Pages

Thursday, August 09, 2012

Soal G30S : Bung Karno dan Suharto

SOAL G30S, BUNG KARNO DAN SUHARTO

Sebentar lagi akan datang 30 September. Bagi banyak orang, di masa yang lalu, tanggal ini dan hari-hari berikutnya, merupakan hari yang mengandung kenang-kenangan yang penuh kepedihan dan kegetiran. Bahkan, bagi sebagian bangsa kita, penderitaan yang diakibatkan buntut peristiwa G30S masih dirasakan sampai sekarang, lebih dari 37 tahun kemudian. Kekuasaan rezim militer Orde Baru di bawah pimpinan Suharto dkk, telah membikin peristiwa 30 September 1965 sebagai dasar serentetan pengkhianatan terhadap Bung Karno dan Republik Indonesia, dan sebagai sumber berbagai pelanggaran HAM secara besar-besaran yang dilakukan selama puluhan tahun.

Selama ini, sudah banyak yang ditulis – atau dibicarakan – tentang G30S serta buntutnya yang panjang. Tetapi selama jangka waktu yang lama ini, sebagian terbesar tulisan mengenai peristiwa ini, serta berbagai akibatnya, hanya menyajikan versi sefihak yang banyak diputarbalikkan atau dipalsu oleh para pendukung rezim militer. Oleh karena itu, perlu terus didorong lahirnya berbagai macam tulisan -atau kegiatan lainnya - tentang G30S serta akibatnya, yang memungkinkan kita bersama untuk meninjaunya dari banyak sudut pandang. Sebab, sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa G30S sebenarnya mengandung persoalan-persoalan yang rumit dan punya latar-belakang politik dan sejarah yang panjang dan berliku-liku. Jadi, masalah G30S bukanlah masalah yang sederhana. Dan, karenanya, makin banyak kalangan mempersoalkan berbagai aspek G30S adalah makin baik bagi bangsa dan generasi yang akan datang.

FAKTOR DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI

Peristiwa G30S, seperti banyak persoalan besar lainnya, dipengaruhi berbagai faktor sejarah, dan faktor dalamnegeri dan luarnegeri. Di antara faktor-faktor itu terdapat faktor Bung Karno; yang merupakan lambang terpusat perjuangan nasional untuk kemerdekaan melawan kolonialisme dan imperialisme (ingat pidato Bung Karno “Indonesia menggugat” dan kumpulan pidato-pidato beliau dalam “Di bawah Bendera Revolusi”). Ada juga faktor-faktor PKI, sebagian golongan Islam dan Angkatan Darat. Di samping itu, ada faktor perang dingin, sebagai perkembangan internasional penting sesudah Perang Dunia ke-II. Saling keterkaitan berbagai faktor dalamnegeri dan faktor luarnegeri ini tercermin di Indonesia dalam peristiwa-peristiwa penting, antara lain (sekadar menyebutkan sejumlah kecil contoh-contohnya) : revolusi 45, Konferensi Bandung 1955, pembrontakan PRRI-Permesta, politik konfrontasi Malaisia, Trikora, perang Vietnam, masalah Taiwan, hubungan Indonesia-RRT

Di antara faktor-faktor dalam negeri adalah naiknya prestise PKI sesudah pemilu tahun 1955. Kenaikan prestise PKI ini membikin tidak senangnya sebagian dari TNI-AD, dan juga sebagian negeri-negeri Barat. Sejumlah perwira-perwira TNI-AD, dengan mendapat sokongan Amerika Serikat (CIA) melakukan pembrontakan terhadap pemerintahan pusat di tahun 1958, dengan mendirikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang disokong oleh partai politik Masjumi dan PSI. (Ingat juga peristiwa penerbang AS Allan Pope yang ditembak jatuh di Ambon tahun 1958).

Bung Karno, yang waktu itu merupakan tokoh internasional dalam melawan imperialisme dan kolonialisme (ingat, antara lain : gerakan Non-blok, Ganefo, Konferensi Wartawan Asia-Afrika, Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing) mendapat dukungan yang besar dari PKI. Berbagai politik Bung Karno jelas-jelas tidak menguntungkan kepentingan sejumlah negeri-negeri Barat. Politik negeri-negeri Barat tertentu ini punya pengikut juga di Indonesia, termasuk di kalangan Angkatan Darat dan sebagian golongan Islam.

MENGHANCURKAN PKI UNTUK MENGGULINGKAN BUNG KARNO

Dalam jangka waktu lama sekali (lebih dari 32 tahun), para pendiri rezim militer Orde Baru menyajikan kepada opini umum bahwa persoalan G30S adalah terutama berkaitan dengan PKI. Bahkan, nama resmi yang diberikan kepada peristiwa ini adalah GESTAPU/PKI. Tetapi, dalam berbagai kesempatan, pimpinan Angkatan Darat dan para pendukung Orde Baru lainnya menuduh bahwa dalam peristiwa ini Bung Karno “terlibat”, atau tidak mau bertindak tegas, atau bahkan bersimpati kepada PKI. Selalu dikemukakan oleh mereka bahwa PKI adalah dalang G30S atau penggeraknya. Bahwa sejumlah pimpinan PKI terlibat dalam rencana sejumlah perwira-perwira militer untuk mencetuskan G30S ini telah diakui sendiri oleh para pemimpin PKI. Tetapi, tidaklah bisa dikatakan bahwa PKI sebagai partai secara keseluruhan ikut terlibat dalam G30S.

