Pages

Tuesday, August 14, 2012

BHINNEKA TUNGGAL IKA" KITA MENGHADAPI BAHAYA !

BHINNEKA TUNGGAL IKA" KITA MENGHADAPI BAHAYA !

(Oleh : A. Umar Said)

Tulisan ini adalah sekedar _urun rembug_ dan sekaligus juga merupakan ajakan, untuk bersama-sama, mencoba merenungkan gejala-gejala berbahaya yang akhir-akhir ini muncul di tanah-air kita. Bangsa kita sedang melalui masa transisi, dengan berusaha meninggalkan masa panjang yang kelam selama lebih dari tiga puluh tahun, menuju ke arah yang menjadi idaman kita bersama, yaitu kehidupan demokratik bagi rakyat, kemajuan ekonomi yang bisa dinikmati oleh sebagian terbesar bangsa kita, kestabilan keamanan yang bisa mengayomi seluruh warganegara republik kita.

Tetapi, dengan amat sedih _ dan perasaan was-was _ banyak di antara kita dewasa ini menyaksikan bahwa harapan akan datangnya perbaikan di berbagai bidang itu masih jauh, di ufuk sana! Ternyata, (dan ini kelihatan jelas sekali di banyak bidang), bahwa kekuatan Orde Baru masih cukup kuat. Dan, mereka tidak diam. Karena itu, tidak boleh diremehkan atau dianggap enteng saja. Seperti yang bisa kita baca dalam media pers setiap hari, banyak orang mendapat kesan bahwa reformasi, yang menjadi tuntutan angkatan muda sebelum dan sesudah jatuhnya Suharto dalam tahun 1998, berjalan lambat, pincang, bahkan sudah macet.

Kekuatan Orde Baru ini bukan hanya terdapat di kalangan militer (terutama TNI-AD), tetapi juga di kalangan birokrasi (pemerintahan), dan bukan hanya di Jakarta saja, tetapi juga (dan bahkan, terutama !) di tingkat propinsi, kabupaten, bahkan kecamatan. Dan gejalanya bukan hanya tercermin pada masih megahnya kantor-kantor Golkar, dan bukan pula pada masih banyaknya papan-papan nama Korpri, Darmawanita dll, yang sampai sekarang masih_ bersemarak_ di seluruh Indonesia. Gejala yang paling menyolok adalah yang berikut ini : _kultur_ Orde Baru_ yang masih berakar kuat dalam fikiran banyak orang, terutama di kalangan _elite_. Ini bisa kita saksikan dalam ucapan dan tingkah laku politik sebagian besar anggota DPR, MPR, tokoh-tokoh berbagai partai politik dan kalangan agama, dalam menghadapi berbagai masalah gawat dan pelik yang dihadapi oleh bangsa kita dewasa ini..

Ketika berseliweran berbagai perbenturan kepentingan yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, atas nama agama atau Tuhan, atas nama bangsa, atas nama tegaknya hukum atau keadilan, maka penting sekali bagi kita semua untuk tidak kesasar dalam membaca situasi yang semrawut seperti sekarang ini. Pada intinya, sekarang ini, sedang berkecamuk _ baik secara terbuka maupun tertutup, dan, dalam berbagai bentuk pula - perjuangan yang sengit antara kekuatan pro-rakyat atau pro-reformasi berhadapan dengan sisa-sisa kekuasaan politik Orde Baru. Artinya, antara berbagai golongan dalam masyarakat (mohon catat : jadi, bukan hanya mereka yang pro-PKI atau pro-Bung Karno saja, yang anggota keluarga mereka dibunuhi, atau dikucilkan, dipersekusi, selama puluhan tahun) menghadapi kekuatan laten pendukung-pendukung Suharto dkk. Kita menyaksikan bahwa mereka yang tadinya pernah tertipu oleh indoktrinasi rezim militer, sekarang juga ikut dalam perjuangan, karena menyadari betapa jahatnya sistem politik yang lama. Dan, jumlah mereka yang begitu itu cukup banyak.

