Dari
zaman Hindia Belanda Hingga Zaman Revolusi
Orang
tidak dapat membajangkan lagi sekarang, bagaimana sekiranja hidup kita ini,
bilamana tidak ada surat kabar. (Parada Harahap “Kedudukan Pers Di Masjarakat”
1951)
Dr.
De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara
sekilas tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di Indonesia, bahwa
sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah koran dan surat kabar.
Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah koran
bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Koran yang memuat
berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan
Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah
itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada
tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai
surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.
Sejak
abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat
sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah
sudah merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para
pengusaha di masa itu telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang
merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila
para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa
awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan koran
dan surat kabar di Batavia.
Walaupun
demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang.
Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa disamping sebagai alat penyampai
berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran
penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat
pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya
arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri
leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai
keperluan.
Dengan
kata lain media masa dimasa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau
pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu
diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta
orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip
majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai
masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang
Belanda dalam pendokumentasian ini.
Dalam
majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai
Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai
politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni
rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam
peristiwa penting lainnya yang terjadi di Indonesia.
R.
M. Tirtoadisuryo pelopor kebebasan pers
Sampai
akhir abad ke-19, koran yang terbit di Batavia hanya memakai bahasa Belanda.
Dan para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena
surat kabar dimasa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam
negeri), kabar beritanya boleh dikata kurang seru dan “kering”. Yang
diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang
monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan
kriminal.
Namun
memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Masalahnya
soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai
diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan
Pers Dalam Masjarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini,
akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan).
Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang
berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh
hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi
kebijakan atasannya.
Kritik
semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan
oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di
berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui
masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi
para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi
sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun,
cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa.
Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa
mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.
Para
petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya.
Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang
menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya
menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat
pembaca yang menampung “curhat atau aspirasi” tentang berbagai hal dari para
pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada
tahun 1916, kritik yang membahas soal politik mulai marak.
Dunia
pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903,
sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar
ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers
yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers
Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor
Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk
menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori
kebebasan.
Pers
kaum pribumi
Sikapnya
ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal
ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul
koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat
membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat,
bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto
terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di
atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau
saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.
Hadirnya
Medan Prijaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan
yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian
Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia.
Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup
revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar
Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya,
yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan,
Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918
dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian
Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama
harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.
Pers
pasca kemerdekaan
Beberapa
hari setelah teks proklamasi dibacakan Bung Karno, dari kota sampai ke pelosok
telah terjadi perebutan kekuasaan dalam berbagai bidang, termasuk pers. Yang
direbut terutama adalah peralatan percetakan. Perebutan kekuasan semacam ini
telah terjadi di perusahaan koran milik Jepang, yakni Soeara Asia (Surabaya),
Tjahaja (Bandung) dan Sinar Baroe (Semarang). Dan pada tanggal 19 Agustus 2605
(tahun Jepang) koran-koran tersebut telah terbit dengan mengutamakan berita
sekitar Indonesia Merdeka. Dalam koran-koran Siaran Istimewa itu telah dimuat
secara mencolok teks proklamasi. Kemudian beberapa berita penting seperti
"Maklumat Kepada Seluruh Rakyat Indonesia", "Republik Indonesia
Sudah Berdiri", "Pernyataan Indonesia Merdeka", "Kata
Pembukaan Undang-Undang Dasar", dan lagu "Indonesia Raya".
Di
bulan September sampai akhir tahun 1945, kondisi pers RI semakin kuat, yang
ditandai oleh mulai beredarnya Soeara Merdeka (Bandung) dan Berita Indonesia
(Jakarta), Merdeka, Independent, Indonesian News Bulletin, Warta Indonesia, dan
The Voice of Free Indonesia. Dimasa itulah koran dipakai alat untuk
mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Sekalipun masih mendapat ancaman dari
tentara Jepang, namun dengan penuh keberanian mereka tetap menjalankan
tugasnya. Dalam masa klas pertama tahun 1947, pers Indonesia terbagi dua.
Golongan pertama tetap bertugas di kota yang diduduki Belanda. Dan golongan
kedua telah mengungsi ke pedalaman yang dikuasai RI. Sekalipun aktif di wilayah
musuh, yang selalu dibayangi ancaman pemberedelan dan bersaing dengan koran Belanda,
golongan pertama tetap menerbitkan koran yang berhaluan Republikein. Yang
terkenal di masa itu antara lain Merdeka, Waspada, dan Mimbar Umum. Demikian
pula yang bergerilya ke pedalaman, dengan peralatan dan bahan seadanya, koran
mereka senantiasa menjaga agar jiwa revolusi tetap menyala. Di masa itu telah
beredar koran kaum gerilya, yakni Suara Rakjat, Api Rakjat, Patriot, Penghela
Rakjat, dan Menara. Koran-koran ini dicetak di atas kertas merang atau stensil
dengan perwajahan yang sangat sederhana.
Pemberedelan
pertama
Kondisi
pers kita sesudah proklamasi, memang jauh berbeda dibanding dimasa penjajahan
Belanda dan Jepang. Di masa itu orang enggan membaca koran, karena beritanya
selalu untuk kepentingan penguasa. Sedang pada masa kemerdekaan, koran apa saja
selalu menjadi rebutan masyarakat. Sehari setelah beberapa koran mengabarkan
berita tentang pembacaan teks proklamasi, maka hari-hari berikutnya masyarakat
mulai memburunya. Mereka tampaknya tidak mau ketinggalan mengikuti berita
perkembangan negaranya yang baru merdeka itu. Minat baca semakin meningkat dan
orang mulai sadar akan kebutuhannya terhadap media massa. Suasana seperti ini
tentunya berdampak positif bagi para pengelola media masa di masa itu. Usaha
penerbitan koran pun mulai marak kembali, yang konon diramaikan oleh irama
gemercaknya suara alat cetak intertype atau mesin roneo. Sementara itu para
kuli tinta yang sibuk kian kemari memburu berita, semakin banyak jumlahnya.
Untuk menertibkan dan mempersatukan mereka, pada tahun 1946 atas inisiatif para
wartawan telah dilangsungkan kongres di Solo. Dalam kongres itu telah dibentuk
persatuan wartawan dan Mr. Sumanang, ditunjuk sebagai ketuanya.
Tercatat
beberapa peristiwa penting dalam sejarah pers di masa revolusi yakni di tahun
yang sama telah didirikan Sari Pers di Jakarta oleh Pak Sastro dan kantor
berita Antara dibuka kembali, setelah selama tiga tahun dibekukan Jepang.
Kantor Sari Pers setiap hari mencetak ratusan koran stensilan yang memuat
berbagai berita penting dari seluruh tanah air.
Dari
hari ke hari berita di media massa silih berganti, dari pertempuran dan
perundingan, sampai pembangunan serta kabar berita yang penuh suka dan duka.
Seperti berita di tahun 1945. Indonesia Merdeka telah disambut gembira, namun
dibulan November muncul berita duka, yakni tentara Inggris telah membantai
ribuan rakyat dan para pejuang Indonesia serta membumihanguskan kota Surabaya.
