan perang dari wilayah kota Wamena mengkritik cara berbusana mereka. Rombongan ini yang terdiri dari anak sekolah tidak mengenakan holim, sarung kemaluan dari buah labu. Mereka mengenakan celana pendek biru. Baginya ini tidak asli lagi. Tidak seperti yang dijumpainya pada perjalanannya di pedalaman Lembah Baliem.
Padahal dengan kedatangan seratusan wisatawan asing Festival Lembah Baliem cukup menjadi daya tarik. Hans bersama belasan anggota rombongan yang berasal dari Jerman dan Belanda. Di antara wisatawan lain di lapangan Dugum terdapat pasangan dari Korea. Esoknya datang rombongan pemuda-pemuda Jepang di Wamena.
Boleh jadi wisata di Indonesia terpuruk. Tetapi di Papua, jelas kunjungan wisatawan mancanegara meningkat. ”Ini jumlah yang terbesar selama ini, hotel kami penuh,” jelas resepsionis di Baliem Pilamo salah satu dari hanya tiga hotel berkelas di Wamena.
Keluhan penuhnya hotel pun datang dari para pegawai dan pebisnis yang berkiprah di Wamena. Mereka mengeluh karena tidak kebagian tempat. Bahkan mereka khawatir tidak bisa berkendaraan. Maklum keluar masuk Lembah Baliem hanya ada transportasi udara. Cuaca buruk menghambat penerbangan.
Padahal sekarang ini sudah ada tiga layanan penerbangan untuk keluar masuk Wamena. Merpati yang paling tua, kemudian ada Trigana dan terakhir yang paling muda Air Mark. Mereka tidak hanya satu kali penerbangan, rata-rata dua kali. Namun semua memilih pagi hari, karena penerbangan kedua dan ketiga menanggung risiko terhambat cuaca.
Sayang, acara yang ditunggu-tunggu juga tidak tertata rapih. Undangan pukul sembilan pagi, sementara acara baru mulai tengah hari. Itu pun hanya mengandalkan pemandangan serta eksotisme budaya yang tidak seberapa canggih. Biaya per orang dari Jayapura untuk menikmati sepekan di Lembah Baliem mencapai tujuh juta rupiah. Wisatawan sudah banyak datang ke sana, termasuk empat pasang dari Jogyakarta dan Jakarta, pemenang undian Telkomsel.
Paling tidak ini membuktikan daya tarik besar dari wisata di Indonesia. Tidak harus terkonsentrasi pada Bali maupun kejadian yang memperpuruk bangsa. Masih luas dan beragam yang bisa ditawarkan Indonesia. Di antaranya Festival Lembah Baliem yang bisa jadi daya tarik utama wisata kita kini. (SH/adiseno)

http://www.sinarharapan.co.id




 
Blogger Templates