PERJUANGAN INI AKAN PANJANG

Mengingat itu semua, seyogyanyalah kita menanamkan persiapan mental : perjuangan ini akan makan waktu panjang! Sebab, dari pengamatan perkembangan situasi akhir-akhir ini, jelaslah bahwa kita harus mencampakkan ilusi bahwa sesudah Suharto dkk tumbang, maka tugas kita bersama untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan besar yang telah dibuat rezim Orde Baru akan bisa berjalan mulus dan cepat. Nalarnya begini: Suharto dkk (sekali lagi baca : pimpinan TNI-AD, Golkar, dan sebagian kalangan Islam) telah mengangkangi sambil sekaligus mengobrak-abrik tatanan negara kita selama lebih dari 32 tahun, artinya, lebih dari separoh umur republik kita!

Hiruk-pikuk akrobasi politik yang sedang digelar oleh para reformis gadungan dan pendukung-pendukung gelap Orde Baru di DPR, MPR dan oleh berbagai tokoh masyarakat dewasa ini, kiranya dapat dilihat dengan kaca-mata yang demikian itu. Artinya, bahwa sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih kuat, dan juga mampu membikin onar politik, dan makin menambah banyaknya kekisruhan yang sudah bertumpuk-tumpuk sebagai warisan zaman gelap itu. Itu semua dengan tujuan untuk menggulingkan Gus Dur, dan merebut kembali kekuasaan politik. Jadi, bahaya restorasi Orde Baru (dalam kemasan baru tetapi dengan isi yang itu-itu juga) adalah nyata.

Karena itu, adalah kewajiban kita bersama untuk waspada dan siap-siap untuk menghadapi adanya _arus balik _. Demi kelanjutan reformasi, seluruh kekuatan pro-rakyat dan pro-demokrasi perlu memobilisasi diri untuk mencegah kelahiran Orde Baru edisi kedua. Tantangannya berat, dan risikonya juga besar. Sedikit kemajuan kehidupan demokrasi (kemerdekaan pers dan kebebasan berpolitik), yang sudah direbut oleh rakyat akhir-akhir ini, akan bisa lepas, kalau bahaya restorasi Orde Baru ini tidak kita cegah bersama-sama.

Edisi kedua Orde Baru, dalam bentuknya yang bagaimanapun, berarti kemunduran ke belakang yang panjang bagi rakyat yang mendambakan perobahan-perobahan mendasar. Penderitaan yang berkepanjangan akan bisa terulang lagi. Cukuplah sudah kiranya bangsa kita mengalami malapetaka yang bernama Orde Baru!. Terulangnya, sekali lagi, walaupun dengan bentuk baru, akan makin membikin negara lebih porak-poranda lagi. Pedoman besar bangsa kita Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika akan, seperti yang sudah-sudah selama kekuasaan rezim militer Suharto dkk, akan dikentuti saja oleh para penguasa baru.

Pengalaman di masa-gelap yang lalu membuktikan bahwa pembodohan politik (dan perusakan moral!) yang dijalankan secara besar-besaran oleh kekuasaan yang lama itu telah membikin banyak orang lupa - atau bahkan tidak mengerti - tentang kebesaran arti kedua pedoman besar kita itu. Memang, seperti kita saksikan di mana-mana, lambang Bhineka Tunggal Ika banyak dipasang di kantor-kantor atau gedung-gedung, baik yang pemerintah atau pun swasta. Tetapi, kita juga bisa mengamati bahwa lambang negara dan bangsa yang agung itu hanyalah dijadikan pajangan saja, yang tidak mempunyai arti apa-apa.

Kenyataan ini bukan saja memprihatinkan, tetapi juga menyakitkan hati. Sebab, justru begitu banyak politik atau _kebijakan_ Orde Baru telah terang-terangan di bikin dalam ruangan-ruangan yang dihiasi oleh Bhineka Tunggal Ika. Seolah-olah, segala kejahatan Orde Baru telah di buat dengan _kesaksian_, atau _pengayoman_ atau _restu_ sang Bhineka Tunggal Ika. Dan ini merupakan kejahatan ganda. Sebab, begitu banyak politik Orba yang ternyata terang-terangan bertentangan dengan jiwa atau isi yang dikandung dalam Bhineka Tunggal Ika. Dalam bahasa yang polos, Orde Baru telah mengkhianati, atau melecehkan, atau merusak jiwa besar yang terkandung dalam Bhineka Tunggal Ika.