Di tahun 1946 rakyat Indonesia telah memperingati hari proklamasi dengan sangat
meriah sebanyak dua kali, yakni pada tanggal 17 Februari, ketika Indonesia
Merdeka baru berumur setengah tahun dan tanggal 17 Agustus. Tahun 1946 ditutup
dengan munculnya berita musibah yang memenuhi halaman-halaman koran, yakni
pembunuhan 40.000 rakyat Sulsel oleh Gerombolan Westerling pada tanggal 11 Desember.
Tindakan kejam ini dilakukan pihak Belanda untuk melancarkan jalan menuju
terbentuknya negara boneka Indonesia Timur.
Memasuki
tahun 1948 situasi dan kondisi negara RI memang mulai diwarnai oleh suasana
perpecahan. Di masa itu semakin terasa ada dua golongan yang saling
bertentangan yakni golongan kanan (Front Nasional) dan golongan ekstrem kiri
(komunis) yang disebut FDR (Front Demokrasi Rakyat). Puncak konflik ini
ditandai oleh meletusnya pemberontakan Peristiwa Madiun yang didalangi oleh PKI
Muso. Peristiwa ini sempat mengguncang pemerintah. Betapa tidak, sementara
rakyat kita sedang sibuk menghadapi agresi Belanda, tiba-tiba PKI menusuk dari
belakang. Pidato Presiden Soekarno yang berbunyi: "Pilih Soekarno-Hatta
atau Muso dengan PKI-nya" sempat menjadi berita utama dalam setiap koran.
Di masa penuh konflik inilah untuk pertama kalinya terjadi pemberedelan koran
dalam sejarah pers RI. Tercatat beberapa koran dari pihak FDR seperti Patriot,
Buruh, dan Suara Ibu Kota telah dibreidel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR
membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front
Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah memberedel Suara Rakjat dengan
alasan terlalu banyak mengeritik pihaknya.
Pers
dan pemerintah
Pada
tahun 1946, pihak pemerintah mulai merintis hubungan dengan pers. Di masa itu
telah disusun peraturan yang tercantum dalam Dewan Pertahanan Negara Nomor 11
Tahun 1946 yang mengatur soal percetakan, pengumuman, dan penerbitan. Kemudian
diadakan juga beberapa perubahan aturan yang tercantum dalam Wetboek van
Strafrecht (UU bikinan Belanda), seperti drukpersreglement tahun 1856,
persbreidel ordonnantie 1931 yang mengatur tentang kejahatan dari pers,
penghinaan, hasutan, pemberitaan bohong dan sebagainya. Namun upaya ini pelaksanaannya
tertunda karena invasi dari pihak Belanda. Barulah setelah Indonesia memperoleh
kedaulatannya di tahun 1949, pembenahan dalam bidang pers dilanjutkan kembali.
Di
saat itu telah terjadi peristiwa bersatunya kembali golongan insan pers yang
bergerak di kota yang dikuasai Belanda dengan golongan yang bergerak di daerah
gerilya. Hubungan itu meliputi soal perundang-undangan, kebijaksanaan
pemerintah terhadap kepentingan pers dalam hal aspek sosial ekonomi maupun
aspek politisnya.
Dalam
UUD pasal 19 contohnya, telah dicantumkan kalimat, setiap orang berhak atas
kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Pelaksanaan UUD pasal 19
tersebut telah diusulkan dalam sidang Komite Nasional Pusat Pleno VI Yogya
tanggal 7 Desember 1949 yang intinya, Pemerintah RI agar memperjuangkan
pelaksanaan kebebasan pers yang mencakup memberi perlindungan kepada pers
nasional, memberi fasilitas yang dibutuhkan perusahaan surat kabar, dan
mengakui kantor berita Antara sebagai kantor berita nasional yang patut
memperoleh fasilitas dan perlindungan.
Usulan
di atas kemudian dijawab. Pemerintah RI sudah mulai merencanakan segala
peraturan mengenai pers dan berupaya sekerasnya untuk melaksanakan hak asasi
demokrasi. Hubungan antara pemerintah dan pers lebih dipererat dengan cara
membentuk Panitia Pers pada tanggal 15 Maret 1950, penambahan halaman koran,
persediaan kertas dan bahan-bahan yang diperlukan, tanpa ada ikatan apapun yang
mengurangi kemerdekaan pers. Untuk meningkatkan nilai dan mutu jurnalistik,
maka para wartawan diberi kesempatan untuk memperdalam ilmunya. Dan diupayakan
pula agar kedudukan kantor berita Antara lebih terasa sebagai mitra dari para
pengelola surat kabar.
Upaya
di atas telah memungkinkan terciptanya iklim pers yang tertib dan menguntungkan
semua pihak. Jumlah perusahaan koran pun dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Buktinya dalam kurun waktu empat tahun sesudah 1949, jumlah surat kabar
berbahasa Indonesia, Belanda, dan Cina naik, dari 70 menjadi 101 buah.
Sekalipun demikian bukan berarti mutu jurnalistiknya ikut meningkat. Untuk itu,
Ruslan Abdulgani dalam tulisannya "Pers Nasional dan Funksi
Sosialnya" telah menulis sebagai berikut, "Mempertinggi mutu
journalistiek pada umumnja harus diartikan mempertinggi kwaliteit apa jang
ditulis: hal ini dapat ditjapai bila wartawan berkesempatan tjukup
memperlengkapi dirinja dengan pengetahuan tentang keadaan jang hendak ditulis,
dan pelbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu politik, sociologie, ekomomi,
psychologie, sedjarah dan ketatanegaraan".
Selanjutnya,
pada jaman pendudukan Jepang., untuk wilayah Jawa dan Madura diterapkan
Undang-undang No.16 yang memberlakukan sistem lisensi dan sensor preventif.
Setiap penerbitan cetak harus memiliki ijin terbit serta melarang penerbitan
yang dinilai memusuhi Jepang. Aturan itu masih diperkuat lagi dengan
menempatkan shidooin (penasehat) dalam staf redaksi setiap surat kabar. Tugas
“penasehat” ini sesungguhnya adalah mengontrol dan menyensor, bahkan adakalanya
menulis artikel-artikel dengan memakai nama para anggota redaksi.
Sejumlah
aturan yang diterapkan pada era penjajahan itu ternyata tetap dipelihara oleh
pemerintahan Republik Indonesia, setelah memproklamasikan kemerdekaan. Misalnya
ketentuan yang tertuang dalam Persbreidel Ordonnantie, terus dipakai dan secara
formal baru diganti pada 1954. Mengikuti perkembangan politik, pada 14
September 1956, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku Penguasa Militer,
mengeluarkan peraturan No. PKM/001/0/1956. Pasal 1 peraturan ini menegaskan
larangan untuk mencetak, menerbitkan dan menyebarkan serta memiliki tulisan,
gambar, klise atau lukisan yang memuat atau mengandung kecaman atau penghinaan
terhadap presiden dan wakil presiden. Larangan itu juga berlaku bagi tulisan
dan gambar yang dinilai mengandung perenyataan permusuhan, kebencian atau
penghinaan. Ketentuan yang sangat mirip dengan Haatzaai.
