Pages

Thursday, May 13, 2010

Proyek Infrastruktur Freeport

Pada 1995, ada empat proyek infrastruktur yang mulai dibangun oleh Freeport di Papua Barat, yakni :

1. Pengembangan pelabuhan Amamapare, dari mana konsentrat emas dan tembaga diekspor atau nantinya diantarpulaukan.

2. Pembangunan sebuah kota baru.

3. Pembangunan sarana pembangkit tenaga listrik bagi tambang emas dan tembaga yang baru, Grasberg, alias Gunung Bijih Timur.

4. Pembangunan bandara Timika. Seluruh proyek itu dikoordinasi oleh PT A Latief Freeport Infrastructure Corporation (AFIC), yang 67 persen sahamnya dikuasai oleh kelompok A. Latief dan 33 persen sisanya oleh Freeport

Proyek pertama senilai US$ 100 juta ditangani PT ALatief P & O Port Development Company (APPDC), perusahaan kongsi antara ALatief Nusakarya Corporation dengan maskapai angkutan laut P & O Australia Ltd. Berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak pada pertengahan Mei 1995, perusahan itu mendapat hak kelola pelabuhan Amamapare selama 10 tahun dan bisa diperpanjang.

Proyek kedua senilai US$ 250 juta, langsung ditangani AFIC. Kota baru yang diresmikan Soeharto pada awal Desember 1995 dengan nama Kuala Kencana itu berdiri pada ketinggian 4.200 meter di atas permukaan laut, seluas 17.400 hektar. Demi, kenyamanan para kapitalis, birokrat, serta kapitalis-birokrat, kota itu dilengkapi lapangan golf kelas turnamen yang dirancang pegolf AS, Ben Crenshaw.

Tak lama kemudian, Freeport memindahkan perkantorannya dari Tembagapura yang diresmikan Soeharto 23 tahun sebelumnya yang hanya dibangun untuk kapasitas penduduk 1.200 jiwa ke Kuala Kencana. Sedangkan Kuala Kencana sendiri dibangun dengan kapasitas 25.000 jiwa, sangat luas untuk menampung karyawan Freeport yang sudah mencapai 12.000 jiwa.

Sementara, proyek ketiga ditangani PT Puncakjaya Power Corporation, usaha patungan antara Freeport (30%), Power Link Corporation (30%), Duke Energy dari AS (30%), dan PT Catur Yasa (10%).

Proyek keempat yang mulai dilaksanakan pada Juni 1995 ditangani PT Airfast Aviation Facilities Company (AVCO), yang 45% sahamnya dikuasai PT Airfast Indonesia, 30% oleh PT Giga Haksa yang merupakan anak perusahaan Catur Yasa, dan 25% oleh Freeport.

Proyek yang total investasinya mencapai US$50 juta (waktu itu diperhitungkan Rp 125 milyar), terdiri dari pembangunan kawasan bandara terpadu lengkap dengan segala sarana pendukungnya, serta pengadaan tiga pesawat Twin Otter, dua pesawat Boeing B 737-200, serta tujuh helikopter.
 
Blogger Templates