PERSATUAN DALAM KERAGAMAN

Seperti yang kita fahami atau hayati, Bhineka Tunggal Ika mengandung pesan : berbeda-beda tetapi satu, bersatu dalam perbedaan, kesatuan dalam keragaman. Wawasan agung inilah yang telah ditegakkan oleh para pejuang kemerdekaan dan para pembangun bangsa Indonesia dalam tahun 20-an. Dengan menyimak lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengan lambang negara kita itu, maka makin jelas pulalah keagungannya. Penjelasannya adalah, antara lain, yang berikut :

Penduduk Republik Indonesia berjumlah sekitar 210 juta orang, yang terdiri dari sekitar 300 suku, dan yang menggunakan sekitar 580 bahasa dan dialek. Mereka menghuni 6000 pulau dari seluruh jumlah kepulauan sebesar 17 508 pulau. Di antara penduduk yang begitu besar itu (ke-4 di dunia) kira-kira 87% memeluk agama Islam, 6% agama Protestan, 3% agama Katolik, 2% agama Hindu, 1% agama Budha, dan selebihnya memeluk berbagai kepercayaan.. Luas wilayahnya (darat dan laut) dari Sabang ke Merauke bisa menutupi seluruh Eropa, dari London sampai pegunungan Ural.

Kalau melihat angka-angka tersebut di atas maka nyatalah bahwa bangsa Indonesia memang terdiri dari beraneka ragam suku, agama (atau kepercayaan), adat-istiadat, kebiasaan hidup sehari-hari, dan berbagai aspek lainnya.

Dari sejarah kita mengetahui bahwa gerakan politik rakyat untuk melawan kolonialisme Belanda, telah mempersatukan atau menyatukan berbagai golongan, suku dan agama, dan aliran politik dalam semangat Sumpah Pemuda dalam tahun 1928, yang mengikrarkan : _satu bangsa, satu tanah-air dan satu bahasa_.

Dari sudut pandang inilah kiranya kita bisa menilai betapa besarnya arti lambang Bhineka Tunggal Ika, yang merupakan produk perjuangan yang begitu panjang oleh para perintis kemerdekaan dan pejuang pembebasan nasional. Dan dari sudut pandang itu pulalah kita bisa mengukur betapa besar kerusakan yang telah disebabkan oleh rezim militer Orde Baru. Akibat kesalahan-kesalahan politik itulah yang sekarang sedang kita warisi dewasa ini, umpamanya : berbagai gejolak di daerah-daerah yang menginginkan kemerdekaan, tuntutan otonomi yang lebih luas (catatan : tuntutan ini adil!), ketidak-percayaan kepada Pemerintah Pusat, pertentangan antar-suku dan antar-agama.

Ketika membaca bagian di atas, mungkiin ada orang yang menyeletuk bahwa Orde Baru telah bisa berhasil mempersatukan bangsa atau menjaga kesatuan negara kita selama 32 tahun. Terhadap ungkapan orang yang semacam ini patutlah kiranya dijawab bahwa persatuan bangsa atau kesatuan negara selama itu adalah sebenarnya semu, dan di dasarkan pada ancaman ujung bayonet. Persatuan yang sungguh-sungguh (artinya, bukan semu) tidak mungkin dibangun oleh suatu diktatur militer. Jadi, singkatnya, dan pada intinya, kekuasaan militerlah (dalam hal ini, sekali lagi, TNI-AD) yang merusak Bhineka Tunggal Ika.

Dan sekarang ini, kekuatan-kekuatan gelap Orde Baru beserta reformis gadungan sedang berusaha untuk tampil lagi di panggung kekuasaan politik. Mereka sedang melakukan berbagai kegiatan (baik terbuka maupun tertutup) untuk menimbulkan berbagai keruwetan politik dan keonaran, untuk menggulingkan Gus Dur. Menghadapi bahaya ini, seluruh kekuatan pro-reformasi dan pro-demokrasi perlu mengatur barisan dan mempersatuan kekuatan untuk melawannya. Sebab, betapapun merdunya nyanyian yang mereka dendangkan, adalah omong kosong besar kalau para reformis gadungan akan bisa, atau akan mau, melaksanakan reformasi secara tuntas dan sungguh-sungguh.

