(Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumni Jerman, atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim di sana. Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup. Barakallah Fiikum....) dan setiap kali saya membaca nya ada rasa yang membuat saya selalu menitikkan air mata .
Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi. Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan setiap orang memilikinya. Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama “Smiling.” Seluruh siswa diminta untuk pergi ke luar dan memberikan senyumnya kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan di depan kelas. Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir,tugas ini sangatlah mudah.
Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi kerestoran McDonald’s yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian, saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil mencari tempat duduk yang masih kosong. Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang yang semula antri dibelakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.
Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat mengapa mereka semua pada menyingkir ? Saat berbalik itulah saya membaui suatu “bau badan kotor” yang cukup menyengat, ternyata tepat di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil! Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.
Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang “tersenyum” kearah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arah saya, seolah ia meminta agar saya dapat menerima ‘kehadirannya’ di tempat itu.
Ia menyapa “Good day!” sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan. Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh saya ‘tugas’ yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya. Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah “penolong”nya. Saya merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2 saja sudah sampai di depan counter.
Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan. Lelaki bermata biru segera memesan “Kopi saja, satu cangkir Nona.” Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh mereka (sudah menjadi aturan direstoran disini, jika ingin duduk di dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.
Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang hampir semuanya sedang mengamati mereka.. Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga melihat semua ‘tindakan’ saya.
Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum dan minta diberikan dua paket makan pagi (diluar pesanan saya) dalam nampan terpisah.
Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke meja / tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih kedua lelaki itu untuk beristirahat. Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki bemata biru itu, sambil saya berucap “makanan ini telah saya pesan untuk kalian berdua.”
Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai basah ber-kaca2 dan dia hanya mampu berkata “Terima kasih banyak, nyonya.” Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk bahunya saya berkata “Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk kalian, Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian.” Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya merengkuh kedua lelaki itu.
Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata “Sekarang saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang pasti, untuk memberikan ‘keteduhan’ bagi diriku dan anak-2ku! ” Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar2 bersyukur dan menyadari, bahwa hanya karena ‘bisikanNYA’ lah kami telah mampu memanfaatkan ‘kesempatan’ untuk dapat berbuat sesuatu bagi orang lain yang sedang sangat membutuhkan.
Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin ‘berjabat tangan’ dengan kami. Salah satu diantaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan berucap “Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami semua yang berada di sini, jika suatu saat saya diberi kesempatan olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi kepada kami.”
Saya hanya bisa berucap “terimakasih” sambil tersenyum. Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat kearah kedua lelaki itu, dan seolah ada ‘magnit’ yang menghubungkan bathin kami, mereka langsung menoleh kearah kami sambil tersenyum, lalu melambai-2kan tangannya kearah kami. Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 ‘tindakan’ yang tidak pernah terpikir oleh saya.
Pengalaman hari itu menunjukkan kepada saya betapa ‘kasih sayang’ Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH sekali!
Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan ‘cerita’ ini ditangan saya. Saya menyerahkan ‘paper’ saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya, sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas, ia melihat kepada saya dan berkata, “Bolehkah saya membagikan ceritamu ini kepada yang lain?” dengan senang hati saya mengiyakan. Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi. Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga para siswi yang duduk di deretan belakang di dekat saya diantaranya datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.
Diakhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis diakhir paper saya. “Tersenyumlah dengan ‘HATImu’, dan kau akan mengetahui betapa ‘dahsyat’ dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu.”
Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah ‘menggunakan’ diri saya untuk menyentuh orang-orang yang ada di McDonald’s, suamiku, anakku, guruku, dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu:”PENERIMAAN TANPA SYARAT.”
Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana cara :
"MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG KITA MILIKI"
, dan bukannya MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA...
Thursday, December 30, 2010
Tuesday, December 28, 2010
BELAJAR DARI ISTAMBUL
Tiga puluh jam menjelang pertandingan leg kedua final Piala AFF 2010 antara Timnas Indonesia melawan Malaysia, ingatan saya tiba-tiba melayang pada peristiwa di Atatürk Olympic Stadium kota ISTANBUL, Turki, 25 Mei 2005. Saat itu dua tim besar di Eropa, AC Milan berhadapan dengan Liverpool dalam final Piala Champions.
Milan datang dengan kekuatan penuh. Di sana ada Kaka, Andriy Sevcenko, Hernan Crespo, dan Paolo Maldini, satu di antara sedikit palang pintu terbaik di dunia pada saat itu. Dida berdiri tegak di bawah mistar.
The Gank Anfield juga datang dengan kekuatan yang tak bisa dianggap remeh. Steven Gerrard lagi segar-segarnya. Ditopang pemain berpengalaman sekelas Dietmar Hamman, Sami Hyypia, dan bek yang seperti tak pernah mengenal lelah, Jhon Arne Rise. Penjaga gawang masih dipercayakan kepada Jerzy Dudek, asal Polandia, yang memiliki tinggi 1,85 sentimeter dan belakangan merumput di Real Madrid.
Sebelum kick off, banyak orang memperkirakan pertandingan akan berlangsung alot sejak menit pertama. Maklumlah, ini bukan pertemuan dua kesebelasan kemarin sore. Mereka mempunyai sejarah panjang di liga negaranya masing-masing, juga strategi, teknik, dan tentu saja gengsi.
Ternyata perkiraan itu meleset. Belum dua menit wasit Manuel Mejuto Gonzales asal spanyol meniup peluit, gawang Dudek sudah kebobolan. Maldini yang membuat Liverpudlian terdiam. Pemain yang baru saja meraih Ballon d'Or versi majalah France Football (1994) berhasil memanfaatkan umpan Andrea Pirlo melalui tendangan first time.
Bukan hanya Liverpudlian yang terdiam, pemain Liverpool pun seakan tak percaya. Konsentrasi mereka sempat terganggu. Komunikasi antarpemain menjadi tak jalan, passing tak lagi akurat, dan banyak bola yang mudah direbut pemain Milan.
Mirip ketika Safee Sali memasukkan bola pertama kali ke gawang Markus Maulana di Stadion Bukit Jalil Kuala Lumpur. Banyak orang yang tak percaya bek sekelas Maman Abdurahman memilih tak segera menguasai bola hingga akhirnya dengan mudah direbut Norsahrul Idlan.
Pemain dan pendukung Liverpool makin terhenyak ketika Hernan Crespo berturut-turut memaksa Dudek memungut bola dari dalam gawangnya. Kedudukan pun berubah menjadi 3-0. Tak berubah hingga babak pertama berakhir. Separuh pertandingan menjadi milik Milan.
Saat itu, banyak orang yakin, Milan pasti akan keluar sebagai juara. Di kamar ganti, kabarnya, pemain Milan juga sudah tertawa-tawa. Ada yang bernyanyi. Suasananya ceria. Gembira. Begitu juga dengan Milanisti. Mereka yakin Piala Champions yang menjadi kebanggaan klub di Eropa bakal diboyong ke Milan untuk kali keenam.
Dukungan Suporter
Namun ada yang terlupakan di Atatürk Olympic Stadium, yakni pemain ke-12. Pendukung Liverpool yang memerahkan stadion, ternyata tak putus memberi dukungan kepada Luis Garcia dan kawan-kawan. Mereka terus menyanyikan you'll never walk alone, lagu wajib pendukung Liverpool. Sepanjang pertandingan, tanpa henti.
Siapa pun yang hadir di sana, pasti akan merinding mendengarnya. Koor raksasa itu bergemuruh, menenggelamkan suara tertawanya para pemain Milan di kamar ganti.
Seperti tak mengenal putus asa, mereka terus menyanyi. Tak ada cemooh, nada sumbang menyalahkan pemain, atau coba-coba mencari kambing hitam. Semua berdiri dan bernyanyi bersama-sama.
Hasilnya, seperti kita ketahui bersama. Liverpool berhasil menyamakan kedudukan pada babak kedua menjadi 3-3 dalam waktu 45 menit. Ingat hanya 45 menit, sedangkan kita masih punya 90 menit lagi. Gerrard, Vladimer Smicer, dan Alonso membuat Jaap Stam dan Clarence Seedorf tak habis pikir. Bagaimana kesempatan juara yang sudah di depan mata jadi menjauh?
Adu penalti pun terpaksa dilakukan. Di sini mental pemain terlihat. Siap atau tidak menendang dari titik pas di bawah sorot mata puluhan ribu penonton stadion. Serginho, Pirlo, dan Shevcenko gagal menaklukkan Dudek. Sedangkan Liverpool hanya Rise yang tak berhasil mengecoh Dida. Liverpool akhirnya keluar sebagai juara melalui pertandingan yang mendebarkan para pendukungnya.
Timnas Indonesia yang ketinggalan 0-3 pada leg pertama, bukan tak mungkin bisa membalikkan keadaan dan merebut Piala AFF 2010 untuk kali pertama. Kualitas pemain kita tak kalah bila dibanding Malaysia. Mereka pernah dihajar Timnas tanpa ampun 1-5 di Stadion Gelora Bung Karno di babak penyisihan.
Timnas memang bukan Liverpool. Malaysia juga bukan AC Milan. Tapi tidak ada yang tak mungkin di lapangan hijau. Apalagi, sepakbola bukan matematik, statistik, terlebih politik. Semuanya masih bisa terjadi pada 30 jam mendatang.
Suporter Indonesia juga bisa mencontoh Liverpudlian. Besok, teruslah bernyanyi Garuda di Dadaku secara bersama-sama di Stadion GBK. Buat pemain Malaysia merinding tanpa harus membawa laser, petasan, atau benda apa pun untuk dilempar ke dalam lapangan. Jadilah ksatria.
Jangan juga meluapkan ketidakpuasan dengan mengeroyok wasit atau mengejar pemain lawan. Mari kita tunjukkan pada dunia--dan khususnya penonton Malaysia, meski (seandainya) Timnas Indonesia gagal meraih juara Piala AFF pada tahun ini, tapi kita masih bisa pulang dengan kepala tegak.
Sebab, Indonesia mempunyai suporter yang luar biasa kompak, membanggakan, dan menjunjung tinggi nilai sportivitas. Berjanjilah untuk tak membuat keributan, apalagi merusak--seperti saat mengantre beli tiket, jika kita kalah.