Artikelen
ini, kemudian dicabut setelah diprotes kalangan pers. Mengikuti penerapan
situasi darurat perang (SOB), Penguasa Militer Daerah Jakarta Raya mengeluarkan
ketentuan ijin terbit pada 1 Oktober 1958. Pembredelan pers di era Soekarno
banyak terjadi setelah pemberlakuan SOB, 14 Maret 1957, termasuk penahanan
sejumlah wartawan. Aturan soal ijin terbit bagi harian dan majalah kemudian
dipertegas dengan Penpres No.6/1963. Selain Surat Ijin terbit, setelah meletus
Peristiwa Gerakan 30 september 1965, berlaku pula Surat Ijin Cetak (SIC) yang
dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Komando Operasi Pemulihan Keamanan
dan Ketertiban Daerah (Kopkamtibda). Pers Indonesia saat itu dikepung dengan
ketentuan SIT, SIC, serta ada lagi: Surat Ijin Pembagian Kertas (SIPK), kertas
tidak akan diberikan kepada media yang dinilai tidak patuh.
Era
Orde Baru: Bredel Enggan Berlalu
Aturan
yang menindas pers itu terus dilestarikan pada era Soeharto, represi sudah
dijalankan bahkan sejak pada awal era Orde Baru—orde yang menjanjikan
keterbukaan. Sejumlah Koran menjadi korban, antara lain majalah Sendi terjerat
delik pers, pada 1972, karena memuat tulisan yang dianggap menghina Kepala
Negara dan keluarga. Surat ijin terbit Sendi dicabut, pemimpin redaksi-nya
dituntut di pengadilan. Setahun kemudian, 1973, Sinar Harapan, dilarang terbit
seminggu karena dianggap membocorkan rahasia negara akibat menyiarkan Rencana
Anggaran Belanja yang belum dibicarakan di parlemen (dalam Soebagijo I.N,
Sejarah Pers Indonesia, Jakarta: Dewan Pers, 1977, hal.181)
Pada
1974, setelah meledak Persitiwa Malari, sebanyak 12 penerbitan pers dibredel,
melalui pencabutan Surat Ijin Terbit (SIT). Pers dituduh telah “menjurus ke
arah usaha-usaha melemahkan sendi-sendi kehidupan nasional, dengan mengobarkan
isu-isu seperti modal asing, korupsi, dwi fungsi, kebobrokan aparat pemerintah,
pertarungan tingkat tinggi; merusak kepercayaan masyarakat pada kepemimpinan
nasional; menghasut rakyat untuk bergerak mengganggu ketertiban dan keamanan
negara; menciptakan peluang untuk mematangkan situasi yang menjurus pada
perbuatan makar.” Pencabutan SIT ini dipertegas dengan pencabutan Surat Ijin
Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Laksus Kopkamtib Jaya.
Pemberangusan
terhadap pers kembali terjadi pada 1978, berkaitan dengan maraknya aksi
mahasiswa menentang pencalonan Soeharto sebagai presiden. Sebanyak tujuh surat
kabar di Jakarta (Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, The Indonesian Times,
Sinar Pagi dan Pos Sore) dibekukan penerbitannya untuk sementara waktu hanya
melalui telepon, kepada pemimpin nasional (Soeharto).
Kisah
pembredelan di era Soeharto terus berlanjut. Era 1980-an meminta korban antara
lain: pada 1982 majalah Tempo ditutup untuk sementara waktu, ketika menulis
peristiwa kerusuhan kampanye pemilu di Lapangan Banteng. Koran Jurnal Ekuin,
dilarang terbit pada Maret 1983 oleh Kopkamtib akibat menyiarkan berita
penurunan patokan harga ekspor minyak Indonesia yang merupakan informasi off the
record. Korban berikutnya adalah majalah Expo (Januari 1984) setelah memuat
serial tulisan mengenai Seratus Milyader Indonesia. Tulisan tersebut dinilai
telah “melakukan penyimpangan terhadap ketentuan perundangan yang mengatur
manajemen penerbitan pers”.
Dua
bulan kemudian giliran majalah Topik akibat menulis editorial Mencari Golongan
Miskin (Topik, 14 Februari 1984) dan menurunkan wawancara imajiner dengan
Presiden Soeharto berjudul Eben menemui Pak Harto. Tulisan pertama dinilai
“cenderung beraliran ekstrim kiri dan ingin mengobarkan pertentang kelas”,
sedangkan tulisan kedua dianggap “bernada sinis, insinuatif dan tidak
mencerminkan pers bebas dan bertanggungjawab.” Bulan Mei 1984, majalah Fokus
dilarang terbit dan dicabut SIT-nya setelah menurunkan tulisan yang dianggap
dapat mempertajam prasangka sosial.
Berikutnya,
pada 9 Oktober 1986, koran Sinar Harapan dilarang terbit Deretan pembredelanitu
terus berlanjut dengan korban koran Prioritas, tabloid Monitor, majalah Senang,
hingga pada 21 Juni 1994 ketika pemerintah membunuh Tempo, Editor
dan
Detik
Pers
Pancasila: Produk Asli Indonesia
Pada
era Orde Baru, pemerintahan Soeharto secara cerdik berhasil merumuskan sistem
pers baru yang “orisinil” yakni Pers Pancasila, satu labelisasi gaya Indonesia
dari konsep development journalism (atau dalam kategori Siebert, Peterson, dan
Schramm termasuk dalam jenis social responsibility pers). Konsep “Pers
Pembangunan” atau “Pers Pancasila” (sering didefinisikan sebagai bukan pers
liberal juga bukan pers komunis) secara resmi dirumuskan pertama kali dalam
Sidang Pleno Dewan Pers ke-25 di Solo pada pertengahan 1980-an.
Rumusan
tersebut berbunyi: Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila , dalam arti pers
yang orientasi sikap dan tingkah lakunya berdasar nilai-nilai Pancasila dan UUD
45. Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila, dalam arti mengamalkan Pancasila
dan UUD 45 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri. Hakekat Pers Pancasila adalah
pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan
fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi
rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Melalui hakekat dan fungsi itu Pers
Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang
demokratis dan bertanggungjawab.
Istilah
Pers Pancasila merupakan cerminan keinginan politik yang kuat dan ideologisasi
korporatis saat itu yang menghendaki pers sebagai alat pemerintah. Akibatnya
fungsi pers sebagai “penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur
aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif”—seperti didefinisikan
dalam Pers Pancasila, tidak bias terwujud. Pers Indonesia periode akhir 1970-an
hingga 1998 semata-mata menjadi corong (mouthpiece) pemerintah, kehilangan
independensi dan fungsi kontrolnya.
Berbagai
pembatasan yang dibuat rezim Soeharto membuat wartawan tak bebas menulis. Pada
era ini lah muncul apa yang disebut—secara sinis—sebagai “budaya telepon”.
Peringatan melalui telepon ini bias dilakukan oleh siapa saja di kalangan
aparat pemerintah, untuk mencegah media menulis laporan tertentu yang tidak
disukai pemerintah. Selain itu pada pertengahan 1980-an juga mulai lazim
kebiasaan pejabat militer dan pemerintah berkunjung ke kantor redaksi media
cetak untuk memberikan “informasi penting” dan ketentuan tak tertulis apa yang
boleh dan tidak boleh ditulis. Berbagai bentuk sensorsip ini mendorong
pengelola media menggunakan gaya bahasa eufimistik untuk menghindarkan teguran
dan pembredelan. Lebih jauh lagi pers Indonesia semakin pintar untuk melakukan
swa-sensor (self censorship). Akibatnya sebagian besar media cetak saat itu
bisa dikatakan menjadi corong pemerintah. Apapun yang dikatakan pejabat tinggi
pemerintah dan militer akan dicetak dan dijadikan laporan utama (headline) oleh
pers.