Sampai sekarang, banyak sekali hal yang bersangkutan dengan G30S yang masih tetap menjadi misteri atau masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab secara tuntas. Misalnya : sampai di manakah kebenaran berita bahwa Dewan Jenderal mau mengadakan kudeta? Siapakah sebenarnya Syam Kamaruzaman itu? Apakah Suharto sudah mengetahui rencana G30S? Sampai di manakah CIA tersangkut dalam peristiwa ini? Apa sajakah peran Bung Karno dalam menghadapi G30S dan sesudahnya?


ARTI TERGULINGNYA BUNG KARNO DAN HANCURNYA PKI

Sedikit demi sedikit, dan berangsur-angsur, sebagian kecil dari pertanyaan-pertanyaan itu sudah mulai ada jawabannya. Meskipun masih banyak soal G30S yang belum jelas benar duduk perkaranya, tetapi satu hal sudah pasti, yaitu bahwa rezim militer Suharto dkk menjadikan masalah ini sebagai kesempatan untuk menghancurkan PKI dan melalui kehancuran PKI ini untuk kemudian menggulingkan Bung Karno. Dan hal yang sudah pasti lainnya, yalah bahwa hancurnya kekuatan PKI dan jatuhnya Bung Karno adalah merupakan “kemenangan” kubu imperialis, yang diketuai oleh AS.

Jadi, sekarang makin jelas bagi banyak orang bahwa dalam meninjau masalah G30S kita harus juga berusaha memperhitungkan faktor Bung Karno. Sebab, akhirnya, nasib Bung Karno terkait erat juga dengan peristiwa G30S ini. Para pendukung rezim militer Suharto memberi julukan “Gestapu Agung” kepada Bung Karno, dan kemudian digulingkan dari kedudukan beliau sebagai presiden. Beliau telah dikenakan tahanan rumah secara ketat, sesudah dijadikan sasaran demontrasi yang terus-menerus digerakkan oleh pimpinan Angkatan Darat. Bung Karno, panglima tertinggi ABRI, meninggal dalam tahanan Angkatan Darat sesudah mengalami berbagai siksaan batin dan jasmani.

Rezim militer Suharto dkk – yang didukung oleh Angkatan Darat dan Golkar sebagai tulang-punggung – telah bertindak secara amat kejam dalam menumpas kekuatan PKI. Dengan tujuan utama menyingkirkan Bung Karno dari tampuk pimpinan negara dan bangsa, maka Suharto dkk menghancurkan lebih dahulu kekuatan PKI. Sebab, jelas bahwa sejak akhir tahun 50-an dan permulaan tahun 60-an PKI merupakan kekuatan pendukung politik Bung Karno yang paling gigih ( ingat, antara lain : Manipol, Nasakom, Resopim, Trikora, Dwikora, Indonesia keluar dari PBB). Dan berbagai politik Bung Karno ini pada umumnya, atau pada pokoknya, adalah anti-imperialisme dan anti-kolonialisme. Karena itulah Bung Karno punya cukup banyak musuh, baik di luarnegeri maupun di dalamnegeri.


POLITIK BUNG KARNO ADALAH KIRI

Memang, sikap politik Bung Karno adalah pada pokoknya “kiri”. Politik “kiri” yang dianutnya sejak tahun-tahun mahasiswa inilah yang membikin beliau seorang pejuang nasionalis yang besar. Kebesaran Bung Karno adalah berkat sikap politik beliau yang “kiri”, yang anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, yang pro-rakyat. Sikap inilah yang dipertahankannya sampai terjadinya G30S. Dalam rangka ini perlu dicatat diselenggarakannya Konferensi Internasional Anti Pangkalan Militer Asing –KIAPMA, permulaan Oktober 1965, di Hotel Indonesia Jakarta, yang dibuka oleh Bung Karno. Konferensi internasional ini penyelenggaranya adalah Indonesia dan sasaran utamanya adalah Amerika Serikat.

Jadi, dalam meninjau masalah G30S, di samping menyorotinya dari segi pertentangan antara segolongan Angkatan Darat dan PKI waktu itu, kita perlu sekali memperhitungkan di dalamnya juga faktor Bung Karno dan faktor internasional (baca: perang dingin), yang merupakan latar-belakang yang juga cukup penting. Berbagai aspek G30S punyai kaitan yang erat dengan perang dingin. Karena itu, hancurnya kekuatan PKI dan digulingkannya Bung Karno oleh Suharto dkk adalah peristiwa penting yang menggembirakan bagi negara-negara Barat.