Menang kalah adalah biasa dalam sebuah pertandingan. Namun, menjadi suporter yang dewasa akan menjadi pengalaman yang teramat luar biasa bagi kita.
Selamat bertanding Timnas Indonesia. Jangan pernah ragu dengan kami. Kemarin, hari ini, dan esok hari, Garuda tetap ada di dada kita semua.
sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150101270999467
Label:
SEPAK BOLA
LOGIKA MARX
BAB 1: MARX TENTANG PENJELASAN ILMIAH
oleh Jindrich Zeleny
oleh Jindrich Zeleny
Tujuan analisis dalam CAPITAL, menurut Marx, adalah memberikan analisis mengenai modal dalam struktur dasarnya, menyajikan organisasi inti dari cara produksi kapitalis, bahkan dalam gaya idealnya.1) Di lain tempat Marx juga merumuskan tujuan analisis teoretikalnya mengenai kapitalisme itu dalam perumusan yang terkenal: '.....menjadi tujuan pokok karya ini untuk mengungkapkan hukum gerak ekonomi dari masyarakat modern.....'2) Ini berarti menerangkan hukum-hukum istimewa yang menentukan asal- usul, keberadaan, perkembangan dan kematian suatu organisme sosial tertentu dan pergantiannya oleh suatu organisasi sosial lain yang lebih tinggi' 3) Tekanan lebih dulu diletakkan atas organisasi inti, struktur dasar, kemudian atas hukum-hukum gerak, hukum-hukum perkembangan. Bagi Marx, suatu analisis struktural dan genetik tidak mengandung pertentangan, dan tidak menghasilkan suatu penanganan paralell atau beruntun. Yang menjadi perhatian Marx adalah menyajikan cara produksi kapitalis itu sebagai suatu struktur yang berkembang-sendiri, lahir-sendiri dan hancur-sendiri. Analisis teoretikal yang mengarah pada tujuan ini adalah suatu analisis struktural-genetik yang terpadu.
Dalam pengertian yang sama sebagaimana Marx berbicara tentang struktur dasar, ia juga merujuk pada hubungan-hubungan yang bersesuaian dengan konsep modal, tipe umum dari hubungan kapitalis.4) Maka dalam hubungan-arti itu memahami secara ilmiah bagi Marx berarti penyajian karakteristik-karakteristik dari suatu tipe, organisme atau keutuhan tertentu yang berkembang- sendiri.....melakukan suatu analisis struktural-genetik.
Originalitas prosedur Marx dapat didemonstrasikan dengan membandingkannya dengan yang oleh pendahulu-pendahulunya, teristiwa Ricardo, dalam ekonomi politik teoretikal diartikan dengan penjelasan ilmiah, dengan batasan bahwa mereka memaparkan tafsiran- tafsiran mereka mengenai penjelasan ilmiah itu hanya secara implisit (Ricardo) atau secara implisit dan eksplisit (Adam Smith).5)
Ada keterbatasan-keterbatasan dalam suatu analisis perbandingan seperti itu. Perbandingan-perbandingan dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara: secara supra-historikal dan kontinjen......dalam hal mana perbandingan itu bukannya mendekatkan, melainkan bahkan menjauhkan kita dari suatu pemahaman yang benar, atau cara merujuk pada asal-mula asal-mula: dalam hal ini maka penerapan metode perbandingan itu, spesifikasi dari perbedaan- perbedaan atau persamaan-persamaan, menjadi perkiraan- perkiraan dan alat bagi pengumpulan material untuk penanganan lebih lanjut, akan suatu pemahaman secara materialis-dialektikal mengenai gejala dalam keharusan pekembangannya. Kita lakukan analisis perbandingan dalam pengertian yang kedua. Di antara sistem-sistem ekonomi Ricardo dan Marx terdapat suatu hubungan genetik langsung. Dua tipe penjelasan ilmiah yang berbeda terkandung dalam sistem- sistem ilmiah yang meliput subjek yang sama. Karenanya terdapat titik tolak yang menguntungkan bagi penafsiran originalitas konsep Marx mengenai penjelasan ilmiah, yaitu tipe logikal dari pemikiran ilmiah Marx pada tahap pertama perkembangannya. Namun, aku tidak mempersoalkan di sini aspek-aspek pertanyaan lebih luas mengenai bagaimana konsep metode ilmiah Ricardo--yaitu yang termasuk pada tipe logikal Locke--diklasifikasikan dalam tatanan historikalnya yang luas, kedudukan apa yang ditempatinya, dan hubungan apa yang dipunyainya dengan tipe-tipe metode ilmiah lainnya dalam ilmu modern, dsb.6) Analisis perbandingan awal yang kulakukan bagaimanapun tidak mempermasalahkan perbedaan antara konsepsi Marx dan suatu tipe penjelasan ilmiah pra-Marxis yang penting, sebagaimana yang dikembangkan dalam filsafat klasik Jerman, teristimewa oleh Hegel. Penggarapan konsekuensi-konsekuensi analisis perbandinganku yang bersifat pengantar tentu saja tidak mungkin dilakukan dalam bab-bab berikutnya tanpa meneliti peranan Hegel dalam perkembangan tipe logika Marx dan menerangkan originalitas konsep Marx dalam hubungannya dengan Hegel.
Dalam analisis Ricardo mengenai kapitalisme terkandung suatu konsep penjelasan ilmiah yang dapat dikarakterisasi sebagai berikut:
(a) Ia membedakan permukaan empirikal dari hakekat (esensi).
(b) Hakekat itu difahami sebagai sesuatu yang tidak dapat berubah, sesuatu yang sudah ada dan untuk selama-lamanya, jadi analog dengan hukum-hukum Newton. Bentuk-bentuk empirikal dari gejala-gejala dianggap sebagai bentuk-bentuk fenomenal langsung dari suatu esensi yang tetap, yang sebagian diteliti dan kemudian ditetapkan, dan sebagian lagi diterima sebagai suatu perkiraan yang berdiri sendiri. Bentuk-bentuk empirikal dari gejala-gejala adalah tetap karena sifat a-historikalnya dan bersamaan dengan itu bersifat variabel dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan kuantitatif.
(c) Persoalan-persoalan mengenai sasaran seluruh analisis itu muncul dalam suatu bentuk yang lebih dijabarkan:
- perubahan-perubahan kuantitatif apakah yang terjadi pada bentuk-bentuk empirikal itu jika itu bergantung pada perubahan- perubahan dalam esensinya;
- Perubahan-perubahan kuantitatif apakah yang terjadi pada bentuk-bentuk empirikal itu jika bentuk-bentuk empirikal tertentu yang berada dalam suatu hubungan timbal-balik berbeda secara kuantitif?
Jumlah kerja yang diperlukan untuk produksi suatu barang dagangan jelaslah menjadi esensi tetap yang menjadikan mungkin--demikian menurut Ricardo--difahaminya secara asasi semua gejala ekonomi kapitalis dan untuk menetapkan hukum-hukum yang mengatur distribusi ini..... di antara tiga klas dalam masyarakat, yaitu pemilik tanah, pemilik saham atau modal.... dan kaum buruh....7) yang, menurut Ricardo, menjadi tugas pokok ekonomi politik.Perbedaan asali antara gejala empirikal dan esensi mula-mula muncul pada Ricardo dalam bentuk sebuah pertanyaan: apakah sebenarnya dasar nilai tukar semua barang?8) Jika kita meneliti kedalam struktur penyajian kapitalisme oleh Ricardo, setelah penentuan azas bahwa kerja adalah substansi nilai-tukar, maka yang kita dapatkan dalam kenyataannya adalah suatu pembagian bab-bab yang agak tidak logikal yang bercirikan pertanyaan- pertanyaan yang diajukan secara beruntun oleh Ricartdo. Pertanyaan-pertanyaan itu adalah yang berikut ini:
Apakah yang menjadi sebab utama dari perubahan-perubahan dalam nilai-nilai nisbi (relatif) suatu barang dagangan?
Apakah adanya kualitas-kualitas kerja yang berbeda menjadi sebab perubahan-perubahan dalam nilai nisbi suatu barang dagangan?
Apakah penggunaan modal konstan yang lebih besar atau yang lebih kecil mempengaruhi perubahan dalam nilai nisbi suatu barang dagangan?
Apakah naiknya atau turunnya upah-upah mempengaruhi salah satu perubahan dalam nilai nisbi suatu barang dagangan?
Akibat-akibat apakah yang timbul dari perubahan-perubahan dalam nilai uang atau dari perubahan-perubahan dalam nilai barang-barang dagangan yang ditukarkan dengan uang?
Apakah pemilikan atas tanah dan perkembangan sewa yang dihasilkan olehnya, mempengaruhi nilai nisbi barang-barang dagangan, secara tidak tergantung pada jumlah kerja yang diperlukan untuk produksi barang-barang dagangan?
Apakah yang menjadi sebab perubahan terus-menerus dalam laba dan tingkat bunga yang dihasilkan olehnya?
Secara keseluruhan kita meneliti perubahan-perubahan dalam nilai-tukar (suatu hubungan kuantitatif) dengan perkiraan bahwa kerja menjadi dasar nilai-tukar dan bahwa ia bergantung pada perubahan-perubahan kuantitatif pada faktor-faktor dan bentuk-bentuk empirikal yang berbeda dari ekonomi kapitalis.