Pers
dan wartawan yang tidak bebas, ikut mengajarkan rasa takut terhadap kebebasan
pada masyarakat. Atau setidaknya mereka bersikap masa bodoh, sejauh keuntungan
ekonomi masih diperoleh. Di era rezim Soeharto, sejak pertengahan 1980-an, pers
Indonesia mulai mencicipi buah keuntungan era pers industri. Dalam pers
industri, bisnis informasi ternyata menjanjikan keuntungan besar, dan tingkat
kesejahteraan wartawan menjadi semakin baik. Namun keuntungan finansial itu
berbanding terbalik dengan kepedulian sosial yang makin menumpul. Peningkatan
oplah dan perolehan iklan menjadi tujuan. Akibatnya yang menjadi prioritas pers
Indonesia—didukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi adalah perolehan keuntungan,
bukan kualitas berita.
Konsentrasi
untuk mendapat keuntungan besar dan kesejahteraan materi dari bisnis pers
menjadi semacam eskapisme bagi wartawan. Karena dalam situasi represif, sulit
bagi wartawan untuk bisa mengeksplorasi kemampuan jurnalistiknya. Apalagi
dengan adanya “hantu” pencabutan lisensi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers
(SIUPP). Izin SIUPP benar-benar seperti nyawa bagi pers, dan pemerintah adalah
malaikat yang siap mencabut nyawa itu setiap waktu. Pencabutan SIUPP menjadi
momok yang menakutkan bagi pers.
Terlebih-lebih
saat itu sangat sulit untuk memperoleh SIUPP. Kriteria untuk mendapat SIUPP
tidak jelas, dan menjadi rahasia umum, kalangan yang dekat dengan kekuasaan
saja lah yang bisa mendapat SIUPP baru. Sehingga muncul dugaan SIUPP sengaja
dijadikan alat untuk menyeleksi kepemilikan pers. Selain itu, ketika pemerintah
(Departemen Penerangan), pada akhir 1980an, memutuskan untuk tidak lagi
menerbitkan SIUPP baru, selembar kertas perizinan itu nilainya menjadi amat
mahal untuk diperjualbelikan. Melalui sistem lisensi ini lah negara
(pemerintah) menguasai “ruang publik”, bukan saja media massa harus mendapat
ijin agar terbit, rapat-rapat dan pertemuan publik (lebih dari lima orang) juga
harus mendapat ijin.
Ruang
publik tersebut adalah “wilayah” yang bebas dari kontrol negara dan modal.
Setiap anggota masyarakat dapat saling berinteraksi, belajar dan berdebat
tentang masalah-masalah publik tanpa perlu risau adanya campur tangan penguasa
(politik dan ekonomi). Dan media massa merupakan salah satu ruang publik yang
paling efektif untuk sarana itu. Namun, di Indonesia, ruang publik (media)
telah dikuasai negara, akibatnya dalam praktek jurnalisme di Indonesia, para
wartawan lebih menempatkan ucapan pejabat, jenderal dan tokoh bisnis. Selain
karena demi keamanan kelanjutan penerbitan, juga berangsur-angsur muncul
anggapan bahwa ucapan pejabat pemerintah memberikan legitimasi yang kuat
terhadap berita.
Praktek
jurnalisme semacam itu (news talking) selain aman juga lebih mudah dilakukan
oleh para wartawan—juga menguntungkan bagi perusahaan pers, karena
meminimalisir biaya yang harus dikeluarkan dalam proses peliputan berita.
Sebaliknya, praktek news talking memberikan peluang besar bagi para politisi
(dan pengamat) untuk memanipulasi berita. Akibat lebih jauh dari praktek
jurnalisme ini adalah trend menonjolnya peran hubungan masyarakat (Humas)
kantor pemerintah dan perusahaan swasta yang siap menyediakan “segala
informasi” untuk membantu kerja wartawan.
Dengan
maraknya “jurnalisme humas”, menyebabkan masyarakat semakin sulit memperoleh
informasi yang benar tentang berbagai persoalan. Satu penelitian yang diadakan
oleh Rizal Mallarangeng pada awal 1990 terhadap dua harian berpengaruh di
Indonesia (Kompas dan Suara Karya) memperlihatkan besarnya ketergantungan dua
media tersebut terhadap narasumber pejabat pemerintah atau birokrat. Sekitar
89,1 % berita Suara Karya dan 69,1 % berita bersumber dari pernyataan birokrat
dan pejabat. Sedangkan menyangkut orientasi pemberitaan, sekitar 86,6% berita
Suara Karya dan 78.9% berita di Kompas berisi dukungan terhadap kebijakan
pemerintah.
Menentang
Tirani: Mencari Alternatif
Pada
era Soeharto terdapat tiga faktor utama penghambat kebebasan pers dan arus
informasi: adanya sistem perizinan terhadap pers (SIUPP), adanya wadah tunggal
organisasi pers dan wartawan, serta praktek intimidasi dan sensor terhadap
pers. Faktor-faktor itu lah yang telah berhasil menghambat arus informasi dan
memandulkan potensi pers untuk menjadi lembaga kontrol.
Wartawan
Indonesia, selama 52 tahun, sejak Republik Indonesia berdiri, cuma mengenal
satu organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Organisasi ini
setiap kali terperangkap dalam korporatisme negara. Negara mengkooptasi PWI dan
menggunakannya sebagai operator untuk merepresi dan mengintimidasi pers.
Praktis, wartawan Indonesia tidak memiliki organisasi yang bisa mewakili dalam
memperjuangkan hak, melindungi dan meningkatkan profesinya.
Sebaliknya,
wartawan justru dikontrol dan dilumpuhkan secara sistematis oleh PWI. Pemerintahan
Soeharto telah menciptakan mekanisme kontrol efektif terhadap pers melalui
tekanan untuk self cencorship, peringatan, teguran dan pembredelan. Namun
kontrol yang paling efektif justru dilakukan oleh orang pers sendiri, melalui
Dewan Pers serta PWI. Pengurus dua organisasi ini dengan sadar memfungsikan
diri sebagai operator pemerintah dalam menekan pers.
Pada
akhirnya tekanan memunculkan perlawanan, pemicunya justru pembredelan tiga
media terkemuka Tempo, Detik, dan Editor, pada 21 Juni 1994. Berbeda dari
berbagai pembredelan pers yang sering terjadi di Indonesia, penutupan tiga
media itu, di luar dugaan, memunculkan reaksi perlawanan masyarakat. Ratusan
wartawan bergabung dengan mahasiswa dan aktivis NGO melakukan demonstrasi pada
hari-hari setelah pembredelan.
Khusus
di kalangan wartawan, reaksi keras ditujukan kepada PWI. Sebagai satu-satunya
organisasi wartawan yang ada, PWI tidak memrotes pembredelan itu, sebaliknya
malah “bisa memahami” sikap yang diambil rezim Soeharto. Bukan rahasia lagi,
PWI merupakan kepanjangan birokrasi Departemen Penerangan. Sehingga, bukannya
membela kepentingan, hak-hak dan aspirasi wartawan, PWI justru menjadi mesin
teror bagi wartawan. Kalangan wartawan muda yang tidak puas atas sikap PWI ini
pada 7 Agustus 1994 mendeklarasikan terbentuknya AJI sebagai wujud sikap
“menolak wadah tunggal wartawan” dan sebagai organisasi alternatif bagi
wartawan.