Dari segi inilah kita dapat melihat mengapa dalam jangka lama rezim militer Suharto mendapat simpati, atau dukungan, atau bantuan – dalam berbagai bentuk dan cara – dari negara-negara Barat (terutama AS). Hancurnya kekuatan yang mendukung politik Bung Karno menyebabkan kemunduran besar dalam gelora perjuangan rakyat berbagai negeri melawan imperialisme dan kolonialisme. Itulah sebabnya, selama masa Orde Baru jiwa Konferensi Bandung menjadi loyo atau apinya jadi padam. Rezim militer Suharto dkk membikin akibat G30S sebagai sarana untuk menghapuskan arti penting dan bersejarah Konferensi Bandung. Ini wajar. Sebab semangat Konferensi Bandung adalah justru bertentangan sama sekali dengan tujuan politik rezim militer ini. Semangat konferensi Bandung banyak dijiwai oleh semangat “kiri” Bung Karno.


SUHARTO BUKANLAH PAHLAWAN BANGSA

Dalam mengenang kembali berbagai peristiwa yang berkaitan dengan G30S tahun 1965, sudah tentu saja kita harus menggugat pembunuhan besar-besaran - dan segala macam siksaan yang tidak berperi-kemanusiaan – terhadap jutaan manusia tidak bersalah oleh militer dan para pendukung Suharto dkk . Menggugat masalah ini adalah kegiatan penting untuk mengingatkan bangsa kita supaya kebiadaban besar-besaran yang pernah terjadi di kalangan bangsa kita itu tidak terjadi lagi di kemudian hari. Bukan itu saja. Menggugat berbagai kejahatan Suharto sekitar peristiwa G30S ini juga perlu untuk meyakinkan banyak orang bahwa Suharto dkk bukannya “pahlawan bangsa” yang patut disanjung-sanjung seperti selama puluhan tahun itu.

Sekarang makin banyak bukti yang nyata bagi banyak orang bahwa Suharto bukanlah “bapak pembangunan”, bukan pula Pancasilais sejati. Banyaknya cerita yang berbau busuk sekitar keluarganya (ingat : kasus Ibu Tien, Sigit, Tutut, Bambang, Tommy, Ari, Probosutedjo dll) meyakinkan banyak orang bahwa Suharto adalah seorang kepala keluarga yang tidak pantas dijadikan contoh bangsa. Selama lebih 32 tahun Suharto, yang mengkhianati Bung Karno ini, telah disanjung-sanjung oleh para pendukung Orde Baru.

Sudah terlalu lama G30S telah dijadikan dalih atau alasan oleh Suharto dkk untuk menyebar racun perpecahan, dengan indoktrinasi yang menyesatkan tentang Bung Karno dan pendukung utamanya (PKI). Indoktrinasi ini, yang dijalankan secara besar-besaran dan dalam jangka yang lama sekali, menimbulkan kerusakan mental yang besar sekali. Indoktrinasi lewat buku-buku di sekolah, lewat film dan televisi, lewat ceramah atau seminar dan bermacam-macam kursus, telah membikin “buta” banyak orang. Sampai sekarang, dalam masyarakat kita, masih banyak orang yang terpengaruh oleh indoktrinasi Orde Baru tentang Bung Karno dan PKI ini. Mereka ini terdapat di berbagai partai politik, badan pemerintahan, DPR/DPRD, ornop, kalangan agama (termasuk kalangan Islam).


GUNAKAN 3O SEPTEMBER UNTUK MENGGUGAT ORBA

Sekarang ini terbukalah kesempatan untuk menyajikan kepada bangsa Indonesia hal-hal yang selama ini ditutup-tutupi atau dipalsu oleh Orde Baru mengenai G30S. Kita semua harus berusaha membongkar, sejauh mungkin, latar-belakang peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia ini. Antara lain, kita harus membikin 30 September jadi hari menggugat berbagai kejahatan rezim militer Suharto dkk. Menggugat berbagai kejahatan rezim militer Suharto dkk ini adalah kewajiban kita semua. Ini perlu kita lakukan, demi pelurusan sejarah, demi rekonsiliasi nasional, demi persatuan bangsa, dan demi pendidikan generasi yang akan datang. Generasi muda kita, dan generasi yang akan datang, tidak boleh diracuni oleh segala pembusukan yang telah terjadi selama Orde Baru.

Dalam rangka ini pulalah tulisan kali ini menyambut adanya kegiatan-kegiatan di berbagai tempat di Indonesia untuk menjadikan tanggal 30 September sebagai hari untuk membongkar berbagai kejahatan Orde Baru terhadap peri-kemanusiaan. Di antara kegiatan-kegiatan itu terdapat pertemuan “Mengungkap Tabir '65 » di Jakarta (tanggal 29-30 September) yang diselenggarakan oleh Lakpesdam NU, Yappika, Elsam, SNB, PEC, Pakorba, LPRKROB, LPKP, JKB dll.

« Tabir ’65 » memang harus dibuka. Dan, seluas-luasnya.

Paris, 26 September 2003
 
Blogger Templates