Menamakan penelitian Ricardo sebagai suatu kuantitativisme berarti mengabaikan kenyataan bahwa ia tidak bekerja dengan suatu reduksi lengkap dari ciri-ciri kualitatif pada ciri-ciri kuantitatif. Ia juga tidak sampai pada mekanika klasikal dan materialisme mekanikal.9) Dalam penyajian-penyajiannya memang terdapat determinasi-determinasi kualitatif, tetapi analisis teoretikal Ricardo tidak memperlakukan itu sebagai determinasi-determinasi kualitatif, karena--bertentangan dengan sifat determinasi-determinasi kualitatif--itu semua ditarik secara tidak kritikal dari permunculan-permunculan, dari dunia empirikal, sebagai tetap, tidak dapat berubah, langsung. Maka, misalnya upah, laba dan bunga adalah bentuk-bentuk pendapatan dalam kapitalisme yang secara kualitatif dibeda-bedakan. Ricardo tidak meneliti itu semua, namun, dalam hubungan kualitas-kualitas khasnya, melainkan menganggap itu sebagai tiga sumber alamiah yang konstan dari tiga klas alamiah yang konstan dari kependudukan dan mengabdikan seluruh penelitiannya pada masalah perbedaan-perbedaan dalam hubungan-hubungan kuantitatif yang berbeda di antara ketiga bentuk pendapatan itu, teristimewa antara faktor-faktor yang berbeda dalam cara produksi kapitalis dan bentuk-bentuk pendapatan itu.10) Ini menunjukkan betapa pendirian kuantitatif yang berat-sebelah itu menyertai pendirian a-historikal.
Pendirian kuantitatif juga terdapat dalam karya Ricardo dengan masuknya perbedaan dasar antara nilai-tukar dan esensinya, sebagaimana disebut di atas. Ricardo tidak selalu konsisten dalam pembedaan itu. Sekalipun lebih sering dibedakannya antara hubungan-hubungan kuantitatif (dalam hubungan soal ini nilai relatif) dan yang dapat orang sebut nilai mutlak yang muncul dalam hubungan kuantitatif itu, Ricardo kadang-kadang mengacaukan persoalan-persoalan, yang di kemudian hari dibikin terang oleh Marx dengan membedakan antara nilai (substansi-nilai) dan nilai-tukar (bentuk nilai). Pada umumnya, Ricardo tidak mengembangkan perbedaan ini, padahal ini diperlukan agar memahami dasar sesungguhnya dari nilai-tukar dan untuk memusatkan analisis secara tepat pada penelitian atas perubahan-perubahan kuantitatif dalam nilai-nilai tukar.
Catatan:
1. Karl Marx, Capital, Vol.3, Progress, Moscow, 1971, hal. 267, 837. (Selanjutnya disebut Capital, vol.3)
2. Karl Marx, Capital, Vol.1, Allen & Unwin, London, 1957, hal.xix. (Selanjutnya disebut Capital vol.1)
3. Ibid, hal. 102
4. Capital, vol.3, hal. 143
5. Lihat Adam smith, Essays on Philosophical Subjects, Basel, 1799, hal. xix. (Selanjutnya disebut Smith, Essays.)
6. Lihat V. Filkorn, dalam Metoda vedy, Bratislava, 1956, hal. 6, 60, 139, 142, 160, dsb.; dan R. Lenoble, "Types d'explication et type logiques au cours de l'histoire des sciences", dalam Actes du XIieme Congres International de Philosophie, Amsterdam dan Louvain, 1953, hal. 10-15; dan lihat di bawah, Bagian III, Bab. 18
7. David Ricardo, Principles of Political Economy and Taxation, Ed. ke-3, ed. R.M. Hartwell, Penguin, Harmondsworth, hal.49. (Selanjutnya disebut Ricardo, Principles.)
8. Ibid., hal 57, dan lihat juga hal. 55-71, passim.
9. Pendirian kuantitatif Ricardo yang berat-sebelah dibedakan dari positivisme, yang memisahkan hubungan rupa dan esensi dari penjelasan ilmiah dan menurunkan pengetahuan ilmiah menjadi hubungan-hubungan matematikal pada tingkat rupa.
10. Lihat pemaparan Ricardo mengenai sifat modal dan sifat sewa dalam Principles, passim.
BAB 2: TRANSFORMASI KONSEP-KONSEP
oleh Jindrich Zeleny
oleh Jindrich Zeleny
(a) Marx tidak mengenyampingkan penelitian Ricardo mengenai hubungan-hubungan kuantitatif dalam pertukaran barang dagangan sebagai tidak berharga bagi suatu pemahaman mengenai dasar real nilai-tukar dan sifat modal. Marx mengakui peranan positif penelitian-penelitian Ricardo itu dalam memperoleh pengetahuan ilmiah akan objek-objek yang diteliti.
(b) Namun begitu, menurut Marx, penelitian-penelitian itu hanya menghasilkan suatu pemaparan kasar dan tidak cukup dan karenanya menjadi cacat, karena peranannya yang rendahan, yang bersifat sementara dalam pemahaman (persepsi) objek, keterbatasan-keterbatasannya, peranannya hanya sebagai salah-satu dari aspek-aspek individual dari proses persepsi itu tidak dimengerti, karena itu dikedepankan sebagai kebenaran total, sebagai pengetahuan akan karakteristik-karakteristik, esensi (sifat, sebagaimana lebih suka dikatakan oleh Adam Smith dan Ricardo) dari objek-objek yang sedang diteliti. Dalam hal ini, semua itu mau-tidak-mau dikaitkan dengan suatu pemahaman kategori-kategori1) yang a-historikal.
(c) Penggeseran pendirian kuantatif yang berat-sebelah dari Ricardo itu oleh Marx tidaklah berarti bahwa Marx kurang mencurahkan perhatian pada aspek kuantitatif dari objeknya. Bahkan dapat dikatakan, bahwa aspek kuantitatif dari objek itu ditanggapi secara lebih tepat dan lengkap dalam segi-segi ia mempunyai arti penting bagi persepsi ilmiah dari objek itu (artinya, persepsi akan keharusan perkembangannya, pelengkapan analisis struktural-genetik dari objek itu). Misalnya, analisa Marx mengenai atribut-atribut kuantitatif dari tingkat rata-rata) nilai--mula-mula kebesaran-kebesaran mutlak, kemudian kebesaran-kebesaran relatif dan kemudian lagi kebesaran-kebesaran nilai dalam hubungannya dengan uang.dsb.2)
(d) Marx dapat membenarkan pembatasan diri dan pemusatan pada penelitian perubahan-perubahan kuantitatif selama suatu tahap ilmu tertentu. Pembatasan dan pemusatan ini menghasilkan suatu pendirian kuantitatif yang berat-sebelah jika dilakukan dalam keadaan-keadaan tersebut dalam (b). Namun, ia dapat merupakan suatu tahap yang sepenuhnya absah dari proses epistemologikal, suatu tahah yang dillandaskan pada konsep genetik dan lebih tinggi dari penjelasan ilmiah (logika genetik yang lebih tinggi), jika kita sadar akan tempat dan fungsi ilmu pengetahuan yang dibatasi pada analisis kuantitatif.
Sekarang kita dapat mengedepankan teori tentang nilai dari Marx dan Ricardo pada titik kedua pemikir itu memikirkan secara sama mengenai hubungan kuantitatif tertentu, dan kita meneliti apakah bentuk-bentuk pikiran yang sama dipergunakan--teristimewa, apakah mereka diubah secara tertentu oleh Marx. Untuk studi ini akan kita ambil analisis-analisis yang bersesuaian mengenai konsekuensi-konsekuensi perubahan-perubahan dalam produktivitas kerja bagi nilai-tukar barang-barang dagangan.3)
Terlebih dulu teks-teksnya:
Ricardo Agar kita yakin bahwa ini adalah landasan sesungguhnya dari nilai tukar, mari kita mengandaikan adanya perbaikan-perbaikan pada alat-alat penyingkatan kerja pada salah satu dari berbagai proses yang harus dilalui katun mentah, sebelum kaos-kaki panjang yang diproduksi itu memasuki pasaran untuk ditukarkan dengan barang- barang lain, dan mari kita simak efek-efek yang timbul berikutnya. Jika lebih sedikit orang yang diperlukan untuk membudi-dayakan katun mentah, atau jika lebih sedikit pelaut yang dipe-kerjakan dalam navigasi, atau lebih sedikit tukang-tukang kapal dipekerjakan dalam membangun kapal yang akan mengangkut katun mentah itu kepada kita; jika lebih sedikit tangan yang dipe-kerjakan dan membangun gedung-gedung dan mesin-mesin, atau jika itu, jika dibangun, menjadi lebih efisien, maka kaos kaki panjang itu mau tidak mau akan jatuh harganya, dan akan menguasai barang-barang lain yang lebih sedikit. Kaos kaki panjang itu akan turun, karena suatu kuantitas kerja yang lebih kecil yang dibu-tuhkan untuk produksinya, dan karenanya hanya dapat ditukarkan dengan suatu kuantitas yang lebih kecil dari barang-barang yang tidak mengalami penyingkatan kerja (dalam produksinya).......... Andaikanlah bahwa pada tahap-tahap dini dari masyarakat, gendawa dan panah sang pemburu bernilai sama, dan memiliki daya-usia yang sama, dengan sebuah kano dan perlengkapan seorang nelayan, karena kedua-duanya hasil dari kuantitas kerja yang sama. Dalam keadaan seperti itu maka nilai seekor menjangan dari sehari kerja si pemburu, akan sepenuhnya sama nilainya dengan ikan, hasil sehari kerja si nelayan...... Jika dengan