Berdirinya
AJI segera mengguncangkan hegemoni PWI, ini terbukti Departemen Penerangan dan
PWI dengan sengit mencoba meniadakan kehadiran AJI. PWI memecat 13 anggotanya
yang terlibat di AJI serta meminta perusahaan pers tidak mempekerjakan wartawan
AJI. Belasan wartawan AJI disingkirkan dari kerja kewartawanan atau diminta
mengundurkan diri. Pemimpin redaksi yang dianggap tidak sejalan dengan garis
pemerintah serta merta bisa dicabut rekomendasinya dan hilang haknya sebagai
pemimpin redaksi. “Pokoknya orang AJI tidak boleh jadi wartawan, mereka boleh
kerja di perusahaan pers sebagai tukang sapu,” demikian ancam seorang pengurus
PWI ketika mengintimidasi pemimpin redaksi D&R yang diketahui mempekerjakan
orang AJI.
Kelahiran
AJI memang dipacu oleh pembredelan Juni 1994. Namun embrionya dimulai ketika
wartawan muda di sejumlah kota mendirikan forum-forum diskusi wartawan. Mereka
adalah Forum Wartawan Independen di Bandung, Forum Diskusi Wartawan Yogyakarta,
Pers Club di Surabaya, dan Solidaritas Jurnalis Independen di Jakarta.
Forum-forum wartawan yang berdiri awal 1990 an ini bersifat cair dan informal,
karena untuk mendirikan organisasi formal wartawan di luar PWI, saat itu,
hampir mustahil. Forum-forum diskusi wartawan semacam itu menjadi oase bagi
kesumpekan wartawan yang menyadari mereka tak memiliki organisasi yang bisa
menyuarakan aspirasi mereka.
Kecenderungan
Rezim Soeharto mengkooptasi dan cuma mengakui satu organisasi bagi setiap
sektor organisasi masyarakat, mulai mendapat perlawanan. Berdirinya organisasi
alternatif untuk menolak ketentuan pemerintah juga terjadi sektor lain. Di
kalangan buruh, pada 1992, berdiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI)
sebagai tandingan terhadap Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) milik
pemerintah. Untuk menandingi Dharma Wanita, telah muncul sejumlah kelompok NGO
perempuan. Di kalangan mahasiswa, dibentuk berbagai “komite”atau “kelompok
solidaritas” untuk menandingi organisasi kemahasiswaan yang diakui pemerintah.
Berbagai
kelompok alternatif itu menggalang jaringan oposisi. Mencoba tampil di lingkup
politik mengambil alih fungsi partai politik dan parlemen yang telah bungkam
lembaga eksekutif. AJI membangun jaringan di kalangan wartawan muda di berbagai
daerah, juga melakukan training dan pelatihan kepada aktivis pers mahasiswa,
serta mengorganisir aksi.
Selain
menjadi organisasi alternatif, AJI juga menerbitkan media alternatif tanpa
SIUPP, Independen, sebagai sikap menolak politik perizinan. Selain Independen
terdapat media yang aktif menyebarkan informasi alternative seperti yang
diterbitkan Pijar Indonesia, Kabar dari Pijar, media-media kampus serta
bulletin terbitan NGO. Berbagi media tanpa SIUPP itu menjadi alternatif bagi
pembaca yang tidak puas dengan isi berita media mainstream. Semula Independen
diterbitkan sebagai newsletter bagi anggota AJI, dengan berita mengenai seputar
pers. Pada perkembangannya Independen juga menyediakan ruang untuk
berita-berita umum, khususnya untuk fakta-fakta yang tidak bisa disiarkan oleh
pers mainstream. Independen menampung berita-berita hasil reportase wartawan
AJI, yang tidak mungkin dicetak oleh pers mainstream.
Salah
satu laporan investigatif Independen yang banyak mendapat reaksi adalah edisi
nomor 10, terbit menjelang Hari Pers Nasional, Februari 1995. Dalam edisi itu,
Independen mengungkap kepemilikan saham-saham Menteri Penerangan (saat itu)
Harmoko dan keluarganya di beberapa media massa. Bagi kalangan pers, kabar
Menteri Penerangan Harmoko memiliki saham di berbagai perusahaan pers, sudah
banyak diperbincangkan, meskipun bisik-bisik.
Hantaman
Krisis: Pers Menggeliat
Pers
Indonesia semakin kehilangan nyali pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor.
Khususnya periode setelah terjadi huru-hara Peristiwa penyerbuan kantor PDI, 27
Juli 1996 sampai dengan Pemilu 1997. Pers mainstream cuma berharap agar tetap
selamat di hadapan kekuasaan yang gampang marah, akibat konfigurasi politik
yang bergeser, sambil mengais keuntungan dari peluang pertumbuhan ekonomi yang
menjanjikan.
Pers
mainstream yang “mati suri” selama tiga tahun (1994-1997), mulai menggeliat
bangun pada awal 1998. Badai krisis moneter yang ikut melanda Indonesia pada
akhir 1997 mempengaruhi kinerja pers. Banyak pers yang terancam bangkrut akibat
nilai rupiah yang terjun bebas, mengakibatkan ongkos produksi harga kertas dan
tinta mengangkasa. Manajemen penerbitan pers menerapkan penghematan total:
jumlah halaman koran dikurangi, gaji wartawan dipangkas sampai ancaman
pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi wartawan.
Dalam
kondisi sulit akibat krisis moneter ini Pers Indonesia semakin ditekan.
Ramainya aksi demonstrasi mahasiswa menuntut reformasi, yang kemudian menjadi
berita di berbagai media, memicu tuduhan pemerintah bahwa Pers Indonesia tidak
proporsional dalam memberikan gambaran sesungguhnya tentang situasi akhir-akhir
ini. Intimidasi terhadap pers pada awal 1998 langsung disuarakan oleh Presiden
Soeharto.
Bulan
Januari 1998, Soeharto menuduh pemberitaan pers sebagai penyebab kepanikan
masyarakat yang menyerbu toko dan supermarket untuk memborong bahan kebutuhan
pokok (panic buying). Bulan Februari, seusai penandatanganan nota kesepakatan
dengan International Monetary Fund (IMF), Soeharto menuduh pers Indonesia telah
memanas-manasi situasi berkaitan dengan krisis moneter yang sedang terjadi dan
menyebabkan rupiah semakin turun. Pernyataan itu ditegaskan lagi dalam sambutan
pidato pertanggungjawaban presiden di depan Sidang Umum MPR, Maret 1998.
Berbagai tekanan kepada pers itu tidak berujung pada pembredelan, mengingat
pemerintahan Soeharto mulai goyah legitimasinya.
Namun
rezim yang mulai sekarat itu masih mencoba menggertak pers dengan kasus sampul
Soeharto sebagai “Raja Sekop” di majalah D&R, awal Maret 1998. Menteri
Penerangan Hartono bermaksud menuntut D&R ke pengadilan karena melakukan
penghinaan terhadap kepala negara, melecehkan konstitusi dan menurunkan
martabat bangsa. Namun sebelum pengadilan berlangsung, D&R sudah terlebih
dulu divonis. PWI menskorsing pemimpin redaksi D&R selama dua tahun. Kasus
D&R ini kemudian mengambang dan tidak ada penyelesaiannya.