Reformasi berarti talak-tiga dengan fikiran, praktek, mental atau _kultur_ Orde Baru. Reformasi yang sungguh-sungguh tidak mungkin dilakukan oleh para reformis gadungan yang bersekongkol dengan kekuatan-keuatan gelap Orde Baru. Karenanya, reformis gadungan ini harus tetap terus dijadikan sasaran serangan besar-besaran yang dilancarkan oleh kekuatan demokrasi dan pro-reformasi. Sebab, mereka ini sama berbahayanya dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang masih bersembunyi di mana-mana. Bahkan mungkin lebih berbahaya, sebab mereka bisa menipu dengan topeng yang molek.

Dengan menggelar berbagai kegiatan - dan keonaran _ untuk menggulingkan Gus Dur, pada hakekatnya kaum reformis gadungan ini sedang menyatukan diri dengan kepentingan Suharto dkk. Sebab, kalau seandainya Gus Dur bisa digulingkan, maka kekuatan-kekuatan gelap Orde Baru akan mendapat peluang yang besar untuk melanjutkan kejahatan mereka terhadap rakyat dan negara. Dengan kalimat lain, kalau Gus Dur bisa digulingkan, maka bahaya restorasi Orde Baru mungkin akan bisa menjadi kenyataan.

DENGAN ATAU TANPA GUS DUR, BERJUANG TERUS

Tetapi, apakah Gus Dur akan bisa mereka gusur? Berbagai faktor, termasuk yang tidak bisa disangka-sangka terlebih dulu (unexpeted factors, yang sering terjadi dalam sejarah) akan menentukannya. Namun, berbagai hal sudah bisalah kiranya kita jadikan bahan pertimbangan. Faktor dalam negeri memang merupakan faktor penting, tetapi dalam situasi yang sedang dihadapi negeri kita dewasa ini, faktor luarnegeri juga tidak kalah pentingnya. Imbangan kekuatan dalamnegeri (termasuk opini umum) masih akan naik turun, dalam kaitan dengan gencarnya serangan-serangan dari kubu anti-Gus Dur (yang pada dasarnya anti-reformasi ), dengan menggunakan berbagai isyu (Buloggate, Brunaigate, kasus penggantian Kapolri dll dll).

Namun, yang jelas adalah bahwa Gus Dur mendapat simpati yang luas, dan dukungan yang solid, dari dunia internasional. Banyak negeri di dunia melihat pada sosok Gus Dur sebagai seoarang demokrat, yang menghargai hak asasi manusia, yang punya toleransi besar antar-agama dan antar-suku. Di dalamnegeri sendiri, tidak kecil jumlah orang yang menganggap Gus Dur sebagai pemersatu bangsa, yang mengayomi minoritas agama atau suku. Pada diri Gus Dur orang bisa melihat cemerlangnya lambang Bhineka Tunggal Ika yang sudah dicoreng-moreng oleh Orde Baru. Dalam hal-hal itu semua, Gus Dur berada di posisi yang jauh di depan Amien Rais dan sebangsanya, yang sekarang berusaha, dengan segala cara, untuk mendongkelnya.

Peta situasi politik di Indonesia masih dinaungi oleh kabut gelap, dan kita tidak bisa meramalkan kapan dan bagaimana prahara akan terjadi. Apapun yang akan terjadi, satu hal sudah jelas : kekuatan pro-reformasi harus menggunakan ruang demokrasi yang terbuka sekarang ini untuk terus mengembangkan kekuatannya. Segala fihak, tanpa pandang bulu tentang suku, agama, ras, aliran politik, perlu menyadari bahwa reformasi harus jalan terus, baik dengan atau tanpa Gus Dur. Untuk itu, berbagai bentuk kegiatan aksi aksi untuk membela kepentingan rakyat perlu digelar terus, sebagai persiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam masa datang.

Paris, musim gugur, 22 Oktober 2000
 
Blogger Templates