kuantitas kerja yang sama pula, suatu kuantitas ikan yang lebih kecil, atau suatu kuantitas hasil buruan yang lebih besar diperoleh, maka nilai ikan itu akan naik jika dibandingkan dengan nilai hasil buruan itu. Jika, sebaliknya, dengan kuantitas kerja yang sama diperoleh kuantitas hasil buruan yang lebih kecil, atau diperoleh suatu kuantitas ikan yang lebih besar, maka hasil buruan akan naik nilainya jika dibandingkan dengan nilai ikan..... Sekarang andaikanlah, bahwa dengan kerja dan modal tetap yang sama, dapat dihasilkan lebih banyak ikan, tetapi tidak dapat dihasilkan emas atau hasil buruan yang lebih banyak, maka nilai nisbi (relatif) dari ikan akan turun jika diperbandingan dengan nilai emas atau hasil buruan. Jika, bukan duapuluh ekor, tetapi duapuluhlima ekor ikan salmon merupakan hasil produksi kerja satu hari, maka harga seekor salmon akan enambelas shilling dan bukan satu pound, dan dua setengah ekor dan bukannya dua ekor salmon yang akan diberikan sebagai pertukaran untuk seekor menjangan, tetapi harga me-njangan akan tetap pada 2 Pound Sterling seperti sebelumnya. Dengan cara yang sama, jika lebih sedikit ikan yang dapat diperoleh dengan modal dan kerja yang sama, maka ikan akan naik dalam nilai perbandingannya. Jadi, ikan akan naik atau turun dalam nilai pertukarannya, hanya karena lebih banyak atau lebih sedikit kerja yang diperlukan untuk memperoleh suatu kuantitas tertentu; dan ia tidak akan pernah naik atau turun diluar proporsi peningkatan atau penurunan kuantitas kerja yang diperlukan itu.4) | Marx Penyamaan 20 yard lenan = 1 jas, atau 20 yard lenan berharga 1 jas, memperkirakan kehadiran ba-nyaknya substansi nilai yang presis sama dalam 1 jas dan dalam 20 yard lenan, dan karenanya menandakan bahwa kuantitas-kuantitas yang meng-hadirkan kedua barang dagangan itu ongkosnya adalah sejumlah kerja atau kuantitas waktu-kerja yang sama besarnya. Tetapi, waktu kerja yang diperlukan bagi produksi 20 yard lenan atau 1 jas berubah-ubah dengan setiap perubahan dalam produktivitas si penenun atau si tukang jahit. Pengaruh perubahan-perubahan seperti itu atas ungkapan relatif dari kebesaran nilai kini haruslah diteliti dengan lebih cermat. I. Katakanlah bahwa nilai lenan berubah sedangkah nilai jas masih tetap. Jika waktu-kerja yang diperlukan untuk produksi lenan menjadi dua kali lipat, misalnya, sebagai akibat makin tidak suburnya tanah penanaman rami, maka nilainya juga akan menjadi dua kali lipat. Gantinya persamaan 20 yard lenan = 1 jas, kita akan mendapatkan 20 yard lenan = 2 jas, karena 1 jas kini hanya akan mengandung separoh waktu-kerja dari 20 yard lenan. Jika, sebaliknya, waktu-kerja yang diperlukan berkurang menjadi separohnya, sebagai akibat perbaikan pada pintalan, misalnya, maka nilai lenan akan jatuh dengan setengahnya. Sesuai dengan ini, maka persamaannya kini menjadi 20 yard lenan = 1/2 jas. Nilai nisbi dari barang dagangan A, yaitu nilainya sebagaimana dinyatakan dalam barang dagangan B, naik dan turun dalam hubungan langsung dengan nilai A, jika nilai B tetap (tidak berubah). II. Katakanlah bahwa nilai lenan tetap (konstan), sedangkan nilai jas berubah. Jika, dalam keadaan ini, waktu-kerja yang diperlukan untuk produksi sepotong jas itu lipat dua kali, misalnya, sebagai akibat panenan wol yang kurang baik, maka akan kita dapatkan, bukan 20 yard lenan = 1 jas, melainkan 20 yard lenan = 1/2 jas. Jika, sebaliknya, nilai dari jas itu turun dengan setengahnya, maka 20 yard lenan = 2 jas. Karenanya, jika nilai dari barang dagangan A konstan, maka nilkai relatifnya, sebagaimana dinya-takan dalam barang dagangan B, naik dan turun dalam hubungan terba-lik dengan perubahan dalam nilai B. Jika kita bandingkan kasus-kasus yang berbeda seperti yang telah kita periksa pada I dan II di atas, maka nyatalah, bahwa perubahan yang sama dalam kebesaran (magnitude) nilai nisbi dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab yang sepenuhnya berlawanan. Dengan demikian, persamaan 20 yard lenan = 1 jas menjadi 20 yard lenan = 2 jas adalah dikarenakan nilai lenan telah menjadi dua kali lipat ataupun nilai dari jas telah jatuh dengan setengahnya, dan persamaan menjadilah 20 yard lenan = 1/2 jas, adalah karena nilai lenan telah jatuh dengan setengahnya, ataupun karena nilai jas telah menjadi dua kali lipat. III. Andaikan kuantitas-kuantitas kerja yang diperlukan untuk produksi lenan dan jas itu berubah serentak pada arah dan proporsi yang sama. Dalam hal ini, 20 yard lenan = 1jas, adalah seperti sebelumnya, perubahan apapun yang terjadi pada nilai masing-masing barang itu. Perubahan nilai itu hanya terungkap jika kedua barang dagangan itu dibandingkan dengan barang dagan-gan ketiga, yang nilainya tidak mengalami perubahan, yaitu konstan. Jika nilai-nilai dari semua barang dagangan naik dan turun secara serentak dan dalam proporsi yang sama, maka nilai-nilai relatifnya akan tetap tidak berubah. Perubahan dalam nilai real barang-barang dagangan itu akan dinyatakan oleh suatu kenaikan dan penurunan kuantitas barang dagangan yang diproduksi dalam waktu-kerja yang sama. IV. Waktu-kerja yang diperlukan untuk produksi lenan dan jas, dengan begitu berarti nilai masing-masing, dapat berubah secara serentak dalam arah yang sama, tetapi dalam derajat yang tidak sama, atau dalam arah yang berlawanan, dan begitu seterusnya. Pengaruh dari semua kemungkinan kombinasi dari jenis ini atas nilai relatif suatu barang dagangan dapat diperhitungkan secara sederhana dengan menerapkan kasus I, II dan II. Dengan demikian, perubahan-perubahan sesungguhnya dalam kebesaran nilai tidaklah dicerminkan secara samar-samar atau pun secara selengkap-lengkapnya dalam pernyataan relatifnya, atau, dengan kata-kata lain, dalam kebesaran nilai relatifnya. Nilai relatif dari suatu barang dagangan dapat berubah, sekalipun nilainya tetap (konstan). Nilai relatifnya dapat tetap konstan, walaupun nilainya berubah; dan akhirnya, variasi-variasi serentak dalam kebesaran nilainya dan dalam pernyataan relatif dari kebesaran itu sama sekali tidak harus bersesuaian dalam segala hal.5) |
Tetapi analisisnya lebih terang, lebih sistematik, dan lebih jelas.6) Ia lebih bergaya, lebih eksak, lebih murni dalam arti bahwa Marx tidak menggunakan kategori-kategori yang lebih kompleks daripada modal, dan ia membeda-bedakan konsep-konsep seperti besaran nilai dan hubungan besaran-besaran nilai secara lebih tepat; ia tidak mengacaukan kedua arti dari istilah nilai relatif. Perbedaan paling dasar antara Ricardo dan Marx adalah pada posisi yang mereka berikan pada analisis yang baru disebutkan di atas itu dalam proses pemahaman objek--dalam kata-kata lain: pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan seputar analisis ini, sebelumnya atau sesudahnya. Kita melihat di sini bahwa bagi Ricardo, teks yang dikutib itu merupakan salah satu argumen yang pokok, jika bukannya argumen pokok bagi azas bahwa nilai-tukar sebuah barang-dagangan ditentukan oleh jumlah kerja yang diperlukan bagi produksinya. Sebaliknya, bagi Marx teks yang dikutib jelas dan pasti bukanlah argumen pokok bagi pandangan bahwa kerja yang diperlukan bagi produksi sebuah barang-dagangan adalah merupakan dasar bagi nilai-tukar barang-dagangan itu. Hal utama dari argumen Marxian adalah jawabannya atas sebuah pertanyaan lain, yaitu: dalam kondisi-kondisi sosial yang bagaimanakah kerja berubah menjadi nilai, jenis kerja yang menciptakan nilai-tukar? Bagaimanakah bentuk-uang dari nilai harus dijelaskan? Bagaimana-kah azas yang mengatakan bahwa kerja merupakan substansi nilai- tukar itu diubah oleh perkembangan modal?
Dalam pemahaman Ricardo mengenai penjelasan ilmiah, maka penelitian atas konsekuensi-konsekuensi perubahan-perubahan kuantitatif dalam produktivitas kerja bagi nilai-tukar barang dagangan yang sama mengambil suatu kedudukan lain, menjalankan suatu tugas yang berbeda dengan yang di dalam pemahaman Marxian mengenai penjelasan ilmiah, sekalipun bentuk-bentuk pikiran yang dipakai dalam analisis masalah-masalah ini boleh dikatakan sama pada Ricardo dan Marx.