Berkah
Internet: Pertarungan di Alam Maya
Sejak
1995, Internet memainkan peran penting dalam penyebaran informasi di kalangan
aktivis dan pengakses internet. Demam internet di Indonesia dijangkitkan oleh
kehadiran Apakabar, mailing-list yang dikelola oleh John McDougall dari
Amerika. Melalui Apakabar berbagai pandangan disebarkan, dari yang paling
radikal hingga puritan, dari aktivis pro-demokrasi sampai aparat intel-militer.
Selain berisi polemik berbagai pendapat dan pandangan, Apakabar juga
menyebarkan informasi dari media massa, dalam dan luar negeri, yang berkaitan
dengan situasi terbaru di Indonesia.
Sukses
Apakabar ini kemudian diikuti munculnya berbagai situs internet dan
mailing-list yang dikelola para aktivis di Indonesia. Para wartawan eks-Tempo
mengelola Tempo Interaktif, diikuti sejumlah mailing list seperti SiaR, KDPnet,
AJInews, X-pos, Demidemokrasi, Indo-News.com, dll. Informasi yang disebarkan
melalui internet mampu memuaskan masyarakat yang haus informasi, materi dari
internet seringkali di down-load dan difotokopi sehingga bisa dibaca oleh
mereka yang tidak memiliki akses ke internet.
Selain
itu, sensor yang menjadi kebiasaan rezim Soeharto, dengan mem-black out halaman
koran atau majalah asing yang memuat tentang Indonesia, tidak bisa diterapkan
di internet. Materi yang paling banyak beredar di internet adalah menyangkut
kekayaan Soeharto dan praktek KKN rezim Orde Baru, disamping diskusi tentang
demokrasi, hak asasi manusia serta menebarkan gagasan oposisi. Selain itu
melalui internet aktivis pro-demokrasi juga saling berbagi informasi serta
melakukan koordinasi, seperti menentukan waktu dan tempat aksi unjuk rasa.
Setelah
rezim Soeharto tumbang, media on-line yang berorientasi profit semakin tumbuh
menjamur, seperti detik.com, mandiri.com, satunet.com, berpolitik.com,
astaga.com. disamping itu sebagian besar media mainstream, seperti Kompas,
Suara Pembaruan, Republika, Forum, dll., juga memiliki versi on-line.
Pers
pasca jatuhnya Soeharto
Presiden
Soeharto turun pada 21 Mei 1998, akibat krisis ekonomi dan karena arus
informasi yang mengungkap kebobrokan pemerintahannya mengalir tanpa bisa
dibendung-- melalui media alternatif dan internet. Selain itu, pers juga tidak
lagi mau dibungkam. Saat-saat terakhir menjelang keruntuhannya, Presiden
Soeharto mencoba mengintimidasi pers, dengan menuduh pers "tidak
proporsional dan melakukan disinformasi”. Soeharto marah karena pers selalu
menempatkan aksi demonstrasi mahasiswa dan tuntutan reformasi di halaman pertama.
Biasanya pers Indonesia akan ciut nyalinya jika Soeharto marah, namun situasi
memang sedang berubah.
Perubahan
pun terbuka dengan mundurnya Soeharto. Bagi para jurnalis itu berarti peluang
terwujudnya jaminan kebebasan pers. Menteri Penerangan yang baru, Junus
Josfiah, segera merevisi ketentuan perizinan (SIUPP) dan mencabut ketentuan
wadah tunggal organisasi wartawan.
Pemerintah
tidak lagi bisa sewenang-wenang mencabut SIUPP—yang menjadi sangat mudah
diperoleh. Lebih dari 1.600 SIUPP baru dikeluarkan periode Mei 1998-Agustus
1999, sebelum ketentuan SIUPP akhirnya dicabut, dengan disahkannya UU No.40
tahun 1999 tentang Pers pada September 1999. Bandingkan dengan era Soeharto
yang cuma mengeluarkan 241 perizinan selama 32 tahun kekuasaannya.
Perubahan
lain yang drastis adalah diakuinya hak wartawan untuk mendirikan organisasi
baru di luar PWI. AJI setelah empat tahun diperlakukan sebagai organisasi
ilegal, mulai diakui keberadaannya. Diikuti dengan lahirnya berbagai organisai
wartawan baru seperti Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), PWI Reformasi,
Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan lain-lain, yang jumlahnya mencapai 40. Memang
terkesan ada inflasi organisasi wartawan dan penerbitan baru.
Tapi
ini gejala wajar, semacam demam kebebasan yang sedang dirayakan masyarakat
(sebagaimana munculnya partai-partai politik baru, yang jumlahnya pernah
mencapai 108 partai-- dari semula 3 partai). Para wartawan yang lama
terkungkung dalam satu wadah organisasi, menemukan momentum untuk
mengaktualisasikan diri. Penerbitan pers yang semula dibatasi perizinan
kemudian leluasa menerbitkan media. Di kota-kota kabupaten, bahkan kecamatan,
terbit tabloid baru. Di Ujung Pandang, misalnya, yang semula cuma memiliki 5
penerbitan pers, kurang dari setahun melonjak mencapai lebih dari 45 penerbitan
pers.
Banyak
pengusaha “dadakan” menerbitkan penerbitan pers dengan nama-nama yang aneh atau
lucu, yang mengesankan kurang serius, seperti Deru, Dobrak, Pantura, Amien Pos,
Mega Pos, Posmo, X-file, Gugat (tabloid ini bermotto: trial by the press)
Terbukti kemudian, banyak media yang cuma bertahan satu atau dua bulan, dan
berhenti terbit.
Fenomena
lain yang muncul, dan sempat memunculkan kekhawatiran kembalinya media
partisan, adalah terbitnya sejumlah tabloid yang “berafiliasi” dengan partai
politik. Media partai itu antara lain Amanat milik Partai Amanat Nasional
(PAN), Duta Masyarakat milik Partai Kebangkitan bangsa (PKB), Demokrat dikelola
oleh Partai Demokrasi-Perjuangan (PDI-P), Abadi milik Partai Bulan Bintang
(PBB) dan Siaga yang dianggap corong Partai Golkar.
Berbeda
dengan media partisan era demokrasi liberal pada tahun 1950-an, yang murni
merupakan alat partai politik, media partisan jaman reformasi kali ini terbit
dengan motif utama bisnis ketimbang politik, karena kelompok Jawa Pos Grup
(Dahlan Iskan) lah yang mendanai penerbitan empat media parpol itu.
Pers
Indonesia memang bisa lebih longgar menyampaikan informasi di era Presiden
Habibie, namun kebebasan pers yang baru saja dinikmati itu bukan tanpa ancaman.
Karakter rezim Habibie sulit diprediksi, mengingat sebagian besar pejabat
pemerintah adalah “orang-orang Soeharto” juga. Sejumlah contoh menunjukkan
rezim baru Habibie berupaya mengontrol pers. Pada bulan Juni 1998, Habibie
melontarkan gagasan untuk menerapkan "sistem lisensi" pada wartawan,
dan sebulan kemudian dia mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat (kedua usulan itu bias digagalkan, berkat
gencarnya perlawanan melalui aksi oposisi).