Apabila kedua pemikir itu meneliti pertukaran, dan apabila--seperti yang kita lihat dalam teks-teks sejajar yang dikutib di atas tadi--mereka melakukan penelitian mengenai perubahan-perubahan kuantitatif dengan menggunakan bentuk pikiran yang pada hakekatnya sama, perbedaan pokok di antara kedua pemikiran itu adalah, bahwa pemahaman Ricardian mengenai kategori pertukaran secara esensial terbatas dan direduksi7) pada tindak kuantitatif dari pertukaran, sedangkan dalam pikiran ilmiah Marx, kategori pertukaran itu dipakai dalam suatu hubungan arti yang jauh lebih kaya. Dengan Marx, maka benda-benda, gejala-gejala dan karakteristik-karakteristik kualitatif itu sendiri yang dipahami sebagai hal-hal yang berkembang dari hal-hal lain dan ditransformasi menjadi sesuatu yang lain: semua itu, menyebutnya dalam peristilahan Hegelian, dipahami sebagai sendiri-menjadi-sesuatu-yang lain. Setiap bentuk real difahami sebagai dalam proses perubahan;8) jadi bukan penampilan-penampilan saja yang tidak kekal (transitori), dapat berubah, berlalu, hanya dipisahkan satu dari lainnya oleh batas-batas bersyarat (kondisional), melainkan juga hakekat-hakekat (esensi-esensi) itu sendiri.9)
Sebelum menganalisa masalah-masalah ini lebih jauh, akan kukutib beberapa contoh:
(a) Dalam penelitian yang dinamakan harga wajar dari kerja Ricardo menulis:
Tidak dapat diartikan, bahwa harga wajar dari kerja, diperkirakan bahkan dalam makanan dan kebutuhan-kebutuhan lain, adalah tertentu dan konstan secara mutlak. Harga itu berubah-ubah pada waktu-waktu berlainan di suatu negeri, dan berbeda secara amat nyata di berbagai negeri. Ia pada pokoknya bergantung pada kebiasaan dan adat-istiadat rakyat.10)
Hingga suatu titik tertentu, konsep-konsep Ricardo mengenai harga wajar dari kerja tidaklah sepenuhnya kategori-kategori yang terpancang dan beku. Masih terkandung suatu elastisitas dam kemungkinan berubah yang oleh Ricardo dinamakan variabilitas (historikal dan geografikal) dari harga wajar dari kerja. Karenanya, konsep Ricardo mengenai harga wajar dari kerja adalah suatu kategori yang terpancang, jika dihadapkan pada kategori-kategori upah dari Marx. Ricardo menangkap dan memahaminya hanya secara supra-historikal, sebagai suatu bentuk ekonomik yang cocok bagi semua tahap perkembangan masyarakat manusia, jika ia berubah karena kondisi-kondisi geografikal dan historikal, maka ia berubah hanya secara kuantitatif.11) Penggeseran keterpancangan kategori ini terjadi ketika Marx menangkap dan memahami upah sebagai suatu bentuk ekonomik yang dalam atribut-atribut kualitatif tertentunya menyatakan diri sebagai sesuatu yang bersifat sementara, bergantung pada kondisi-kondisi historikal dan pada kemungkinan berubahnya keseluruhan yang darinya ia menjadi suatu aspeknya.(b) Secara analog dapat juga kita, dengan suatu modifikasi kecil, menyifatkan perbedaan antara konsep-konsep Ricardian dan Marxian mengenai distribusi. Pada Ricardo kita membaca:
Produk dari bumi --yaitu semua yang diperoleh dari permukaannya lewat penerapan terpadu dari kerja, mesin dan modal, terbagi di antara tiga klas masyarakat; yaitu, pemilik tanah, pemilik saham atau modal yang diperlukan untuk penggarapannya, dan para pekerja yang menggarap itu dengan kegiatannya.
Tetapi pada tahap-tahap berbeda dari masyarakat, proporsi-proporsi dari keseluruhan produk bumi yang akan dijatahkan pada masing-masing klas itu, dengan memakai nama-nama bunga, laba dan upah, pada dasarnya akan berbeda; terutama tergantung pada kesuburan aktual dari tanah, pada akumulasi modal dan penduduk, dan pada keahlian, kecerdasan dan alat-alat yang dipergunakan dalam agrikultur.
Untuk menentukan hukum-hukum yang mengatur distribusi ini, adalah masalah pokok dalam Ekonomi Politik……12)
Kembali terlihatlah bahwa distribusi difahami sebagai dapat berubah dalam hal tertentu dan bergantung pada kondisi-kondisi historikal. Tetapi ke perubahan ini hanya meliputi karakteristik-karakteristik atribut-atribut kualitatif khusus dari distribusi difahami oleh Ricardo sebagai terpancang, kaku, ditentukan sekali dan untuk selamanya. Ricardo mengangkat bentuk transitori secara historikal dari distribusi yang khas pada cara produksi kapitalis ini menjadi sesuatu yang supra-historikal dan sama sekali tidak dapat berubah.Di sini penggeseran keterpancangan kategori bagi Marx tidaklah dalam fakta bahwa ia mengungkap sifat transitori secara historikal dari distribusi, dalam arti bahwa itu hanya termasuk pada suatu tahap tertentu, dan tidak pada semua tahap masyarakat manusia. Bertentangan dengan Ricardo, Marx membenarkan elastisitas dan dapat berubahnya konsep-konsep, dalam arti bahwa ia memandang bentuk-bentuk distribusi yang transitori dan secara kualitatif berbeda-beda itu sebagai aspek-aspek dari cara-cara produksi yang secara kualitatif berbeda-beda; Marx melihat atribut-atribut kualitatif-kuantitatif tertentu dari bentuk-bentuk khusus distribusi dalam saling keterkaitannya, dalam saling bertransisi satu sama lainnya, mempengaruhi aspek-aspek tertentu dari proses sosial.13)
(c) Dengan Marx, maka penggeseran keterpancangan kategori mempunyai ciri analog lainnya lagi, sejauh hal itu menyangkut kategori-kategori logikal yang dipakai oleh Ricardo untuk menyatakan struktur dasas ontologikal dari pemahamannya mengenai dunia. Inti konsepsi Marxian mengenai elastisitas konsep-konsep dan penggeseran keterpancangan dalam gagasan-gagasan (seperti dalam kategori Marxian mengenai pertukaran) pada tingkat akhir adalah suatu hubungan baru dari relatif dan absolut, dari kenisbian dan kemutlakan, dan (pada umumnya) suatu objektivitas baru, hubungan objek-objek dalam realitas objektif dengan proses persepsi. Dasar untuk itu adalah pemahaman secara historikal dan praktikal mengenai manusia dan kondisi-kondisi sosial dari kehidupan manusia. Konsepsi Marxiam ini merupakan suatu bagian integral dari analisis struktural-genetik sebagaimana itu dipergunakan dalam CAPITAL. Aku akan menguji analisis itu dalam bagian- bagian berikutnya dari penelitian ini.
Catatan:
- Lihat Karl Marx,
Theories of Surplus Value, vol.2, Progress, Moscow, 1968, hal. 504. (Selanjutnya disebut Theories of Surplus Value, vol. 3.)
- Capital
,vol.1,hal.47
- Ibid., hal. 8, 21ff.
- Ricardo,
Principles, hal. 67-71
- Capital
, vol. 1, Penguin, Harmondsworth, 1976, hal. 144-6. (Selanjutnya disebut Capital, vol.1, Penguin.)
- Dewasa ini tak mungkin menyajikan pemaparan Marx yang diringkas dalam suatu bentuk matematikal yang lebih singkat lagi.
- Lihat Smith,
Essays, hal. 154
- Capital
, vol. 1, hal. xxx-xxxi
- Lihat "Philosophical Notebooks", hal. 253-4
- Ricardo,
Principles, hal. 118
- Lihat Karl Marx,
Grundrisse, Penguin, Harmondsworth, 1974, hal. 560. (Selanjutanya disebut Grundrisse.)
- Ricardo,
Principles, hal. 49
- Lihat Karl Marx,
Introduction to the Grundrisse, dalam Texts on Method, Blackwell, Oxford, 1975, hal. 64-5. (Selanjutnya disebut Introduction, 1857, Texts on Method.) Lihat juga Capital, vol. 3, hal. 877 ff.
BAB 3: BENTUK-BENTUK REALITAS DAN PIKIRAN
oleh Jindrich Zeleny
oleh Jindrich Zeleny
Hubungan-hubungan yang kita jumpai dalam analisis ilmiah Ricardo secara logikal dapat dibagi dalam tiga kelompok:
- Hubungan-hubungan pada tingkat penampilan, teristimewa hubungan-hubungan kuantitatif khusus. Dalam bab terdahulu telah kita teliti konsepsi-konsepsi Ricardo dan Marx mengenai hubungan-hubungan kuantitatif dan telah sampai pada kesimpulan, bahwa bentuk-bentuk pikiran yang dipakai oleh Ricardo dan Marx di bidang itu, pada hakekatnya adalah sama. Di sini kita berurusan dengan kategori hubungan yang diambil dari karya perintisan dari Leibniz dan telah mengalami suatu kemajuan besar dalam logika matematikal pasca-Marxian. Kemajuan pesat disiplin itu pada abad ke duapuluh pasti akan dipercepat lagi, karena pikiran dan praxis Marxis, didorong oleh keperluan akan otomatisasi dalam produksi dan akan pengarahan secara sadar bagi masyarakat dan proses-proses sosial, makin menjadikan pentingnya logika matematikal bagi pelayanan teknologi, perencanaan, pendidikan dsb.
- Hubungan-hubungan substansial. Ricardo sangat sedikit perhatiannya pada hubungan-hubungan substansial ini, sedangkan Marx justru sangat besar perhatiannya. Ini disebabkan karena di dalam kenyataannya, Marx dan Ricardo memahami hal esensi itu secara berbeda. Jika bagi Ricardo esensi itu sesuatu yang secara kualitatif sudah terpancang dan tidak-dapat-dibeda-bedakan, maka Marx melihat dan meneliti perubahan esensi itu; Marx memahaminya sebagai sesuatu yang secara historikal dapat berubah, yang terjadi melalui berbagai tingkat perkembangan dan perubahan- perubahan kualitatif. Marx memahami esensi itu sebagai suatu proses kontradiktif, yang mempunyai tahap-tahap perkembangan dan berbagai derajat kedalaman. Mengenai pengetahuan ilmiah, Marx mengutamakan penemuan hukum-hukum yang menyangkut perubahan-perubahan substansial.
- Hubungan-hubungan antara esensi dan tingkat penampilan. Dengan Ricardo, hubungan-hubungan ini segera diabstraksikan, yang disebut abstraksi-abstraksi formal (Marx); dengan Marx analisis penampilan dan esensi adalah suatu aspek dari analisis struktural-genetik.1)
Tugas kita sekarang yalah meneliti apa yang diartikan hubungan kategori dalam karya Marx, maka baiklah kita merujuk secara kritikal pada analisis yang dikembangkan oleh L.A. Mankovsky.2)
Mankovsky memulai dengan suatu kritik mengenai logika hubungan- hubungan, sebagaimana yang ditafsirkan oleh kaum positivis. Mankovsky menunjuk pada kenyataan, bahwa dari suatu posisi positivis serupa, tokoh liberal Russia, P.Struve, telah mencoba menyalah-artikan teori Marxian tentang nilai. Struve mengemukakan, bnahwa hubungan-hubungan harga yang ditentukan secara empirikal adalah kenyataan ekonomik yang eksklusif dan pasti dalam pertukaran barang-barang dagangan. Karenanya, Struve menamakan konsepsi (termasuk konsepsi Marx) mengenai harga sebagai suatu bentuk fenomenal dari substansi-nilai, suatu konsepsi mekanis-naturalis, suatu konsepsi metafisikal. Struktur logikal dari pandangan Marxian itu sudah ketinggalan zaman, kata Struve, karena berlandaskan pada suatu pengertian Aristotelian mengenai struktur S-P (subjek-predikat) dari proposisi itu.
Dalam perjalanan kritiknya terhadap konsepsi positivis, non- substansialis mengenai hubungan kategori, Mankovsky menunjuk pada pernyataan terkenal dari Marx, bahwa sifat-sifat sesuatu benda tidaklah lahir dari hubungannya pada benda-benda lain, tetapi sebaliknya, mereka itu hanya diaktifkan oleh hubungan-hubungan seperti itu.3) Pada ini, Mankovsky menambahkan observasi umum berikut ini:
(Bagian karangan) itu ditujukan terhadap para ekonom vulgar, yang secara spontan mengambil pendirian positivisme, lama sebelum logika hubungan-hubungan diselesaikan sebagai suatu teori istimewa dalam logika. Pandangan Marxian secara singkat dan tepat menjelaskan perbedaan pokok antara logika materialisme dan logika positivisme, di antara logika substansialis dan logika relativis. Aliran positivis kearah logika hubungan-hubungan mendapatkan ungkapannya dalam pandangan mereka mengenai struktur logikal dari semua proposisi yang dianggap fondamental: Mereka menyarankan sebagai ganti perumusan klasik atas proposisi S adalah P perumusan mereka sendiri aRb, yang telah menjadi suatu landasan logika dialektikal, berarti bahwa pemahaman terutama ditujukan pada objek yang dinyatakan oleh istilah S (subjek dari proposisi itu); P (predikat dari proposisi itu) menyatakan sifat-sifat khusus dari objek itu.4)
Dalam aspek logikalnya, pikiran Marxian mempunyai suatu orientasi atributif-substansial dan disusun menurut perumusan S adalah P.5)
Manovsky benar sekali ketika menyatakan bahwa pandangan Marx mengenai segi utama sifat, berlawanan dengan hubungan, mengacu pada pengerdilan pikiran ilmiah oleh kaum positivis. Namun harus disangsikan apakah observasi umumnya benar, dengan mengatakan bahwa komentar-komentar Marx secara singkat dan tepat telah mengungkapkan antitesis dasar antara logika materialisme dan logika positivisme, antara logika substansialis dan logika relativis.
Ini berarti bahwa suatu pertanyaan penting belum dipecahkan dalam karya Marx, yaitu, perbedaan antara logika materialis substansial yang karakteristik Ricardo, misalnya, dan logika materialis substansialis dari Marx. Dengan Ricardo, logika materialis substansialis sejak semula ditentukan oleh konsepsinya mengenai esensi yang tidak-berubah-ubah (fixed), sedangkan Marx berangkat dari esensi yang tak-berubah-ubah kepada esensi dialektikal yang tidak-tetap membawakan suatu konsepsi baru mengenai logika materialis substansialis: dalam karya ilmiah Marx digunakanlah logika materialis--sit venia verbo-- relativis-substansialis. Tetapi itu dibangsun sedemikian rupa sehingga tidak mempunyai kesamaan apapun dengan suatu relativisme yang menyangkal kemungkinan pemahaman realitas objektif secara tepat. Ini lebih merupakan suatu perkiraan akan pengetahuan objektif, setelah keruntuhan konsepsi-konsepsi anti-dialektikal mengenai struktur ontologikal dari realitas.
Ketika Manovsky berkeras mengatakan6) bahwa Marx mempertentangkan perumusan S adalah P dengan perumusan aRb, haruslah dinyatakan keberatan bahwa dipertentangkannya secara sederhana struktur- hubungan dan struktur predikat, tidaklah menyatakan konsepsi Marxian. Marx menolak direduksikannya nilai-tukar menjadi suatu hubungan kuantitatif; Marx menangkap dan menjelaskan hubungan kuantitatif dengan sifatnya yang lebih dalam, yaitu menjadi nilai itu sendiri. Tetapi sifat itu sendiri (menjadi nilai) yang menentukan hubungan kuantitatif dan--dalam keadaan-keadaan sekarang, di mana produksi barang dagangan adalah dominan--semua hubungan pertukaran yang ada, lahir pada suatu tahap tertentu dari masyarakat manusia dalam keadaan-keadaan tertentu pula. Ia merupakan suatu hubungan tertentu di antara manusia dan kerja mereka, dan ia diciptakan oleh suatu hubungan; sesuatu yang material adalah pembawanya.
Jika kita harus memakai simbol-simbol, kita tidak dapat mengatakan bahwa Marx mempertentangkan perumusan S adalah P dengan perumusan aRb, melainkan, bahwa seluruh persoalannya harus dijelaskan dengan suatu cara yang lebih fondamental.
Marx memulai dari permukaan empirikal dan sepakat sejak semula bahwa nilai-tukar mula-mula muncul sebagai suatu hubungan kuantitatif (dijumpai dalam dunia penampilan empirikal), maka itu aRb.
Marx membenarkan perumusan aRb. Namun ia tidak berhenti hingga di situ, melainkan menjelaskan bahwa reduksi nilai-tukar menjadi sesuatu yang semurninya relatif dan bahwa dalam arti itu hubungan kuantitatif akanlah tidak benar adanya. Ia menganjurkan: Mari kita meneliti masalahnya lebih jauh.7)
Hasil peneletian lebih jauh itu adalah kejelasan akan adanya suatu relativitas rangkap: suatu relativitas eksternal dan suatu relativitas substansial. Yang relatif dalam substansinya dapat muncul terhadap relativitas eksternal sebagai sesuatu yang multak dan non-relatif, namun hanya dalam batas-batas tertentu dan dalam perkiraan-perkiraan abstrak tertentu. Dalam arti itulah Marx kadang-kadang berbicara tentang nilai mutlak, berlawanan dengan bentuk-bentuk-nilai yang ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif, sebagai pernyataan, bentuk penampilan dari nilai mutlak. Nilai itu, yang kadang-kadang muncul pada Marx sebagai nilai mutlak berlawanan dengan bentuk-nilai, adalah relatif (relatif secaran substansi) - (a) dalam arti sifat relatif historikal dari substansi-nilai8) dan (b) dalam arti bahwa ia diciptakan oleh hubungan kerja manusia individual dengan jumlah kerja seluruhnya yang diperlukan secara sosial.9) Relativitas nilai bersifat kontradiktori. Seperti dalam kasus-kasus serupa yang kita lihat dalam Logic Hegel, suatu pemahaman tentang substansi sebagai hubungan memberi jalan pada pemahaman sifat kontradiktorinya.
Struktur substansial-atributif yang tradisional dari pikiran ilmiah sebagai yang dikonseptualisasi dalam filsafat Kecerahan, misalnya dalam metafisika Descartes, Locke atau dalam filsafat Jerman pra-Kantian, telah direvolusionerkan oleh Marx ketika ia merelatifkannya berdasarkan tafsiran dialektikalnya mengenai realitas. Dalam hal itu, yang menjadi perhatian kita di sini sehubungan dengan masalah yang dikemukakan Manovsky mengenai perbedaan antara logika substansial dan logika relativis10), ingin kukutib struktur substiansial-atributiv Descartes, misalnya pada paragraf 51 dan paragraf-paragraf berikutnya dalam bagian pertama Principles of Philosophy demi untuk kejelasannya. Descartes memahami substansi sebagai sesuatu yang berada sedemikian rupa hingga tidak memerlukan apapun juga untuk keberadaannya itu. Masing-masing dari dua substansi, yang spiritual dan yang fisikal, memiliki atribut tetapnya yang khas, yang membentuk esensinya dan adalah dasar dari semua sifat lainnya (Paragraf 53). Pemuaian adalah suatu sifat dari substansi fisikal; pikiran adalah suatu sifat dari substansi spiritual. Semua modi, qualitates, differentiae lahir dari dasar itu, dan tentu saja tunduk pada hukum-hukum umum alam, yang pertamanya berbunyi:
Setiap realitas, sejauh ia bersifat sederhana dan tidak terbagi, selalu berada dalam keadaan sama sejauh-jauh hal itu mungkin, dan tidak pernah berubah kecuali lewat sebab-sebab eksternal11)
Locke12) bersikap skeptikal terhadap konsep substansi: itu sebuah konsep yang kecil kegunaannya, bahkan kabur. Mengenai substansi kita hanya dapat memperoleh suatu konsepsi yang samar-samar, membingungkan. Jika kita memperhatikan cara Locke melakukan penelitian yang sesungguhnya mengenai penampilan-penampilan real, maka kita melihat bahwa sesuai reservasi gnoseologikalnya mengenai kejelasan substansi dan kritik empirisisnya mengenai rasionalisme idealis pada Descartes, maka Locke memahami penampilan- penampilan real dan sifat-sifatnya itu secara sama seperti Descartes. Jika Descartes memberikan tekanan lebih besar atas pemahaman matematikalnya, Locke menekankan pemahaman indrawi, empirikal. Namun suatu konsepsi yang sama mengenai struktur ontologikal dari realitas merupakan dasar dari kedua prosedur itu. Dengan prosedur Locke, maka aparatus kategorial beroperasi dengan perkiraan-perkiraan indrawi (sensori), dan dengan prosedur Descartes, abstraksi azas-azas yang tegar yang terbukti secara rasional, diberikan secara geometrikal. Perbedaan ini--yang sangat jelas dan bukannya tanpa arti penting dalam sejarah pemikiran burjuis-- tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa kita secara hakiki masih berurusan dengan konsepsi-konsepsi yang berkaitan. Wolff, yang mendapat reaksi sangat kuat dari filsafat Jerman, secara eksak merumuskan perpisahan dualistik dan kaku yang konstan dari yang variabel, sifat-sifat yang mutlak dari yang relatif. Dalam Logic kita membaca pada paragraf 60: Jika kita perhatikan atas apa benda-benda terdiri, maka yang pertama kita temukan adalah konstan-konstan, yang terdapat di situ manakala jenis-jenis (species) tidak berubah; juga, perubahan-perubahan yang terjadi, sekalipun jenis-jenis tidak berubah. Paragraf 61: Jika ada konstan-konstan mempunyai hubungan dengan suatu kesatuan (entity), maka ini dapat dinyatakan secara mutlak, dan proposisi sebaliknya pun begitu. Paragraf 62: Jika sesuatu itu dapat berubah, maka ini hanya dapat terjadi dalam kondisi-kondisi tertentu, dan proposisi sebaliknya pun begitu. Konsepsi Wollf tentang hubungan sebagai sesuatu yang cuma bersifat eksternal, yang difahami atas dasar esensi tertentu dan kesatuan-kesatuan yang terisolasi yang berlawanan satu sama lain, ditunjukkan, misalnya dalam paragraf 857 dari Ontology: Hubungan tidak menambahkan kualitas pada suatu kesatuan yang tidak dikandungnya sendiri; karena tidak ada kesatuan yang berada dalam ketergantungan, baik itu real ataupun kelihatannya, dari sesuatu pada yang lainnya.13)
Yang dengan Descartes atau Wolff bersifat tertentu (fixed) dan kaku dan dinyatakan sebagai suatu ketentuan dalam struktur hierarkial Substansi-Atribut-Cara-Kejadian dan sebagainya, kehilangan ketentuannya dengan Marx, kekakuannya dan stabilitas mutlaknya. Ia menjadi bergantung pada suatu tahap historikal tertentu dari perkembangan dan pada peranannya dalam totalitas-totalitas (sistem-sistem) real yang berkembang sendiri.