Habibie
juga meminta militer menindak keras aksi-aksi demonstrasi masyarakat. Bulan
Juli 1998, acara Talk Show di stasiun Indosiar dihentikan secara tiba-tiba,
oleh Menteri Sekretaris Negara (saat itu) Akbar Tanjung, ketika acara sedang
disiarkan, karena dianggap terlalu lugas dalam mengritik Habibie. Tabloid Detak
dan harian Merdeka dituntut oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid, karena
membongkar keterlibatan Syarwan dalam Peristiwa 27 Juli 1996 (penyerbuan kantor
PDI).. Majalah Tajuk dituntut oleh Kodam Jaya atas tulisan tentang keterlibatan
militer dalam kerusuhan 13-15 Mei 1998. Pemberitaan media yang gencar
menyangkut penyadapan percakapan telepon antara Presiden Habibie dengan Jaksa
Agung Andi M. Ghalib, telah menyebabkan beberapa pemimpin redaksi diperiksa
oleh kepolisian.
Pada
era ini jurnalisme radio mulai semarak, stasiun radio di Jakarta seperti
Elshinta, Sonora dan Trijaya FM mulai memproduksi laporan berita. Langkah itu
diikuti sejumlah stasiun radio di daerah seperti Nikoya, Banda Aceh. Permohonan
untuk pendirian stasiun radio baru mencapai 32. Sedangkan untuk media televisi,
meskipun lima stasiun TV yang terbelit utang, Departeman Penerangan sampai
Maret 1999 mengeluarkan ijin siaran untuk delapan stasiun baru, enam
diantaranya untuk siaran nasional.Persoalannya frekwensi yang tersedia untuk
siaran nasional tinggal satu.
Dengan
kemudahan memperoleh ijin menerbitkan media, berakibat muncul konflik manajemen
di sejumlah media. Misalnya, sebagian awak majalah Gatra hengkang mendirikan
Gamma (Desember 1998), aksi serupa juga terjadi di harian Suara Pembaruan
dengan terbitnya Suara Bangsa. Koran tertua Merdeka yang sebagian sahamnya
diambil oleh oleh Jawa Pos Grup, ternyata menjadi bumerang, manajemen milik
Dahlan Iskan itu kemudian menerbitkan Rakyat Merdeka setelah muncul
ketidaksepahaman dalama manajerial.
Era
kebebasan pers juga memunculkan ekses-ekses sensasionalisme, banyak tabloid
baru menulis laporan spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik, termasuk
ramainya penerbitan media yang mengusung erotisme (cenderung pornografis).
Sejumlah pemimpin redaksi tabloid erotis sempat di seret ke pengadilan pada
Juni 1999, termasuk pemimpin redaksi majalah Matra, Riantiarno, yang divonis
hukuman percobaan. Gaya jurnalisme agresif misalnya dipraktekkan oleh tabloid
Warta Republik secara vulgar. Tabloid baru itu pada terbitan edisi Desember
1999 melaporkan “persaingan” mantan Wakil Presiden, Try Sutrisno, dan mantan
Menteri Pertahanan, Edy Sudrajat, memperebutkan cinta seorang janda. Laporan
itu semata-mata bersandar pada rumor, Warta Republik tidak berupaya melakukan
konfirmasi atau wawancara kepada tiga figur tersebut.
Kebebasan
pers Indonesia, kemudian, banyak dikecam sebagai “kelewat batas” dan chaotic.
Keprihatinan terhadap rendahnya penghargaan pada etika pers, khususnya untuk
tabloid-tabloid baru, ramai disuarakan. Sebagai reaksi atas kondisi pers yang
terkesan liar dan tak terkontrol itu bermunculan lembaga-lembaga yang
menerbitkan jurnal pengawas media (media watch). Pada saat yang sama pers
Indonesia memang tidak memiliki lembaga yang mampu mengawasi etika pers. Dewan
Pers (bentukan pemerintah), yang seharusnya berfungsi sebagai lembaga
pengontrol, tidak bisa berfungsi, karena kehilangan legitimasinya. Untuk
merespon suara kecaman terhadap pers itu, Dewan Pers bersama sejumlah
organisasi wartawan berupaya merumuskan kode etik bersama—yang menjadi patokan
untuk seluruh organisasi wartawan. Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) itu,
setelah melalui proses perdebatan yang cukup panjang, akhirnya bisa disepakati
dan ditandatangani oleh wakil dari 26 organisasi wartawan pada 6 Agustus 1999.
Sementara
itu, masyarakat pers Indonesia, sejak bergulirnya reformasi mulai menggagas
untuk menyusun Undang-undang Pers baru guna membentengi kemerdekaan pers yang
diperoleh. Sejumlah aktivis, pakar komunikasi, wartawan dan pengurus organisasi
pers, pada akhir 1998 membentuk forum Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia
(MPPI) yang kemudian menjadi motor penyusunan UU Pers baru. Setelah melalui
rangkaian diskusi dan lobi panjang, akhirnya disahkan Undang-Undang No 40 tahun
1999 tentang Pers (UU Pers 1999) pada 23 September 1999.
Dalam
UU Pers 1999, Bab V Pasal 15, disebutkan tentang perlunya dibentuk Dewan Pers
yang independen sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan pers. Selanjutnya Dewan
Pers (lama) memfasilitasi proses pembentukan Dewan Pers Baru yang beranggotakan
wakil-wakil wartawan, perusahaan pers dan tokoh masyarakat. Proses pembentukan
Dewan Pers baru cukup rumit, khususnya dalam menentukan perwakilan dari
wartawan, mengingat besarnya jumlah organisasi wartawan. Terdapat 121 nama
calon anggota Dewan Pers yang diajukan oleh 33 organisasi wartawan dan tujuh
organisasi perusahaan pers. Akhirnya, pada 22 Februari 2000 Badan Pekerja
memutuskan sembilan nama sebagai pengurus Dewan Pers periode 2000-2003.
Pers
dalam Ancaman Massa
Pers
Indonesia memasuki fase baru, setelah sekian lama terpuruk dalam cengkeraman
kontrol kekuasaan Soeharto, kini cengkeraman itu berwujud melalui ancaman
publik. Tekanan dan ancaman di era Soeharto sangat efektif meskipun tidak
langsung (remote) sedangkan ancaman massa bersifat fisik, sehingga lebih nyata.
Pemakaian sarana koersif untuk menekan dan mengancam pers melalui pencabutan
SIUPP meskipun lebih fatal, tetap terasa bukan ancaman nyata, sementara ancaman
kekerasan dan teror massa jauh lebih konkrit dampaknya.
Era
reformasi telah membuka kesempatan bagi pers Indonesia untuk mengekplorasi
kebebasan. Dampak yang kemudian terlihat, kebebasan itu untuk sebagian media,
bukannya diekplorasi melainkan dieksploitasi. Sejumlah kebingungan dan
kejengkelan terhadap kebebasan pers di era reformasi ini bisa dipahami. Kini
media bebas untuk mengumbar sensasi, informasi yang diedarkan adalah yang
bernilai jual tinggi, dikemas dengan gaya sensasi. Akibat ketiadaan otoritas
yang memiliki kewenangan untuk menegur atau menindak pers, maka “publik”
kemudian menjalankan aksi menghukum pers sesuai tolok ukur mereka sendiri.
Era
reformasi kini telah memproduksi media massa berorientasi populis, mengangkat
soal-soal yang digunjingkan masyarakat. Akibatnya seringkali media massa menyebarkan
informasi yang sebenarnya berkualifikasi isu, rumor bahkan dugaan-dugaan
(hingga cacian dan hujatan). Pada ekstrim yang lain terdapat pula pers yang
diterbitkan untuk tujuan politis: mempengaruhi dan membujuk pembacanya agar
sepakat dan ikut dengan ideologi dan tujuan politisnya, atau bahkan menyerang
dan membungkam pihak lawan.