Dalam pikiran Marxian, proses real yang objektif, yang seragam dalam materialitasnya dan dapat diketahui secara lebih mendalam dan dengan kebenaran objektif, memainkan peranan substansi dalam pengertian Cartesian (sebagai sesuatu yang tidak memerlukan apapun kecuali dirinya sendiri bagi keberadaannya). Kategori substansi dipahami seperti ini tidak memainkan suatu peranan dalam pikiran Marx, seperti peranan yang dimainkan, misalnya, dalam metafisika Cartesian. Maka itu kita lazimnya mendapatkan istilah substansi dalam CAPITAL Marx dalam suatu pengertian yang telah beralih, dalam pengertian sebagai suatu proses esensial, yang mempertahankan bentuk nampaknya secara empirikal--atau yang bentuknya dapat dimengerti secara tidak langsung--dalam bentuk-bentuk penampilannya yang berbeda-beda. Kualitas substansial dari proses esensial (kualitas kesubstansialan) itu adalah relatif secara historikal, tetapi juga realtif dengan hubungan dengan peranannya, fungsinya, hubungan-hubungan dalam totalitas-totalitas (sistem-sistem). Yang dihadapi Marx adalah masalah tingkat-tingkat yang berbeda-beda dari proses substansial itu dan juga masalah menetapkan suatu proses oleh sifat-sifat relatif yang berbeda-beda dari tingkat-tingkat substansial yang berbeda-beda.14)
Sekalipun Marx, dalam kritiknya atas penurunan nilai-tukar menjadi suatu hubungan relatif, menekankan bahwa dalam hubungan kuantitatif itu terdapat suatu sifat yang tidak diciptakan oleh hubungan itu, Marx di tempat lain juga menunjukkan bahwa keberadaan sifat-sifat tertentu (juga sifat-sifat substansial) itu ditentukan dan diciptakan oleh hubungan-hubungan tertentu. Marx, misalnya, menulis:
Sambil berkembang, inter-relasi inter-relasi barang-barang dagangan menghablur menjadi aspek-aspek yang jelas dari padanan (ekuivalen=equivalent) universal, dan dengan demikian proses pertukaran serta merta menjadi proses pembentukan uang. Proses ini sebagai suatu keseluruhan, yang terdiri atas berbagai proses, merupakan sirkulasi (peredaran).15)
Marx menunjukkan bagaimana para ekonom politik burjuis mengubah sifat-sifat benda-benda, yang dibentuk oleh hubungan mereka dalam suatu keutuhan tertentu, oleh peranan-peranan dan fungsi-fungsi mereka dalam suatu proses tertentu, menjadi sifat-sifat substansial16) yang tetap, bebas dari hubungan-hubungan dalam suatu keutuhan transitori historikal. Demikianlah misalnya, jika alat-alat kerja difahami secara supra-historikal sebagai modal tetap, bebas dari hubungan fungsi-fungsi mereka.
Marx secara teliti membeda-bedakan dimasukinya hubungan-hubungan tertentu mengubah sifat-sifat substansial suatu penampilan tertentu, dan yang tidak mengubah sifat-sifat substansial itu, yaitu jika sifat-sifat substansial itu secara esensial tidak diubah oleh masuknya mereka dalam hubungan-hubungan baru. Demikianlah, Marx menulis, misalnya:
Dan hingga batas ini Smith benar, ketika ia mengatakan bahwa bagian (porsi) dari nilai produk yang diciptakan oleh pekerja sendiri, yang untuk itu si kapitalis membayar padanya suatu padanan dalam bentuk upah-upah, menjadilah sumber pendapatan bagi si pekerja. Tetapi perubahan sifat atau kebesaran porsi dari nilai barang-dagangan itu tidaklah melebihi penggantian nilai alat-alat produksi oleh kenyataan bahwa mereka berfungsi sebagai nilai-nilai-modal, atau sifat dan kebesaran dari suatu garis lurus telah diubah oleh kenyataan bahwa ia berlaku sebagai basis suatu segitiga atau sebagai diameter sesuatu ellipse. Nilai tenaga-kerja masih ditentukan secara bebas seperti nilai dari alat-alat produksi itu.17)
Mengenai subjek bagaimana sifat substansial dari menjadi modal bergantung pada hubungan-hubungan dalam suatu keutuhan yang berkembang, Marx menulis:
Uang selalu tetap dalam bentuk yang sama di dalam substratum yang sama; dan dengan demikian dapat lebih mudah difahami sebagai sekedar suatu benda. Namun barang dagangan yang satu dan sama itu, yaitu uang dsb. dapat mewakili modal atau pendapatan dsb. Maka jelaslah bahkan bagi kaum ekonom, bahwa uang bukanlah sesuatu yang nyata; melainkan barang dagangan yang satu dan sama ini kadang-kadang dapat digolongkan di bawah judul modal, kadang- kadang di bawah judul lain dan yang bertentangan, dan sesuai dengan itu adalah atau bukan modal. Maka menjadilah jelas bahwa itu adalah suatu hubungan, dan hanya mungkin suatu hubungan produksi adanya.18)
Pernyataan Marx mengenai keutamaan sifat yang dipertentangkan dengan hubungan, karenanya, tidak dapat dianggap sebagai seluruh kebenaran; ia hanya merupakan suatu cara khusus dalam membagi struktur ontologikal dalam karya Marx, yaitu, hubungan sifat substansial dengan gejala permukaan yang dinyatakan oleh suatu hubungan kuantitatif (proporsi).19) Kecuali hubungan-hubungan ini, yang adalah proporsi-proporsi kuantitatif yang sekonder pada suatu sifat sosial tertentu yang tampil dalam proporsi kuantitatif, Marx mengakui hubungan-hubungan lain dari suatu jenis yang sama sekali berbeda; kaitan mereka dengan sifat-sifat, dengan esensi, dengan hubungan-hubungan fenomenal dan substansial yang selebihnya dari proses perkembangan tidaklah dinyatakan oleh keutamaan yang tetap atau abstraksi yang tetap. Karakteristik terpenting dari teori Marxian mengenai struktur ontologikal dari realitas dan struktur logikal dari pikiran adalah, dalam kaitan ini, realitivisasi (penisbian) struktur substansial-atributif tradisional atas dasar monisme materialis-dialektikal.20)
Mankovsky berusaha melanjutkan polemik ini dengan memakai pemutlakan positivis terhadap hubungan itu--hubungan yang dipahami sebagai a-substansialistik--sedemikian rupa hingga ia sebenarnya melepaskan esensi kerelativan21) dan secara tidak memuaskan mengungkapkan teori materialis-dialektikal Marxian mengenai struktur ontologikal dari realitas dan struktur logikal dari pikiran, dan sebagian pula mundur pada suatu logika substansialis.
Dapat berubahnya dan relativisasi materialis-dialektikal dari struktur substansial-atributif oleh Marx didahului oleh kritik Hegelian mengenai gaya berpikir22) tradisional subjek-predikat (S-P). Ketika melukiskan watak pengetahuan tentang realitas mutlak, Hegel terutama menekankan bahwa perlu sekali bergerak melampaui substansi mati yang tidak bergerak kepada substansi hidup. Substansi hidup, menurut Hegel, adalah keberadaan yang benar-benar subjek, atau, yang sama artinya, yang benar-benar direalisasi dan nyata (wirklich = aktual) semata-mata dalam proses menempatkan dirinya sendiri, atau perubahan-perubahannya sendiri dengan perantaraan dirinya sendiri.......23) Jika substansi difahami sebagai perkembangan-sendiri (sebagai menjadi, menjadi sesuatu yang lain, sendiri menjadi yang lain, gerak-sendiri), maka struktur proposisi lama S-P tidaklah mencukupi untuk menyatakan kebenaran.
Subjeknya dianggap sebagai suatu titik tetap, dan sebagai dukungan mereka padanya, predikat-predikat dibubuhkan, oleh suatu proses yang termasuk dalam pengetahuan individual mengenainya, tetapi tidak dipandang sebagai bagian titik pembubuhan itu sendiri; namun, hanya dengan suatu proses seperti itu, dapatlah isi diajukan sebagai subjek.24)
Kebenaran adalah keseluruhan dan keseluruhan itu adalah cuma sifat esensial [dari sesuatu] yang mencapai kelengkapannya lewat proses perkembangannya sendiri.25) Dengan persangkaan penampilan- penampilan sebagai lengkap adanya dan keberubahan yang difahami secara eksternal, maka subjek dan predikat berada dalam hubungan yang terpancang dari superioritas atau subordinasi, penataan relatif dan penataan persamaan; dengan persangkaan sustansi sebagai berkembang-sendiri, predikat mau-tak-mau harus dimengerti sehingga subjek menyatakan dirinya dalam gerakannya sendiri (= keberadaannya sendiri) dalam predikat itu, presis sebagaimana esensi yang berkembang harus dinyatakan dalam bentuk-bentuk fenomenal yang berbeda-beda.26)
Semua konsep yang diterapkan dalam kritik Hegel pada pemikiran subjek-predikat tradisional (konsep-konsep seperti apakah yang benar-benar real, gerak-sendiri, dsb.) difahami dalam semangat idealisme mutlak, dengan azasnya mengenai identitas (kesamaan) pikiran dan keberadaan. Dalam bentuk itu mereka sama sekali tidak berguna bagi Marx yang materialis, yang memahami pengetahuan sebagai perenungan (refleksi=reflection). Keterangan tentang bagaimana Marx telah melampaui gagasan-gagasan Hegel mengandung semua ciri karakteristik dari analisis struktural-genetik materialis-dialektikal. Bab-bab dalam bagian pertama tulisan ini khusus mengenai analsis itu.