Media
massa sebagai penyalur informasi mengemas apapun yang bias diinformasikan,
asalkan itu menyenangkan dan sedang menjadi gunjingan publik. Gaya media
semacam ini kemudian mendapat reaksi sepadan dari kelompok masyarakat tertentu
yang cenderung radikal dan tertutup, atau kelompok-kelompok yang mengklaim
kebenaran sebagai milik mereka. Jika pemberitaan media tidak menyenangkan
pihaknya atau kelompoknya, maka jalan pintasnya adalah melabrak dan
mengancam—yang ternyata memang terbukti sangat efektif.Kasus pendudukan Jawa
Pos (6 Mei 2000) menunjukkan, betapa pers tidak berdaya manakala gerombolan
orang (massa Banser NU) memaksakan pendapatnya terhadap koran tersebut. Jawa Pos
bertekuk lutut dan tergopoh meminta maaf, menyatakan pemberitaannya salah.
Tidak ada pengujian secara adil dan logis menyangkut kesalahan atau
ketidaksalahan Jawa Pos terhadap berita menyangkut Presiden Abdurrahman Wahid
atau NU.
Kisah
lain menimpa SCTV, stasiun TV swasta itu harus menghentikan penayangan opera
sabun yang sangat populer, Esmeralda, setelah 60 orang dari Front Pembela Islam
(FPI) berunjukrasa ke SCTV (4 Mei). Telenovela itu dianggap secara sengaja
menghina Islam, memberikan gambaran palsu dan menyesatkan kepada penontonnya,
karena salah satu tokoh dalam film tersebut bernama Fatimah. Di kalangan Islam,
Fatimah dikenal sebagai nama putri Nabi Muhammad SAW dan figur yang dihormati,
sementara Fatimah dalam Esmeralda merupakan antagonis yang berperangai buruk.
Tawaran SCTV untuk mengganti nama tokoh Fatimah ditolak FPI, vonis telah
diputus: Esmeralda yang digemari banyak penonton itu tidak boleh disiarkan.
Sebelumnya
sejumlah wartawan dan media sempat merasa terteror dengan perangai kelompok
yang menamakan diri Laskar Jihad. Organisasi ini telah mengancam, melakukan
kekerasan terhadap wartawan yang ingin meliput kegiatannya. Selain mengancam
secara fisik maupun teror psikologi, lascar yang gemar mengacungkan pedang itu
juga diskriminatif terhadap wartawan perempuan dan wartawan non muslim. Tiga
wartawan sempat disekap dan dianiaya di lokasi kamp latihan mereka di Desa
Kayumanis, Kecamatan Tanah Sareal Bogor (9 April).
Tabloid
Semanggi beberapa waktu sebelumnya pernah diancam dibakar oleh Laskar Jihad
karena pemasangan foto kelompok ini pada edisi No. 19. Laskar ini merasa
tersinggung karena fotonya dimuat dalam pemberitaan mengenai NII. Laskar Jihad
menuntut agar tabloid Semanggi meminta maaf dan mengklarifikasi. Ancaman serupa
menimpa harian Radar Bogor. Koran ini, pada 9 April, didatangi satu truk
anggota Laskar Jihad dengan membawa senjata pedang dan pisau komando. Mereka
marah karena Radar Bogor dinilai telah menyebarkan berita yang mengadu domba
antara laskar jihad dengan masyarakat Kayumanis (lokasi latihan) dan aparat
keamanan setempat. Tekanan massa Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS) terhadap
Radio PTPN Rasitania, Solo, sempat menghentikan siaran radio tersebut selama 27
jam. Sekitar 300 anggota FPIS protes atas siaran dialog interaktif berjudul
“Usaha Mengatasi Konflik Antar Umat Beragama” pada 24 Februari.
Kebebasan
pers: Pers Mengatur Sendiri
Kebebasan
memunculkan berbagai persoalannya sendiri, yang lebih kompleks ketimbang era
tirani kekuasaan.. Kebebasan Pers yang kini berkembang di Indonesia, telah
ditanggapi secara negatif oleh sejumlah pihak, karena dianggap telah “bebas
terlampau jauh”. .Ekses negatif kebebasan pers saat ini terlihat semakin nyata
dengan banyak bermunculannya media partisan, sensasional, termasuk yang
menonjolkan erotika. Fenomena lainnya adalah munculnya banyak media yang
mengusung asas jurnalisme alakadarnya dan kurang menghargai etika. Banyak pula
muncul pemodal melakukan akrobat dalam bisnis pers: menerbitkan media, dua
bulan kemudian ditutup lantaran tidak laku, kemudian menerbitkan media baru
lainnya.
Seserius
apakah ekses negatif kebebasan pers saat ini? Memang ada soal ketika menyangkut
pemberitaan konflik antar golongan atau etnis (seperti kasus Ambon), sebagian
media telah memposisikan diri sebagai corong kelompok tertentu. Ada pula media
yang diterbitkan semata-mata sebagai alat menyerang atau membela orang-orang
tertentu. Namun justru itu lah resiko demokrasi: munculnya sejumlah pers yang
buruk. Sebagaimana bertebaran pula gagasan-gagasan buruk. Tantangan di Indonesia
kini adalah, pers yang bermutu dituntut untuk mengarahkan dan memperluas
pembacanya, justru agar masyarakat tidak membaca media yang buruk. Agar dalam
market place of ideas ide-ide baik menang terhadap gagasan buruk.
Setelah
halangan struktural kebebasan pers (regulasi pemerintah) berhasil disingkirkan,
maka kebebasan pers itu semata-mata berhadapan dengan batas toleransi
masyarakat. Opini publik lah yang akan membatasi, sejauh mana pers boleh bebas
Tidak bisa dielakkan bakal ada benturan kepentingan dan memunculkan
ketidakpuasan satu pihak Ketika kebebasan berpendapat seseorang merugikan pihak
lain, maka satu-satunya penyelesaian adalah melalui pengadilan—yang diharapkan
bisa mengeluarkan keputusan yang bijaksana—setelah melalui perdebatan yang luas.
Sayangnya, ditengah Kegan rungan terhadap kebebasan yang menggebu saat ini,
hukum belum siap mengantisipasinya--baik hukum untuk menggebuk pelaku kekerasan
maupun menindak media yang kurang ajar. Akibatnya tirani masih bias
bersimaharajalela, dan pers menjadi sasaran empuk untuk melampiaskan
kejengkelan akan kebebasan.
Situasi
itu merupakan produk langsung dari hukum yang vakum. Bukan saja aparatnya
sedang kehilangan wibawa, melainkan perangkat aturannya juga belum tersedia
secara memadai. Oleh karena itu, pers Indonesia dituntut untuk bisa mengatur
atau mengontrol sendiri (self regulated), sesama sejawat pers saling
mengingatkan. Atau setidaknya mematuhi ketentuan yang diatur dalam kode etik
pers, dan menempatkan lembaga semacam Dewan Pers menjadi “polisi” yang diikuti
teguran atau peringatannya. Jika tidak, apa boleh buat, control masyarakat,
seperti pendudukan kantor media, akibat tidak puas atas pemberitaan pers bakal
akan terus terjadi.