Pikiran ilmiah matematikal dan natural dari abad-abad ke tujuhbelas dan delapanbelas kadang-kadang disebut pikiran rasional. Filkorn, misalnya, menulis: Sifat dasar yang membedakan ilmu pengetahuan periode [Galilean] dari ilmu pengetahuan rakyat-rakyat zaman perbudakan, adalah relasionalitasnya....27). Adalah penting sekali untuk menegaskan perbedaan antara relasionalitas yang karakteristik dari ilmu pengetahuan Galilean dan relasionalitas baru (relativisasi bentuk-bentuk pikiran), yang darinya Science of Logic Hegel merupakan manifestasi idealis dalam logika. Relationalitas baru ini mencakup dalam pengantian kritikalnya yang materialistik atas gagasan-gagasan Hegel suatu unsur dasar dari konsep ilmu pengetahuan Marx.
Filkorn memperhatikan perbedaan 28) itu dan terutama mencarinya dalam klasifikasi hubungan-hubungan yang eksternal dan internal. Ilmu penetahuan periode Galilean tidak dapat mencapai konsep mengenai relasi inti..... Ia cuma sampai pada permukaannya.29) Agaknya, seseorang lebih dapat mengarakterisasi perbedaan itu dengan kenyataan bahwa dalam ilmu pengetahuan Galilean relasionalitas (penelitian hubungan-hubungan eksternal dan internal) didasarkan pada penerimaan suatu esensi yang tetap dan sifat-sifat esensial yang tetap 30), sedangkan relasionalitas pikiran Marxian didasarkan pada pemahaman perkembangan relasional dari tingkat dalam (esensi). Konsepsi esoterik mengacu pada pemahaman kontradiksi sebagai karakteristik esensial dari relasionalitas baru dalam perkembangan itu. Jika dikatakan, bahwa kontradiksi adalah sumber perubahan, maka konsepsi-konsepsi non-dialektikal lama jelas-jelas membingungkan kita: karena, untuk sesuatu itu berubah, haruslah ada suatu sumber perubahan, yang adalah berbeda dari perubahan itu sendiri. Jika kita mencoba merumuskan pemahaman Marxian mengenai pertanyaan ontologikal itu atas dasar penelitian kita mengenai analsis struktural-genetik sebagaimana yang dipakai dalam CAPITAL, maka kita akan menyadari bahwa kekontradiksian (contradictoriness) adalah sifat yang paling dalam--jika orang dapat mengatakan itu31)--dari struktur ontologikal relasional dan perkembangan (developmental) dalam teori Marxian. Ia adalah suatu sifat yang termasuk secara eksistensial pada struktur itu dan bukan suatu sumber eksternal dari perubahan. Bahkan ia dalam batas tertentu adalah identik dengannya.
Relativisasi Marxian atas bentuk-bentuk pikiran atas dasar monisme materialis-dialektikal dapat dikarakterisasi dengan cara berikut ini--jika pada mulanya kita menetapkan suatu pembatasan negatif--bahwa ia tidak berarti suatu relativisme subjektivis (biar itu cuma suatu tipe individualistik atau subjektivisme objektif dari Kant). Juga, ia tidak berarti pembatasan pengetahuan manusia pada kebenaran yang relatif belaka. Secara positif kita dapat mengatakan bahwa ia menyangkut suatu relativisasi bentuk-bentuk pikiran:
- dalam pengertian ketidak-kekalan historikal;
- dalam pengertian memahami saling-menentukan, inter- penetrasi, saling-melampaui bentuk-bentuk pikiran, karena kategori-kategori logikal tidaklah terisolasi dan tidak tetap; ini khususnya relevant bagi kategori-kategori logikal dalam pertentangan mengutub;
- Dalam pengertian relativisasi antitesis dari yang relatif dan yang mutlak. Konsepsi Marxian juga berarti diperolehnya kuantitas pengetahuan secara mutlak, atau untuk lebih jelasnya, diperolehnya objek dari pengetahuan ilmiah (menyusul perluasan ilmu pengetahuan Lockean di bawah Deisme, dan subjektivikasi pengetahuan manusia dalam Critique of Pure Reason (Kritik atas Nalar Murni) dari Kant. Kita berurusan di sini dengan satu- satunya alat perolehan yang mungkin dewasa ini. Dialektik dari relativisme dan absolutisme ini penting bagi kemampuan atau ketidak-mampuan suatu tipe pikiran ilmiah untuk menjadi suatu pandangan ilmiah, logikal dan lengkap mengenai dunia dan kehidupan;
- Dalam pengertian menghancurkan kemanfaatan mutlak (dan loncatan-loncatan paksaan yang dapat digunakan secara tepat) dari bentuk-bentuk pikiran dan cara-cara prosedur imliah pra-Marxis tertentu. Di sini masalahnya bukanlah relativitas historikal, tetapi relativitas dalam pengertian kemanfaatan tidak-mutlak dan terbatas pada dan kecocokan bagi berbagai bidang;
- Dalam pengertian pemahaman kita akan ketergantungan kategori-kategori logikal pada bentuk-bentuk masyarakat manusia yang berkembang secara historikal.
Catatan:
1. Lihat di bawah Bagian I, Bab. 9
2. L.A.Mankovsky, "Kategori 'veshch"' i 'otnoshchenie' v Kapitale Marksa", Voprosui filosofi, 5/1956. (Selanjutnya disebut Mankovsky, 'Kategorii')
3. Capital, vol. 1, hal. 26
4. Mankovsky, 'Kategorii', hal. 47
5. Ibid., hal. 59
6. Ibid., hal. 49
7. Capital, vol. 1, hal. 30
8. Lihat Karl Marx, Notes on Adolph Wagner, dalam Texts on Method, hal. 206-7. ) (Selanjutnya disebut Notes on Wagner, Texts on Method.)
9. Capital, vol. 1, hal. 55; lihat juga Theories of Surplus Value, vol. 2, hal. 170-3; dan lihat juga Grundrisse, hal. 560
10. Lihat Dusan Machovec, Dve studie o Aristotelove filosofi, Praha, 1959
11. Rene Descartes, Philosophical Writings, ed. E.Anscombd, A Contribution to the Critique of Political Economy, Lawrence dan Wishart, London, 1971, hal. 52. (Selanjutnya disebut A Contribution to the Critique of Political Economy.)
16. Ini dapat masalah sifat-sifat dan hubungan-hubungan substansial maupun gejala permukaan.
17. Karl Marx, Capital, vol. 2, Lawrence dan Wishart, London, 1970, hal. 385-386. (Selanjutnya disebut Capital, vol. 2). Lihat juga Ibid. hal. 204-5, 375, 389 ff.; dan Introduction, 1857, Texts on Method, hal. 206
18. Grundrisse, hal. 514
19. Lihat Theories of Surplus Value, vol. 3, hal. 145-6
20. E.W. Beth, "Critical Epochs in the Development of the Theory of Science," British Journal for the Philosophy of Science, 1/1950; dan :Fundamental Features of Contemporary Theory of Science", idem, no. 4
21. Karena Mankovsky, pada penutup karangannya, juga menyebutkan bahwa esensi-esensi adalah relatif dan dapat berubah (hal. 54), ia mendapatkan dirinya sendiri dalam kontradiksi dengan ucapan-ucapannya yang sebelumnya, dan penegasan ini sendiri akhirnya diperlemah oleh prioritas yang diberikan pada suatu pengurangan untuk menjamin keterkaitan dan dapat-berubahnya secara kuantitatif.
22. G.W.F. Hegel, The Phenomenology of Mind, ed. ke 2, Allen and Unwin, London, 1966, hal. 80-1, 84-5, 113-15. (Selanjutnya disebut Phenomenology.) Lihat juga Encyclopaedia,nya, par. 27-33
23. Phenomenology, hal. 80
24. Ibid., hal. 84. Lihat juga karya Hegel System der Philosophie, Bag.1, Stuttgart, 1929, hal. 105, par. 31 tambahan.
25. Phenomenology, hal. 81
26. Ibid.
27. Filkorn, Predhegelovska, hal. 182
28. Ibid., hal. 199
29. Ibid., hal. 201
30. Lihat L.In feld, "Neskol'ka zamenchany o teorii otnositel'nosti, Voprosui filosofi," 5/1954; dan A. Kolman, "Soucasne spory kolem filosofickych problemu teorie relativity", Pokroky matematiky, fyziky a astonomied, 5/1960; dan F. Enriques, Las Theorie de la connaisance scientifique ;de Kant a nos jours, Paris, 1938, Bab. 6 dan 7.
31. Sulit menghindari salah-pengertian mengenai masalah-masalah ini, yaitu, menerima sesuatu dalam semangat konsep-konsep pra-dialektikal, di sini, konsep-konsep mengenai objek dan sifat-sifatnya, yang cuma suatu citra kasar dari struktur ontologikal dari potongan-potongan kecil dari beberapa bentuk nyata. Hegel telah menekankan dalam hubungan ini bahwa azas identitas yang berkontradiksi tidak dapat dirumuskan kecuali melalui ungkapan-ungkapan verbal yang tidak eksak, kadang-kadang bahkan agak menyesatkan.